a itu tergeletak di lantai, tubuhnya berlumuran darah dan memar. Setiap gerakan kecil membuatnya men
i...sakit....," suaranya serak, nyaris teng
gam erat sebatang tongkat besi yang berkilauan oleh darah, jari-jarinya memutih karena tekanan yang begitu
k, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya membawa berat ribuan t
gan darah yang mengalir dari pelipisnya. "Aku
f? Kau pikir maafmu bisa menghapus apa yang telah kalian lakukan pada ankku
.. aku tidak tahu... aku hanya ikut ikutan...
an teman mu yang lain, ya? Seperti robot, yang tanpa perasaan, tanpa pikiran... Yang
pukul aku lagi.," suara pemuda itu berubah menjadi jeritan pu
mencari sesuatu-penyesalan, ketakutan, atau mungkin sekadar pengakuan. Tapi yang ia lih
gi, suaranya lebih pelan, hampir melankolis. "Mengapa kau tidak bisa merasakan ketakutan
yang bisa keluar dari mulutnya
nyuman yang tak menunjukkan kebahagia
nya yang penuh luka kembali menghantui pikirannya. "Anakku tidak bisa membalas. Tapi kau... kau aka
wanita itu tak peduli. Dengan kekuatan yang berasal dari seluruh kebencian dan sakit hati
i ke lantai, tak bergerak. Ruangan itu sepi, hanya sua
ada perasaan puas, tidak ada kelegaan yang diharapkan, hanya kekosongan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan
ap kosong ke depan, seakan mencari sesuatu yang tidak pernah bisa dia temukan. Kead
air mata yang mengalir, memohon... memohon pada ibunya yang kini tak bisa melakukan apa pun selain mengambil nyaw
hkan luka di hatinya. Satu-satunya yang tersisa adalah bayangan-bayangan itu,
ubah. Keadilan telah diambil dengan caranya sendiri, meski harga yan
apa yang baru saja terjadi. Maya melangkah keluar, wajahnya keras tanpa ekspresi. Napasnya berat, seolah-olah beban di dalam dadany
lubungi rasa kosong yang semakin menggerogoti hatinya. Setiap langka
rhe
tahu siapa yang memanggilnya. Ia berdiri di tempat, membiarkan angin malam mengibarkan