r
ti sesosok tubuh yang jatuh menimpa lantai. Ia mempercepat gerak, membuka pintu dengan gegas. Dan,
nampan berisi makanan di meja kecil di depa
engan lancar. Fisiknya pun sudah lebih kuat. Tetapi, untuk berjalan, Eliza masih harus memapah tubuhnya. Jika Minah masi
udukkan Eliza d
cing," bisik
ke arah piring makan Minah. "Ibu ngeyel terus sih, jadinya gini ...." Tangan Eliza mengaduk-aduk nasi ibunya yang sengaja dimasakkan sedikit lemb
mau merepo
kuah sayur itu. Sebagai penderita hipertensi, Minah harus menjaga betu
sini," tunjuknya ke arah
asih sa
elum lagi anakmu ...." Terdengar su
tapnya dengan matanya yang berkabut. Tidak biasanya, sang ibu berkata seperti itu. Eliza berpikir sa
araan. Ia bergerak mendekat, lalu duduk di sisi kiri sang ibu. Tangannya mengaduk
anya tidak henti menatap pada anak bungsunya itu. Setelah isi mulutnya habis di
ada Eliza. Ia tidak lagi bisa melakukan apapun, setelah pings
k melakukannya. Ada dua alasan yang berbeda dari Eva dan Edo. Mungkin Eva dan Edo tidak menyangka, Minah mendengar apa yang mereka bic
ngan sangat baik. Apalagi Agung, menantunya, juga tidak mempermasalah
ebagian hatinya. Seharusnya, di masa-masa seperti ini, Minah bisa lebih berharga bagi anak-anak dan cucunya. Menjadi seorang nenek yang bisa dijadikan teman bermain b
o yang gratis, Nduk
pertanyaan ibunya. Hal apa yang memb
ibu nany
jendela yang terbuka. Gorden tipis berwarna putih tula
cu ibu semakin aktif, dan pasti menguras seluruh energimu." Lagi, Minah kembali menghela napas.
asa bersalah menyeruak dari rongga dada Eliza yang terdalam. Segala bentuk keluhan dan sikap-sikap Eliza yang penuh emosi, mungkin berbentuk menjadi luka di hati ibunya. Pasti saja begitu kondisiny
rang yang sebatang kara. Nggak punya keluarga, jadi m
, Ndu
bih baik, ibu lanjutkan makannya
n Minah melihat rasa bersalah yang tampak dalam matanya. Tidak seharusnya ia begini, melampiaskan rasa lelah
dapan ibunya itu. Hanya dia seorang tempat sang ibu bergantung. Jika ia terus begini, apa bedanya ia dengan Eva dan Edo? Bisa
-
dengan kakaknya, Zea. Keduanya terlihat begitu lelap, sehingga Eliza tidak ra
a. Eliza terkesiap. Dimana Zaydan? Langkahnya gegas ke arah kamar mandi, satu-satunya tempat yang paling ia takutkan untuk dimasuki Zaydan. Tetapi, satu-satsempatan untuk bermain ke luar. Tetapi, hati Eliza sedikit tenang. Pintu depan tertutup rapat. Pun begitu dengan
nyaris membuat sang ibu histeris karenanya. Tiga buah lipstik miliknya sudah nyaris hancur, setelah meninggalkan b
Nak!" ter
par botol parfum berbentuk bulat t
akkk
aca itu