u lama mereka tidak pulang, untuk sekadar melihat keadaannya. Bahkan, untuk menelepon padanya saja, ked
ang sudah sangat rapuh. Menghapus segala kerinduan yang ia pupuk dari hari k
sah. Dadanya sesak. Sekian banyak ras
ken
pintu dibuka. Padahal sejak tadi, daun pintu itu tertutup rapat. Kembali diusapnya wajah yang basah, berharap sis
, menoleh pada Eliza yang suda
nan
k .
Hati Eliza trenyuh melihat kesedihan pada wajah sang ibu. Tanpa Minah duga, Eliza mendekap t
a Eliza tertahan. Ia tidak
ak paham, mengapa Eliza tiba-tiba menangis, sembari memang
Rasa yang tumpang tindih dalam dadanya membuat ia kesulitan untuk merangkai kata. Ucapan maaf mun
mu anak yang baik, anak yang berbakti. Kalau n
ersalah semakin membelit di dada Eliza. Ia satu-satunya harapan, pilar tempatnya ibunya berpegang. Akan tetapi, ia mencoba untuk
ga suara tangis Zaydan dari luar,
-
, Bu
akang, mendengar suara Zea yang memanggilnya. Gegas ia
sudah menungg
Eliza. Ada tiga panggilan tidak terjawab tertera pada layar. Dari Edo. Bel
" salam Eliza ketika p
engar berat me
ungin Eva?" tanya Edo lang
gan kedua kakaknya itu. Jika jawaban mereka tetap sana, buat apa memperp
jawab
akan!" desis Eliza penuh pene
ut pemikiran Eliza. Bisa-bisanya ia bertanya seperti itu. S
ku udah berusaha ikhlas dengan semua ini. Biarlah ibu hidup ber
ingin Edo sadar, kalau mengurus ibu bukanlah beban. Tetapi, sebentuk bakti kita sebagai anak. Ibu sudah mengorbankan segalanya, agar mereka bertiga bisa hidup laya
adanya, Mas. Buk
Kau terus beranggapan, dengan merawat ibu, hanya kau
za tidak ingin itu terjadi. Bukan perselisihan yang dia inginkan. Harapan Eliza hanyalah agar ke
ermanfaat ...." tukasnya kemudian, lalu mem
angin, dengan mengirimkan sejumlah uang untuk ibu. Apakah ia pikir, uang bisa