bu. Membeli diapers, susu, hingga vitamin dan obat-obatan. Itupun t
nggup untuk membiayai kebutuhan ibunya sendiri. Oleh sebab itu, ia terpaks
guras energi Eliza setiap hari. Jika ditambah dengan urusan ibunya, Eliza nyaris ambruk, tidak bertenaga. Ia terlalu lelah. Tidak hanya tubuhnya yang lela
. Untuk memberikan ruang pada otaknya agar bisa berpikir normal. Jika kondisi lebih memungkin, ia aka
tanggung jawabnya. Ia mengelak untuk mengurus ibu, sejenak saja. Eliza tidak habis pikir pada pikiran mas
ia adalah anak kebanggaan ibunya. Tidak ada kata tidak, untuk segala keingina
ana,
siapa lagi, akan ia adukan semua ini? Pada Eva pun, ia juga tidak yakin mendapatkan penawar pada problema dalam dadanya. Sikap Eva selama ini, bahkan lebih parah da
ngin Mbak Eva
a sepuhnya adalah pekerjaan mulia. Akan berbalas surga, jika ia bisa ikhlas. Akan tetapi, kondisi Eliza terlihat sangat tidak memungkinkan belakangan ini. Dia terlihat
kondisi adik bungsunya itu. Sebagai laki-laki, seharusnya ia bisa mencar
na kakaknya itu? Jelas sekali, kalau ia belum tidur. Masih terlalu senja. Jam dinding baru menunjuk ke pukul delapan.
t?" Lagi, Ag
engangg
lagi
aminya. Mencoba untuk m
ketus Eva terdenga
dari Eva, Eliza jadi ragu untuk mengungkapkan semuanya. Ra
nlah, a
saha agar emosinya tidak ter
gantian ngur
elum usai, tapi Eva su
tara aku hanya sendiri tanpa ART. Aku benar-benar drop." Eliza menghela napasnya. "Mbak bawa dulu ib
an itu spontan, tanpa melalui pertimbangan sedikitpun. Benar s
kami gak memungkinkan, Mbak. Kalau Mbak, kedua anak Mbak sudah besar. Mengurus ibu saja, jelas gak akan begitu merepotkan. La
a dan Gilang gak akan betah tinggal baren
g ibu?" Setetes butiran bening dari mata Eliza mengalir begitu saja
ikum ...." Ia menutup telepon begitu saja. Tanp
kedua kakaknya. Kehidupan duniawi telah menarik dan menenggelamkan mereka terlalu jauh.