Zaydan menolak, tentu saja tenaga Eliza belum bisa dikalahka
aktifnya dilarang, pasti Zaydan mengamuk. Mengan
ia menjauh untuk mencoba sabar. Mudah-mudahan setelah diacuhkan, Zaydan bisa segera tenang. Sebagi
m-macam. Eliza kembali ke ponsel yang ia lempar sembarangan di ranjang. Tujuannya tadi adalah menelepon Eva. Walaupun ia t
ng. Ia pikir, Eva akan mengacuhkan panggilannya itu. Baru saja Eliz
nis yang keluar dari mulut Ev
i sikap jutek sang kakak dengan selembut mungkin. Sebesar ap
us. "Waalaikumsalam,"
an perlahan. Ia tidak tahu harus memulai pembicaraan itu
u pada Mb
ang berpura-pura tidak paham. Bukankah kalimat Eliza su
g, tolonglah telepon, bicara dengan ibu. Mungkin itu udah cukup untuk melepaskan rindunya
va mendesah kasar. "Ya udah, be
k-bes
esok. Apa la
apalagi besok-besok, yang entah kapan datang
adi bersikap seenaknya. Gak pandai l
Mbak gak bisa menuhi permintaan aku kali ini. Oke, Mbak! Gak apa-apa! Semoga saja Mbak masih diberikan kesempatan untuk menyayangi ibu, sebelum penyesalan itu datang!" Eliza menutup teleponnya. Wajahnya pan
-
h sekalipun Eva atau Edo menelepon Minah. Eva pun menganggap enteng
nya masih kecil, tidak ada kesalahan fatal yang sudah Minah perbuat. Minah menyayangi anaknya dengan segala keterbatasa
erikan ibunya perhatian. Agar ibunya tidak dilanda kesepian dan merasa dibuang. Emosi yang terkadang berkobar tanpa bisa Eliza duga, berusaha ia kendalikan sebisa mungkin.
jalan ke surga yang sudah disodo
sudah hampir Eliza raih, tidak selam
duk. Ia nelangsa. Memilih satu di antara dua pilihan yang mampu membuat sebagian ragan
Dek. Nyaris bangkrut. Ada pengu