/0/20041/coverbig.jpg?v=d3ae2b6c1b626d2e5ef8a039fdd81681)
Maya adalah seorang ibu yang telah kehilangan segalanya. Ketika anak gadisnya tewas mengenaskan di tangan seorang anak pejabat yang kebal hukum, Maya tahu keadilan tak akan pernah datang dari pengadilan. Didorong oleh rasa sakit yang tak terlukiskan dan ketidakpercayaan pada sistem hukum yang korup, Maya memutuskan untuk mengambil alih keadilan dengan tangannya sendiri. Dengan rencana yang matang dan keberanian yang tak tergoyahkan, Maya memasuki dunia gelap yang penuh bahaya. Namun, seberapa jauh seorang ibu akan melangkah untuk menuntut balas? Dan apakah pembalasan dendamnya akan membawanya pada keadilan, atau justru menghancurkan sisa-sisa hidupnya?
Suara rintihan yang tersendat-sendat memenuhi ruangan sempit yang dipenuhi bau besi dan darah. Pemuda itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya mengerang kesakitan. Ia menggeliat, mencoba menghindari bayangan yang semakin mendekat, tetapi sia-sia.
"Aku mohon... cukup... jangan pukul aku lagi...sakit....," suaranya serak, nyaris tenggelam dalam deru napas yang terengah-engah.
Wanita itu berdiri di atasnya, matanya tajam menatap dengan kebencian yang tak bertepi. Tangannya menggenggam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu kuat. Bibirnya yang dulu lembut kini tertarik ke bawah, menunjukkan ekspresi yang dingin dan penuh dendam.
"Kenapa? Tak kuat menahan sakitnya?" suaranya rendah, hampir berbisik, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan ton kemarahan. "Dulu... saat anakku memohon... apakah kalian berhenti?"
Pemuda itu terisak, air matanya bercampur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku... aku minta maaf... Kumohon, aku menyesal..."
Wanita itu mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Maaf? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kalian lakukan pada ankku? Bisa menghapus penderitaannya? Bisa membangkitkan anakku yang sudah mati?"
Pemuda itu menunduk, tubuhnya bergetar. "Aku... aku tidak tahu... aku hanya ikut ikutan... Aku hanya... aku hanya mengikuti yang lain..."
"Ah, begitu," wanita itu mengangguk, nadanya sarkastik. "Jadi Kau hanya mengikuti teman teman mu yang lain, ya? Seperti robot, yang tanpa perasaan, tanpa pikiran... Yang hanya bisa menikmati saat dia berteriak, saat dia memohon... Seperti kau sekarang ini."
"Ahk...sakit.....Tidak... tidak... kumohon... hentikan..jangan pukul aku lagi.," suara pemuda itu berubah menjadi jeritan putus asa ketika wanita itu mengangkat tongkat besi di tangannya.
Dia tidak langsung memukul. Wanita itu menatap pemuda itu dengan mata yang tajam, seolah mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lihat hanyalah ketakutan. Tak ada penyesalan yang tulus, hanya keinginan untuk tetap hidup.
"Mengapa dulu kau tidak berhenti, saat melihat dia tidak berdaya?" wanita itu bertanya lagi, suaranya lebih pelan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan yang sama yang kau rasakan sekarang? Kenapa kau tidak bisa merasakan sakitnya, deritanya?"
Pemuda itu terdiam, tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya selain isakan yang semakin keras.
Wanita itu tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tak menunjukkan kebahagiaan. "Kau tak bisa menjawabnya, bukan?"
Dia mengangkat tongkat itu lebih tinggi, matanya berkedip sejenak, seakan bayangan wajah anak gadisnya yang penuh luka kembali menghantui pikirannya. "Anakku tidak bisa membalas. Tapi kau... kau akan merasakan semua yang telah dia rasakan... setiap detik penderitaannya yang kalian berikan padanya."
Pemuda itu menjerit, mencoba melindungi dirinya dengan kedua tangannya yang lemah, tetapi wanita itu tak peduli. Dengan kekuatan yang berasal dari seluruh kebencian dan sakit hati yang telah menumpuk selama ini, ia menghantamkan tongkat besi itu ke kepala pemuda tersebut.
Dentuman keras terdengar, dan tubuh pemuda itu terkulai ke lantai, tak bergerak. Ruangan itu sepi, hanya suara napas wanita itu yang terdengar, berat dan tersengal.
Wanita itu memandang tubuh tak bernyawa di depannya. Napasnya pelan-pelan mulai tenang, tapi hatinya tidak. Tidak ada perasaan puas, tidak ada kelegaan yang diharapkan, hanya kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan langkah lelah, dia berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan tubuh yang sudah tidak bernyawa di belakangnya.
Angin malam menerpa wajahnya ketika dia keluar dari bangunan tua itu. Matanya menatap kosong ke depan, seakan mencari sesuatu yang tidak pernah bisa dia temukan. Keadilan? Kepuasan? Atau mungkin hanya ketenangan yang telah lama hilang sejak hari itu.
Dia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tetapi wajah anak gadisnya terus menghantui, dengan air mata yang mengalir, memohon... memohon pada ibunya yang kini tak bisa melakukan apa pun selain mengambil nyawa lain dalam upaya putus asa untuk merasakan sedikit keadilan. Tapi apa yang dia rasakan kini hanyalah kehampaan.
Dia sadar, tak ada yang bisa mengembalikan anaknya, tak ada yang bisa menyembuhkan luka di hatinya. Satu-satunya yang tersisa adalah bayangan-bayangan itu, dan malam yang semakin dingin, yang seakan menertawakan kesia-siaan tindakannya.
Namun, jauh di dalam hati, dia tahu bahwa keputusannya tidak bisa diubah. Keadilan telah diambil dengan caranya sendiri, meski harga yang harus dia bayar jauh lebih besar daripada yang pernah dia bayangkan.
Angin malam yang dingin menusuk tulang, merayap melalui celah-celah kecil di antara bangunan tua yang kini menjadi saksi bisu atas apa yang baru saja terjadi. Maya melangkah keluar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Napasnya berat, seolah-olah beban di dalam dadanya semakin berat setiap kali ia menarik napas. Darah di tangannya masih hangat, menempel seperti pengingat yang tak mungkin dihapus.
Di luar, kegelapan menyelimuti dunia, tapi tidak ada yang bisa menyelubungi rasa kosong yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap langkah Maya terasa berat, seakan bayangan dosa mengikuti setiap gerakannya.
"Berhenti."
Suara itu menghentikan langkah Maya. Tubuhnya menegang, dan dia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang memanggilnya. Ia berdiri di tempat, membiarkan angin malam mengibarkan ujung jaketnya, tapi tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia akan mematuhi panggilan itu.
Anita Putri adalah pengacara hebat dengan penampilan sederhana dan bertubuh gendut. Dia jatuh cinta pada Adrian Hartono, pengacara muda tampan sekaligus anak pemilik Hartono Firm, yang selalu bergantung padanya untuk memenangkan kasus-kasus penting. Namun, hati Anita hancur saat menyadari Adrian hanya memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Dalam kekecewaan dan amarah, Anita bertekad mengubah penampilannya menjadi menarik. Transformasi ini bukan hanya untuk membalas dendam pada Adrian, tetapi juga untuk menemukan jati diri dan kekuatan sejatinya. "Ada Cinta di meja hijau" adalah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan penemuan diri yang akan membuat Anda terpikat hingga halaman terakhir. Apakah perubahan fisik mampu mengubah nasib dan perasaannya? Temukan jawabannya dalam perjalanan emosional yang penuh kejutan ini!
Untuk memenuhi keinginan terakhir kakeknya, Sabrina mengadakan pernikahan tergesa-gesa dengan pria yang belum pernah dia temui sebelumnya. Namun, bahkan setelah menjadi suami dan istri di atas kertas, mereka masing-masing menjalani kehidupan yang terpisah, dan tidak pernah bertemu. Setahun kemudian, Sabrina kembali ke Kota Sema, berharap akhirnya bertemu dengan suaminya yang misterius. Yang mengejutkannya, pria itu mengiriminya pesan teks, tiba-tiba meminta cerai tanpa pernah bertemu dengannya secara langsung. Sambil menggertakkan giginya, Sabrina menjawab, "Baiklah. Ayo bercerai!" Setelah itu, Sabrina membuat langkah berani dan bergabung dengan Grup Seja, di mana dia menjadi staf humas yang bekerja langsung untuk CEO perusahaan, Mario. CEO tampan dan penuh teka-teki itu sudah terikat dalam pernikahan, dan dikenal tak tergoyahkan setia pada istrinya. Tanpa sepengetahuan Sabrina, suaminya yang misterius sebenarnya adalah bosnya, dalam identitas alternatifnya! Bertekad untuk fokus pada karirnya, Sabrina sengaja menjaga jarak dari sang CEO, meskipun dia tidak bisa tidak memperhatikan upayanya yang disengaja untuk dekat dengannya. Seiring berjalannya waktu, suaminya yang sulit dipahami berubah pikiran. Pria itu tiba-tiba menolak untuk melanjutkan perceraian. Kapan identitas alternatifnya akan terungkap? Di tengah perpaduan antara penipuan dan cinta yang mendalam, takdir apa yang menanti mereka?
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?
Setelah Ibu yang mengasuhnya meninggal karena kanker payudara, Shahsya memilih berhenti sekolah dan bekerja di sebuah Cafe. Pergaulan bebas membawanya terjerumus pada seks bebas. Mudah nya mencari uang dari menjual tubuhnya telah membutakan Semua rasa. Yang ia lihat hanya uang, ia ingin menunjukkan oada dunia kalau ia bisa kaya seperti keluarga yang sudah mengadopsi nya. Sampai ia akhirnya ia bertemu dengan seorang Pria Buta yang tampan yang meminta nya menjadi istrinya.