Anita Putri adalah pengacara hebat dengan penampilan sederhana dan bertubuh gendut. Dia jatuh cinta pada Adrian Hartono, pengacara muda tampan sekaligus anak pemilik Hartono Firm, yang selalu bergantung padanya untuk memenangkan kasus-kasus penting. Namun, hati Anita hancur saat menyadari Adrian hanya memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Dalam kekecewaan dan amarah, Anita bertekad mengubah penampilannya menjadi menarik. Transformasi ini bukan hanya untuk membalas dendam pada Adrian, tetapi juga untuk menemukan jati diri dan kekuatan sejatinya. "Ada Cinta di meja hijau" adalah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan penemuan diri yang akan membuat Anda terpikat hingga halaman terakhir. Apakah perubahan fisik mampu mengubah nasib dan perasaannya? Temukan jawabannya dalam perjalanan emosional yang penuh kejutan ini!
Anita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia berdiri di lobby Hartono Firm, firma hukum ternama yang menjadi impiannya sejak lama. Tangannya yang berkeringat menggenggam erat map berisi lamaran pekerjaan sebagai pengacara junior.
"Kau bisa melakukannya, Anita," bisiknya pada diri sendiri, berusaha mengabaikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya.
Memang, penampilannya tidak seperti pengacara pada umumnya. Tubuhnya yang gempal dibalut blazer kusut, rambut keritingnya mencuat ke segala arah, dan kacamata tebalnya hampir menutupi separuh wajahnya. Tapi Anita tahu, yang terpenting adalah otaknya yang brilian.
Dia melangkah mantap menuju meja resepsionis, namun tiba-tiba...
BRUK!
"Astaga!" seru sebuah suara maskulin.
Anita terhuyung ke belakang, map di tangannya jatuh berhamburan. Matanya yang membelalak menatap ngeri pada noda coklat besar yang kini menghiasi jas putih pria di hadapannya.
"Ya Tuhan, maafkan saya! Saya tidak sengaja, sungguh!" Anita buru-buru memunguti berkasnya yang berserakan.
Pria itu, dengan rambut hitam yang ditata rapi dan mata setajam elang, menatapnya dengan murka. "Kau... Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?!"
Anita menelan ludah. "Sa-saya minta maaf, Tuan. Saya akan mengganti jas Anda, saya janji!"
Pria itu mendengus. "Mengganti? Dengan apa? Uang hasil mengemis?"
Kata-kata itu menohok Anita. Dia mendongak, menatap pria itu dengan campuran rasa terkejut dan terluka.
"Dengar, Nona..." pria itu melanjutkan, suaranya penuh ejekan, "Jas ini harganya mungkin lebih mahal dari seluruh isi lemarimu. Jadi sebaiknya kau..."
"Cukup." Anita berdiri, suaranya bergetar namun tegas. "Saya memang bukan orang kaya, tuan tapi saya punya harga diri. Dan saya tidak akan membiarkan siapapun untuk menginjak-injaknya, semahal apapun jas yang dia kenakan."
Pria itu terkesiap, jelas tidak menyangka akan mendapat perlawanan. Karena selama ini tidak ada seorang pun di kantor ini berani membatah apalagi berani melawannya. Dia baru akan membalas ketika sebuah suara menginterupsi.
"Adrian! Kita harus segera berangkat. Klien kita sudah menunggu."
Adrian – rupanya itu nama si pria arogan – menoleh ke arah rekannya dengan kesal. Dia kembali menatap Anita, matanya menyipit berbahaya.
"Ini belum selesai," desisnya. "Kau akan menyesal telah berurusan denganku."
Setelah mengatakan itu, Adrian berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Anita yang masih berdiri kaku di tempatnya. Anita baru ingat kalau yang dia hadapi ini adalah putra mahkota dari pemilik Hartono Firm setelah orang itu memanggil nama pria itu dengan sebutan Adrian karena kemarin dia sempat membuka website perusahaan ini muncull wajah pria itu yang sama persis dengan Adrian sang pewaris tahta Hartono Firm.
Anita menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Hari pertamanya di Hartono Firm belum dimulai, tapi dia sudah membuat musuh. Dan bukan sembarang musuh – melainkan Adrian, yang ternyata adalah putra pemilik firma ini.
"Bodoh, bodoh, bodoh!" rutuknya dalam hati. "Bagaimana bisa aku tidak mengenali wajahnya? Padahal sudah berjam-jam menelusuri internet tentang firma ini."
Bayangan wajah Adrian yang tersenyum formal di website perusahaan berkelebat di benaknya. Anita menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan bersalah yang mulai menggerogoti.
"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur," gumamnya, menegakkan bahu. "Aku harus fokus pada tujuan awalku."
Dengan tekad yang diperbaharui, Anita melangkah menuju meja resepsionis. Di balik meja itu, duduk seorang wanita dengan dandanan mencolok – lipstik merah menyala dan rambut pirang yang disanggul tinggi.
"Selamat pagi," sapa Anita, berusaha terdengar profesional.
Resepsionis itu mendongak, matanya menyipit saat melihat penampilan Anita dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertemu dengan Pak Yanto," ujar Anita, berusaha mengabaikan tatapan menilai si resepsionis. "Untuk melamar sebagai pengacara."
Si resepsionis menaikkan alis, jelas-jelas terkejut. "Apakah Anda sudah membuat janji sebelumnya?"
Anita menggeleng. "Belum, tapi-"
"Maaf," potong si resepsionis dengan nada jengkel, "tapi Pak Yanto adalah manajer HRD yang sangat sibuk. Tanpa janji, Anda tidak bisa menemuinya."
"Bisakah Anda menghubunginya dulu? Katakan saja Anita ingin bertemu," Anita bersikeras.
Si resepsionis berdecak. "Memangnya Anda ini siapanya Pak Yanto?"
"Saya bukan siapa-siapanya," jawab Anita jujur.
"Kalau begitu, Anda harus membuat janji dulu," ujar si resepsionis dengan nada final. "Lagipula, firma kami sedang tidak membuka lowongan pengacara saat ini."
Anita mulai merasa frustasi. "Tapi saya-"
"Dan kalaupun ada," lanjut si resepsionis, matanya menyapu penampilan Anita sekali lagi, "kami tidak akan mempekerjakan pengacara dengan... penampilan seperti Anda."
Kata-kata itu menohok Anita tepat di ulu hati. Amarah yang tadinya sudah mereda kini kembali bergejolak.
"Dengar," kata Anita, suaranya rendah dan tegas. "Saya tahu penampilan saya mungkin tidak sesuai standar firma ini. Tapi saya di sini bukan karena kebetulan atau iseng."
Si resepsionis terlihat terkejut dengan perubahan sikap Anita.
"Saya datang ke sini," lanjut Anita, "atas permintaan langsung dari Bapak Hartono."
Mata si resepsionis melebar. "A-apa?"
"Ya, Anda tidak salah dengar," Anita menegaskan. "Bapak Hartono sendiri yang meminta saya untuk menemui Pak Yanto dan melamar sebagai pengacara junior di firma ini."
Suasana di lobby mendadak hening. Beberapa orang yang lewat bahkan berhenti untuk mendengarkan.
Si resepsionis tampak kebingungan. Dia menatap Anita dengan campuran ketidakpercayaan dan kecurigaan. "Tapi... bagaimana mungkin? Maksud saya, Anda..."
"Saya apa?" tantang Anita. "Terlalu gendut? Terlalu culun? Atau terlalu berani untuk datang ke sini dan mengklaim hal seperti itu?"
Si resepsionis tergagap, tidak mampu menjawab.
Anita menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Saya mengerti ketidakpercayaan Anda. Tapi saya bersumpah, saya tidak berbohong. Silakan hubungi Pak Hartono jika Anda ragu."
Keraguan terlihat jelas di wajah si resepsionis. Dia melirik telepon di mejanya, lalu kembali menatap Anita.
"Baiklah," akhirnya si resepsionis berkata. "Saya akan menghubungi Pak Yanto. Tapi jika ternyata Anda berbohong..."
"Saya siap menerima konsekuensinya," potong Anita tegas.
Dengan tangan sedikit gemetar, si resepsionis meraih gagang telepon dan mulai menekan nomor. Anita menunggu dengan jantung berdebar, menyadari bahwa inilah momen yang akan menentukan masa depannya.
Sementara si resepsionis berbicara pelan di telepon, Anita merasakan tatapan orang-orang di sekitarnya. Beberapa berbisik-bisik, yang lain menatap penuh rasa ingin tahu. Tapi Anita tetap berdiri tegak, menolak untuk terintimidasi.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, si resepsionis meletakkan gagang telepon. Wajahnya pucat pasi.
"Pak Yanto akan menemui Anda sekarang," ujarnya dengan suara bergetar. "Silakan tunggu di sana. Beliau akan turun sebentar lagi."
Anita mengangguk, berusaha menyembunyikan kelegaan yang membanjiri dirinya. Dia berbalik, bermaksud untuk duduk di area tunggu, ketika matanya menangkap sosok yang membuat darahnya membeku.
Di ujung lobby, berdiri Adrian dengan wajah terkejut... dan murka.
Maya adalah seorang ibu yang telah kehilangan segalanya. Ketika anak gadisnya tewas mengenaskan di tangan seorang anak pejabat yang kebal hukum, Maya tahu keadilan tak akan pernah datang dari pengadilan. Didorong oleh rasa sakit yang tak terlukiskan dan ketidakpercayaan pada sistem hukum yang korup, Maya memutuskan untuk mengambil alih keadilan dengan tangannya sendiri. Dengan rencana yang matang dan keberanian yang tak tergoyahkan, Maya memasuki dunia gelap yang penuh bahaya. Namun, seberapa jauh seorang ibu akan melangkah untuk menuntut balas? Dan apakah pembalasan dendamnya akan membawanya pada keadilan, atau justru menghancurkan sisa-sisa hidupnya?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Selama tiga tahun yang sulit, Emilia berusaha untuk menjadi istri Brandon yang sempurna, tetapi kasih sayang pria itu tetap jauh. Ketika Brandon menuntut perceraian untuk wanita lain, Emilia menghilang, dan kemudian muncul kembali sebagai fantasi tertinggi pria itu. Menepis mantannya dengan seringai, dia menantang, "Tertarik dengan kolaborasi? Siapa kamu, sih?" Pria tidak ada gunanya, Emilia lebih menyukai kebebasan. Saat Brandon mengejarnya tanpa henti, dia menemukan banyak identitas rahasia Emilia: peretas top, koki, dokter, pemahat batu giok, pembalap bawah tanah ... Setiap wahyu meningkatkan kebingungan Brandon. Mengapa keahlian Emilia tampak tak terbatas? Pesan Emilia jelas: dia unggul dalam segala hal. Biarkan pengejaran berlanjut!
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.