Maya adalah seorang ibu yang telah kehilangan segalanya. Ketika anak gadisnya tewas mengenaskan di tangan seorang anak pejabat yang kebal hukum, Maya tahu keadilan tak akan pernah datang dari pengadilan. Didorong oleh rasa sakit yang tak terlukiskan dan ketidakpercayaan pada sistem hukum yang korup, Maya memutuskan untuk mengambil alih keadilan dengan tangannya sendiri. Dengan rencana yang matang dan keberanian yang tak tergoyahkan, Maya memasuki dunia gelap yang penuh bahaya. Namun, seberapa jauh seorang ibu akan melangkah untuk menuntut balas? Dan apakah pembalasan dendamnya akan membawanya pada keadilan, atau justru menghancurkan sisa-sisa hidupnya?
Suara rintihan yang tersendat-sendat memenuhi ruangan sempit yang dipenuhi bau besi dan darah. Pemuda itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya mengerang kesakitan. Ia menggeliat, mencoba menghindari bayangan yang semakin mendekat, tetapi sia-sia.
"Aku mohon... cukup... jangan pukul aku lagi...sakit....," suaranya serak, nyaris tenggelam dalam deru napas yang terengah-engah.
Wanita itu berdiri di atasnya, matanya tajam menatap dengan kebencian yang tak bertepi. Tangannya menggenggam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu kuat. Bibirnya yang dulu lembut kini tertarik ke bawah, menunjukkan ekspresi yang dingin dan penuh dendam.
"Kenapa? Tak kuat menahan sakitnya?" suaranya rendah, hampir berbisik, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan ton kemarahan. "Dulu... saat anakku memohon... apakah kalian berhenti?"
Pemuda itu terisak, air matanya bercampur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku... aku minta maaf... Kumohon, aku menyesal..."
Wanita itu mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Maaf? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kalian lakukan pada ankku? Bisa menghapus penderitaannya? Bisa membangkitkan anakku yang sudah mati?"
Pemuda itu menunduk, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu... aku hanya ikut ikutan... Aku hanya... aku hanya mengikuti yang lain..."
"Ah, begitu," wanita itu mengangguk, nadanya sarkastik. "Jadi Kau hanya mengikuti teman teman mu yang lain, ya? Seperti robot, yang tanpa perasaan, tanpa pikiran... Yang hanya bisa menikmati saat dia berteriak, saat dia memohon... Seperti kau sekarang ini."
"Ahk...sakit.....Tidak... tidak... kumohon... hentikan..jangan pukul aku lagi.," suara pemuda itu berubah menjadi jeritan putus asa ketika wanita itu mengangkat tongkat besi di tangannya.
Dia tidak langsung memukul. Wanita itu menatap pemuda itu dengan mata yang tajam, seolah mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketakutan. Tak ada penyesalan yang tulus, hanya keinginan untuk tetap hidup.
"Mengapa dulu kau tidak berhenti, saat melihat dia tidak berdaya?" wanita itu bertanya lagi, suaranya lebih pelan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan yang sama yang kau rasakan sekarang? Kenapa kau tidak bisa merasakan sakitnya, deritanya?"
Pemuda itu terdiam, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya selain isakan yang semakin keras.
Wanita itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tak menunjukkan kebahagiaan. "Kau tak bisa menjawabnya, bukan?"
Dia mengangkat tongkat itu lebih tinggi, matanya berkedip sejenak, seakan bayangan wajah anak gadisnya yang penuh luka kembali menghantui pikirannya. "Anakku tidak bisa membalas. Tapi kau... kau akan merasakan semua yang telah dia rasakan... setiap detik penderitaannya yang kalian berikan padanya."
Pemuda itu menjerit, mencoba melindungi dirinya dengan kedua tangannya yang lemah, tetapi wanita itu tak peduli. Dengan kekuatan yang berasal dari seluruh kebencian dan sakit hati yang telah menumpuk selama ini, ia menghantamkan tongkat besi itu ke kepala pemuda tersebut.
Dentuman keras terdengar, dan tubuh pemuda itu terkulai ke lantai, tak bergerak. Ruangan itu sepi, hanya suara napas wanita itu yang terdengar, berat dan tersengal.
Wanita itu memandang tubuh tak bernyawa di depannya. Napasnya pelan-pelan mulai tenang, tapi hatinya tidak. Tidak ada perasaan puas, tidak ada kelegaan yang diharapkan, hanya kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan langkah lelah, dia berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan tubuh yang sudah tidak bernyawa di belakangnya.
Angin malam menerpa wajahnya ketika dia keluar dari bangunan tua itu. Matanya menatap kosong ke depan, seakan mencari sesuatu yang tidak pernah bisa dia temukan. Keadilan? Kepuasan? Atau mungkin hanya ketenangan yang telah lama hilang sejak hari itu.
Dia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tetapi wajah anak gadisnya terus menghantui, dengan air mata yang mengalir, memohon... memohon pada ibunya yang kini tak bisa melakukan apa pun selain mengambil nyawa lain dalam upaya putus asa untuk merasakan sedikit keadilan. Tapi apa yang dia rasakan kini hanyalah kehampaan.
Dia sadar, tak ada yang bisa mengembalikan anaknya, tak ada yang bisa menyembuhkan luka di hatinya. Satu-satunya yang tersisa adalah bayangan-bayangan itu, dan malam yang semakin dingin, yang seakan menertawakan kesia-siaan tindakannya.
Namun, jauh di dalam hati, dia tahu bahwa keputusannya tidak bisa diubah. Keadilan telah diambil dengan caranya sendiri, meski harga yang harus dia bayar jauh lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan.
Angin malam yang dingin menusuk tulang, merayap melalui celah-celah kecil di antara bangunan tua yang kini menjadi saksi bisu atas apa yang baru saja terjadi. Maya melangkah keluar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Napasnya berat, seolah-olah beban di dalam dadanya semakin berat setiap kali ia menarik napas. Darah di tangannya masih hangat, menempel seperti pengingat yang tak mungkin dihapus.
Di luar, kegelapan menyelimuti dunia, tapi tidak ada yang bisa menyelubungi rasa kosong yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap langkah Maya terasa berat, seakan bayangan dosa mengikuti setiap gerakannya.
"Berhenti."
Suara itu menghentikan langkah Maya. Tubuhnya menegang, dan dia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya. Ia berdiri di tempat, membiarkan angin malam mengibarkan ujung jaketnya, tapi tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia akan mematuhi panggilan itu.
Anita Putri adalah pengacara hebat dengan penampilan sederhana dan bertubuh gendut. Dia jatuh cinta pada Adrian Hartono, pengacara muda tampan sekaligus anak pemilik Hartono Firm, yang selalu bergantung padanya untuk memenangkan kasus-kasus penting. Namun, hati Anita hancur saat menyadari Adrian hanya memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Dalam kekecewaan dan amarah, Anita bertekad mengubah penampilannya menjadi menarik. Transformasi ini bukan hanya untuk membalas dendam pada Adrian, tetapi juga untuk menemukan jati diri dan kekuatan sejatinya. "Ada Cinta di meja hijau" adalah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan penemuan diri yang akan membuat Anda terpikat hingga halaman terakhir. Apakah perubahan fisik mampu mengubah nasib dan perasaannya? Temukan jawabannya dalam perjalanan emosional yang penuh kejutan ini!
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
ADULT HOT STORY 🔞🔞 Kumpulan cerpen un·ho·ly /ˌənˈhōlē/ adjective sinful; wicked. *** ***
Warning area 21++ khusus dewasa Banyak adegan dewasa Sejak saat Aron mengenalkan yang namanya kenikmatan bercinta pada Prisil, wanita itu menjadi candu. Sayangnya Prisil harus melanjutkan studinya di Amerika, dititipkan pada adik tiri ayahnya. Namun ternyata, tidak ada Aron, paman Derry adik tiri ayahnya pun jadi. Ikuti petualangan nikmat Prisilla!
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Kiara tidak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi seorang istri dari Keith Wilson, gurunya sendiri di usianya yang masih 17 tahun. Ia dan Keith menikah bukan karena saling cinta, melainkan perjodohan yang sudah diatur oleh kedua orangtua mereka. Meski Kiara menentang keras, tapi tidak dengan Keith yang justru menerimanya dengan ikhlas. Kiara tak sadar bahwa ada niat tersembunyi dari perjodohan yang terkesan mendadak dan terburu-buru itu. Belum lagi, Kiara sendiri dibuat tak percaya pada sikap Keith setelah menjadi suaminya yang bersikap sangat posesif serta mengekang ruang geraknya karena larangan-larangan aneh yang pria itu beri. Permasalahan perlahan kian datang mengguncang kehidupan baru Kiara, dimulai dari kekecewaan teman-temannya tentang berita pernikahannya yang ia sembunyikan, lalu hubungan Keith dengan wanita yang jelas mencintai suaminya itu, serta kenyataan dan fakta pahit tentang hidupnya juga masalalunya yang selama ini disembunyikan oleh kedua orangtuanya. Akankah Kiara berhasil melalui dan menyembuhkan luka hatinya itu? Memaafkan masalalu dan menerima Keith kembali yang jelas sudah menyakiti hatinya, yang sayangnya sudah terjatuh dalam pada suaminya tersebut?