duk. Ia nelangsa. Memilih satu di antara dua pilihan yang mampu membuat sebagian ragan
Dek. Nyaris bangkrut. Ada pengu
a dengar. Ia berharap semua itu salah, akan t
jelas Agung dengan mata menatap kosong ke luar
ia rasakan. Ditatapnya Agung dalam diam, berharap suaminya itu segera melanjutkan kalimatnya. Tetapi, harapan E
iri mengajukan pertanyaan itu. Menunggu Agu
ah memberikannya kehidupan selama ini. Kenapa harus berakhir seperti ini? Akan tetapi, siapa yang harus ia salahkan? Pihak perusahaan, itu tidak mungkin. Pihak perusahaan sudah m
Dek. Bantu Mas ngambil keputu
Kalimantan, jelas
pa? Zaman sekarang sulit cari kerja, Dek.
yang dzalim ...." bantah Agung. Ta
u menjadi beban pikirannya. Jika ia pergi ke Kalimantan, tentu saja ibunya tidak bisa ikut. Perjalanan jau
, siapa yang akan merawat Mi
sama sekali
Kedua iparnya hanya sibuk pada urusan duniawi semata. Serba salah. Akan tetapi, jika memilih PHK, bagaimana hidup keluarganya untuk ke depan. Di masa yang serba sulit sepert
am bidang yang sama, membuat pergaulan Agung terbatas. Otaknya terasa buntu untuk memohon bantuan pek
-
kir. Sebenarnya itu hanyalah alasannya saja. Agung ingin mengulur wakt
i saja. Kondisi tidak memungkinkan untuk memberi waktu banyak
kami harus segera mencari orang yang mau diberan
ang diberikan atasannya untuk memutuskan bersama Eliza. Mau tidak
in memang dimutasi jalan
ehendak pada suaminya itu. Ia tidak ingin menyesal nantinya, jika kehidupan membawa mereka ke jala
a mengungkapkan semuanya pada Eliza. Biar bagaimana pu
erat untuk memulai pembicaraan yang ia sendiri yang menyudahi wakt
kalau Adek mau. Mas aja yang berang
sebagai suami. Ibu hanyalah jalanku menuju surga, seperti yang Mas katakan selama i
k. Mas ri
bom waktu buat pernikahan kita, Mas. Gak wajar, suami hidup jauh dari istri
ata-kata lagi untuk me
a lagi. Ia berusaha untuk tersenyum tulus pada Agung. Agar
annya pada Eliza. Rasa bangganya
as Edo, Dek. Semoga mereka p
-