/0/9072/coverbig.jpg?v=1ee1355e6885240b6e5ce16e3b09d48e)
WARNING 21+ * "Aku sangat mencintaimu, Carla ... tolong dengarlah nasihatku." Gilda yang tubuhnya kaku di dalam dekapan Edzhar hanya bisa menelan ludahnya. "Semua itu untuk kebaikanmu, Carla ...." Setelah itu Gilda merasa lengan Edzhar tidak lagi memeluknya dengan erat. * Violetta Gilda terjebak di antara kisah cinta sang sahabat dengan pacarnya. Kesalahan fatal itu bermula saat ia dan Biantara Edzhar Martinez pergi ke pesta bersama dengan teman-temannya. Malam itu, bukan hanya kecelakaan, tapi buah dari kesalahan tumbuh di dalam rahim Gilda. Pada awalnya Gilda memilih merahasiakannya, hingga kakek dari Edzhar yang begitu menyayanginya mengetahui fakta bahwa Gilda tidak tidur di kamar tamu, melainkan kamar Edzhar. Rencananya gagal, dan dia diharuskan menikah dengan sahabatnya sendiri. Carla yang tak terima karena pembatalan pernikahannya bersama Edzhar pun tak tinggal diam, ia bekerja sama dengan ibu Edzhar untuk menyingkirkan Gilda. Bahkan Carla berhasil meminta Edzhar untuk melakukan pernikahan kontrak bersama Gilda. Mampukah Gilda menjaga rumah tangganya demi calon anaknya? Dan bagaimana jika dia semakin mencintai Edzhar karena pernikahan sementara itu? Akankah Edzhar membalas cintanya dan melupakan Carla?
"Kau tidak datang ke perayaan? Aku pikir kau akan ikut," ujar Gilda seraya duduk di pinggir kasur Edzhar dan menatapnya. Dia memerhatikan Edzhar yang tengah tiduran sambil memegang ponsel.
Gilda tengah berada di kamar pribadi Edzhar, seorang pria yang cukup dekat dengannya, tetapi bukan pacar. Gilda adalah sahabat Edzhar sejak mereka duduk di bangku perkuliahan, jadi sudah tidak asing baginya untuk mendatangi kamar Edzhar. Karena malam ini adalah pesta perayaan atas kelulusan mereka, Gilda hendak memastikan bahwa Edzhar turut datang ke pesta.
"Memangnya kau ikut?"
"Kau tidak lihat? Aku sudah memakai gaun, Ed."
Edzhar yang tadinya fokus pada ponsel, kini memandang Gilda. Dari ujung kepala sampai kaki, Edzhar memerhatikan pakaian sahabatnya. "Kau yakin akan memakai gaun itu?" tanya Edzhar dengan pupil membesar.
"Yakin. Mengapa aku harus tidak yakin?"
Gaun yang dipakai Gilda merupakan gaun ketat pendek berwarna putih, dengan model kerah sabrina. Edzhar bisa melihat belahan dada sahabatnya yang tidak tertutupi dengan baik. Oleh sebab itu ia bertanya, dan agar Gilda bisa mengganti dengan gaun yang lebih aman.
"Sebaiknya ganti pakaianmu, itu terlihat ... sedikit menggoda ...," lirih Edzhar sembari menegakkan tubuhnya. Dia turun dari ranjang dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Edzhar berjalan ke lemari pakaiannya dan mencari baju yang akan ia kenakan ke pesta perayaan kelulusan.
"Cuma ini gaun yang aku punya. Lagipula aku tidak akan lama, kelab malam bukan tempat favoritku. Kau kan tahu aku, Ed."
"Ya sudah, terserah kau saja. Aku ganti pakaian dulu."
"Oke. Aku tunggu kau di luar."
Setelah beberapa detik Edzhar di kamar mandi, Gilda pun memilih keluar. Akan tetapi, sebelum angkat kaki, dia mendengar Edzhar memanggil namanya. Membuat Gilda mendekat dan menjawab, "Ada apa?"
"Jangan lupa kabari Carla!" titah Edzhar mengingatkan.
Sambil berdiri di depan pintu, Gilda dengan santai menyahut, "Dia kekasihmu, seharusnya kau sendiri yang mengabari, bukan aku."
"Tolonglah ... aku lupa mengajaknya! Jika tidak diberitahu sekarang, kita akan lama menunggunya berdandan! Bisa-bisa kita terlambat ke pesta."
"Oke, aku hubungi sekarang! Kau sendiri jangan lama-lama berganti pakaian!"
Begitu keluar dari kamar Edzhar, Gilda langsung mengabari Carla. Mengatakan bahwa dia dan Edzhar akan ke rumahnya untuk menjemput beberapa menit lagi. Gilda tak lupa mengatakan bahwa mereka akan pergi ke kelab malam untuk berpesta, merayakan kelulusan Edzhar juga dirinya.
*
"Mungkin hanya ini waktu yang bisa dia gunakan untuk memakai gaun cantik itu," kata Gilda yang mencoba menengahi pertengkaran Edzhar dan Carla di parkiran, yang tidak selesai sejak mereka berangkat dari rumah Carla.
"Cantik? Gaun cantik dari mana? Semua paha dan dadanya terlihat jelas! Kau juga, Gil!" semprot Edzhar masih emosi. Carla memang tampil dengan gaun hitam yang jauh lebih pendek dan terbuka dari Gilda, tak heran Edzhar memarahinya habis-habisan.
"Sudahlah, kita ke club untuk berpesta. Aku tidak suka diceramahi ketika kamu sendiri yang mengajakku ke sini, Sayang ...."
Tidak berhenti di sana pertengkaran dua manusia itu. Sampai di dalam club bernama 'Dark Purple' pun Edzhar masih saja memarahi Carla. Hingga Carla yang kesal memilih untuk masuk lebih dulu, meninggalkan Edzhar.
"Kejar! Mengapa kau diam saja?!" perintah Gilda yang kesal, dan mendorong tubuh Edzhar dengan sekuat tenaga. Hingga akhirnya dia yang sendirian, masuk tanpa teman. Ia lebih memilih untuk jalan santai dan memandangi club itu dengan intens.
Suasana club pada pukul dua belas lewat tiga puluh menit malam ini tampak begitu ramai, semakin riuh. Musik dari disjoki yang mengangguk-anggukkan kepala di atas panggung sana juga memberi semangat para anak muda untuk menggoyangkan pinggul ke kanan-kiri. Tak ketinggalan, lampu kelap-kelip bermacam warna yang membuat kepala Gilda pusing, ingin rasanya dia pulang saja.
Di dalam, ia bertemu dengan semua teman seperjuangan. Akan tetapi, ia tak menemukan Carla. Sosok Edzhar ternyata sudah duduk sendirian di ujung sofa, paling pojok.
Gilda yang penasaran di mana Carla, lantas berjalan mendekat. Sebelum duduk, ia sempat disapa para teman seangkatannya dan bersalaman. Gilda juga disuguhi aneka macam minuman beralkohol.
Dengan senyum tipis Gilda mengangkat gelasnya dan mencicip sedikit. "Carla di mana?"
"Aku tidak tahu."
"Lalu kenapa kau masih di sini?! Kenapa tidak kau cari?!"
"Untuk apa? Dia saja tidak ingin mendengarkan perintahku. Aku sudah memanggilnya beberapa kali, tapi dia terus jalan dan mengabaikanku."
Mendengar itu Gilda menepuk-nepuk pundak Edzhar. Dia sudah tahu bagaimana Carla yang terlalu keras kepala, tidak heran jika Edzhar sulit menasihati gadis itu. "Lain kali bicarakan baik-baik, mungkin Carla akan luluh kalau kau lebih lembut padanya, Ed."
Mereka berdua kembali fokus pada obrolan teman-temannya. Gilda tak banyak bersuara. Ia hanya menanggapi pertanyaan temannya yang penasaran akan pekerjaannya.
Gilda mengatakan bahwa dia baru saja melamar di salah satu perusahaan, namun belum mendapatkan panggilan. Jadi, kegiatan Gilda saat ini hanya sibuk mengelola toko kue roti peninggalan orang tuanya saja. "Menurutku lebih seru nonton drama sembari makan mie instan, daripada di sini ... rasanya aku ingin muntah," keluh Gilda yang ditanggapi Edzhar dengan anggukan kecil.
Gilda yang duduk bersebelahan dengan Edzhar, menyender pada bahu lelaki itu. Mulutnya mulai meracau, setelah kesadarannya perlahan-lahan berkurang. Tangannya bahkan bergerak dengan sendirinya, mengambil gelas setelah menerima tuangan dari Edzhar.
Ia meminum minuman jenis tequilla dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Walau begitu asing bagi Gilda, mulutnya terus meneguk. Beberapa teman mereka yang masih kuat minum bahkan beberapa kali memperingatkan Edzhar untuk berhenti minum agar tidak kobam.
Sayangnya, kesadaran lelaki itu sudah menipis sejak sepuluh menit lalu.
Malam itu, pesta perayaan yang terasa asing bagi Gilda menjadi bencana tak terduga di dalam hidupnya. Ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya dan Edzhar sudah menghabiskan beberapa jam di kamar pria itu. Dipegangnya kepala yang terasa sangat pening.
"Pusing ...," gumam Gilda yang masih belum sepenuhnya sadar. Dia juga tidak tahu kalau gaun putihnya sudah tidak melekat di badan. Butuh beberapa detik untuknya membuka mata dengan sempurna. Begitu menoleh ke samping kiri, detik berikutnya mata berbulu lentik itu melotot lebar.
"Ed-zhar ...," lirihnya bersamaan dengan lengan kekar di pinggangnya mengerat. Merasakan langsung kulit Edzhar, Gilda sadar bahwa dirinya benar-benar polos tanpa busana. "Apakah kami baru saja selesai melakukan hub-" ucapannya terputus saat Edzhar semakin menarik tubuhnya.
"Aku sangat mencintaimu, Carla ... tolong dengarlah nasihatku." Gilda yang tubuhnya kaku di dalam dekapan Edzhar hanya bisa menelan ludahnya. "Semua itu untuk kebaikanmu, Carla ...." Setelah itu Gilda merasa lengan Edzhar tidak lagi memeluknya dengan erat.
Sembari menahan air matanya yang tiba-tiba menetes, Gilda berusaha melepaskan diri dari pelukan Edzhar. Dengan sangat hati-hati, ia turun dari ranjang milik sahabat dekatnya dan memungut pakaian dalam serta gaunnya, dengan buru-buru meskipun pangkal paha begitu perih. Dia juga mengambil tasnya yang tergeletak di atas lantai dekat nakas.
"Mungkin setelah ini aku akan menjauhimu, Ed ...," lirih Gilda sebelum masuk ke kamar mandi Edzhar untuk memakai pakaiannya kembali. Tak butuh waktu lama untuknya berpakaian dan keluar dari sana.
Ia menatap Edzhar cukup lama sebelum benar-benar angkat kaki dari kamar pribadi Edzhar. Kamar yang biasanya dipakai untuk mengerjakan tugas kuliah bersama dengan lelaki tampan nan sopan itu, mungkin tidak akan pernah ia kunjungi lagi. Akibat insiden mengerikan yang tak pernah ia impikan ini, Gilda bertekad bahwa ia harus menjauh atau masalah lain akan muncul.
Sepasang kaki Gilda terayun sangat pelan, pikirannya mengambang. Seumur-umur, baru kali ini tubuh paling privasi dijamah orang lain. Terlebih-lebih orang itu adalah Edzhar, laki-laki yang selalu menemani dan sangat dekat dengannya. Ia bersumpah tidak akan memberitahu siapa pun tentang kejadian yang menimpanya, termasuk Edzhar.
"Gilda? Kaukah itu?" panggil seseorang dari arah dapur, dan di sanalah pintu belakang rumah Edzhar berada. Pintu belakang sebenarnya akan dipakai Gilda untuk menyelinap keluar, supaya tidak ketahuan orang di rumah Edzhar. Namun, takdir sepertinya lagi-lagi tidak berpihak padanya. "Oh, ternyata kau sudah bangun."
Gilda terdiam. Tubuhnya seperti tak bisa digerakkan saat sosok Mateo kini berdiri menghadap ke arahnya. Bahkan pria tua itu sudah menatap lekat-lekat. Gilda yang langkahnya terhenti sejak suara serak itu memanggilnya, mengangguk-angguk pelan.
"Ini masih terlalu pagi, kembalilah ke kamar tamu. Istirahat saja dulu."
"Tidak, Kakek. Aku harus pulang, bibiku pasti khawatir." Gilda menjawab dengan sopan dan tersenyum tipis. "Semalam aku hanya berpamitan ke pesta sebentar. Aku merasa buruk kalau semakin lama di sini, Kakek."
"Setidaknya minumlah susu hangat dulu, alkohol sudah menyiksamu. Akan sangat berbahaya jika kau pulang sepagi ini sendiri." Mau tidak mau Gilda menerima tawaran Mateo, dan diajak Mateo ke ruang makan. "Kau duduk saja di sini, aku akan meminta pelayan membuatkanmu susu hangat."
"Tidak, Kakek." Gilda masih berusaha menolak baik-baik.
"Setidaknya biarkan perutmu membaik walau hanya dengan segelas susu hangat.
"Baiklah, tapi biar aku saja," tolak Gilda yang benar-benar merasa tak enak.
Namun, Mateo bersikukuh untuk menahan Gilda di ruang makan. "Tidak, Gilda. Aku tahu kau sedang kelelahan, duduklah dengan tenang. Mukamu tampak tidak baik-baik saja, Nak." Sangat terpaksa kepala Gilda bergerak ke atas dan bawah. "Setelah itu aku akan meminta sopir mengantarmu, agar kau pulang dengan selamat."
"Baik, Kakek."
Mateo kembali ke dapur dan meninggalkan Gilda di ruang makan sendiri. Menatap punggung kakek Edzhar yang perlahan menjauh, gadis itu jadi kepikiran akan ucapan pria tua tersebut. Jika setahu Mateo dirinya semalam dibawa ke kamar tamu, lalu mengapa ia bisa terbangun di ranjang Edzhar?
Gilda merasa ada yang tidak beres. Keanehan yang benar-benar dirinya tak habis pikir bisa terjadi, dan menimpanya dalam sekejap saja. Baru saja Gilda hendak menampar wajahnya sendiri, pelayan datang membawakan susu hangat yang dipesankan Mateo, namun bersama beberapa kue. Ditaruh di hadapannya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Gilda menahan tangan pelayan itu. "Tunggu, Mona ... ada yang ingin aku tanyakan," ucap Gilda kemudian yang membuat pelayan itu mengangguk dan mempersilakan Gilda bertanya. "Kau tahu siapa yang membawaku ke mari semalam?"
"Tentu saja aku tahu, Nona. Beberapa teman tuan Edzhar yang membawa kalian ke rumah. Aku juga ikut menuntunmu, karena semalam kau mabuk berat, Nona," terang Mona tanpa ditutup-tutupi. "Apa kau tidak ingat sama sekali?" tanya Mona yang membuat Gilda menggeleng.
"Di mana kau membaringkanku semalam?"
"Tentu saja di kamar tamu yang berada di samping kamar tuan Edzhar, Nona." Gilda yang mendengar jawaban Mona tentu saja terkejut, sampai menelan ludahnya sendiri dengan mata membola. Melihat ekspresi Gilda, Mona pun bertanya, "Apakah ada yang salah dengan kamar itu?"
"Ti-tidak, tidak ada, Mona. Terima kasih sudah menolongku kemarin." Gilda tersenyum tipis dengan pikiran kacau. Mendekatkan gelas berisi susu vanila hangat ke bibir, dia berkata, "Terima kasih juga untuk minumannya ...." Mona lantas kembali ke dapur untuk menyiapkan menu sarapan khusus perintah Mateo Martinez.
"Jadi, siapa yang membawaku ke kamar Edzhar?" gumam Gilda yang menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia merasa bodoh jika memang itu yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, bagaimana kalau ada yang menjebaknya? Kalau iya, siapa? Membuang napasnya, Gilda kembali minum.
"Tidak mungkin orang-orang di sini melakukan hal gila itu," lirihnya sebelum bangun dari kursi. Apalagi saat membayangkan wajah Mateo, sepertinya sangat mustahil bagi Gilda kalau pria tua itu merencanakan hal konyol. Ia menambahkan, "Termasuk kakek, tidak mungkin ... lalu, siapa? Dan untuk apa?" Gilda terdiam sebentar sebelum bertanya pelan pada diri sendiri, ucapnya, "Mungkinkah aku berjalan ke kamarnya tanpa sadar?"
Leonathan tidak berhenti menghentikan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. “Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya.” Brielle memutar badan ke belakang, lalu menatap pria keturunan Amerika itu dengan mata tajam. Kepalanya mendongak, lalu menyahut, “tiga tahun ini dia sudah hidup tanpa sosok ayah. Jadi, untuk apa kau hadir di dalam hidupnya? Bagiku, kau sudah tiada.” Brielle kembali melanjutkan langkahnya. Dia harus segera masuk toko jika tidak ingin gajinya dipotong. Namun, baru beberapa langkah, Leonathan kembali menjawab, “aku tidak akan pergi sebelum membawa kalian. Itu adalah tekadku setelah menemukanmu, dan anak kandungku.”
Cerita ini mengandung unsur 21+. Harap bijak memilih bacaan. Akibat dijebak dengan pria di kelab malam, Allura tidur bersama orang asing. Tetapi, satu minggu kemudian dia hendak dijodohkan oleh sahabat yang dicintainya. Apakah Allura memilih terima perjodohan tersebut? Atau justru meminta pertanggung jawaban pria asing itu? Bagaimana jika apa yang dialami Allura malam itu adalah hukuman atas kesalahan kedua orang tuanya pada wanita yang tidak lain adalah ibu dari pria asing itu?
Mohon perhatikan umur sebelum membaca. Cerita mengandung adegan dewasa 21+ Kecerobohan Lily yang lupa mengunci pintu kamar, membuat teman baiknya, yakni Deron si laki-laki dingin itu justru berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan Deron tak ragu untuk menawarkan sesuatu yang menguntungkan. Namun, bagaimana jika yang ditawarkan Deron bukan seperti yang ada di pikiran Lily? Apakah Lily sanggup melakukannya?
Galenka Helga seorang mahasiswi biasa yang suka menghabiskan waktu untuk belajar, dan tidak suka mengikuti gosip tentang dosen tampan yang terkenal playboy di kampus. Namun sayangnya, sang dosenlah yang menjadi suami Helga karena mereka dijodohkan oleh Hans, yakni bos dari kakek Helga. Helga dipaksa menerima perjodohan itu karena biaya perkuliahannya selama ini dibantu oleh Hans Anderson, ayah dari sang dosen. Bukan cuma itu, Helga dipaksa menikah dengan Hadyan sebab, ada bocah laki-laki yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Tak hanya Hans yang memintanya menikah, sang dosen pun memaksa Helga menerima perjodohan itu meski mantan istrinya masih menginginkannya. Selain itu, Helga juga harus menyembunyikan pernikahan mereka demi karier mantan istri sang dosen. Apa yang terjadi jika mantan istri dosennya berusaha menyingkirkannya? Mampukah Helga bertahan di samping Hadyan dan menjaga pernikahan mereka? Lalu bagaimana jika Hadyan hanya mempermainkan perasaannya? "Jangan pernah sekali pun kau berbicara buruk mengenai mantan istriku." Helga sedikit tersenyum mendengar nada suara Hadyan. "Oh, ternyata Bapak sangat mencintai mantan istri Bapak yang selingkuh itu dan sulit move on?!" Helga tersenyum miring. "Miris sekali, cinta tulus Bapak dikhianati."
Memang benar perkataan adrian tentang dirinya, dia wanita yang sangat cantik nan rupawan, aroma tubuhnya sampai tercium meskipun jarak di antara kita cukup jauh. tubuhnya juga sangat terawat, pantatnya yang besar dan nampak sekel, dan lagi payudara miliknya nampak begitu bulat berisi. "Ehmm... dia itu yaa wanita yang mendapat IP tertinggi sekampus ini !", gumamku. "Cantik, kaya dan pintar.. dia seperti mutiara di kampus ini !", lanjut gumamku.
Semua orang terkejut ketika tersiar berita bahwa Raivan Bertolius telah bertunangan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pengantin wanita yang beruntung itu dikatakan hanyalah seorang gadis biasa yang dibesarkan di pedesaan dan tidak dikenal. Suatu malam, wanita iru muncul di sebuah pesta dan mengejutkan semua orang yang hadir. "Astaga, dia terlalu cantik!" Semua pria meneteskan air liur dan para wanita cemburu. Apa yang tidak mereka ketahui adalah bahwa wanita yang dikenal sebagai gadis desa itu sebenarnya adalah pewaris kekayaan triliunan. Tak lama kemudian, rahasia wanita itu terungkap satu per satu. Para elit membicarakannya tanpa henti. "Ya tuhan! Jadi ayahnya adalah orang terkaya di dunia? "Dia juga seorang desainer yang hebat dan misterius, dikagumi banyak orang!" Meskipun begitu, tetap banyak orang tidak percaya bahwa Raivan bisa jatuh cinta padanya. Namun, mereka terkejut lagi. Raivan membungkam semua penentangnya dengan pernyataan, "Saya sangat mencintai tunangan saya yang cantik dan kami akan segera menikah." Ada dua pertanyaan di benak semua orang: mengapa gadis itu menyembunyikan identitasnya? Mengapa Raivan tiba-tiba jatuh cinta padanya?
Karin jatuh cinta pada Arya pada pandangan pertama, tetapi gagal menangkap hatinya bahkan setelah tiga tahun menikah. Ketika nyawanya dipertaruhkan, dia menangis di kuburan orang terkasihnya. Itu adalah pukulan terakhir. "Ayo bercerai, Arya." Karin berkembang pesat dalam kebebasan barunya, mendapatkan pengakuan internasional sebagai desainer. Ingatannya kembali, dan dia merebut kembali identitasnya yang sah sebagai pewaris kerajaan perhiasan, sambil merangkul peran barunya sebagai ibu dari bayi kembar yang cantik. Arya panik ketika pelamar yang bersemangat berduyun-duyun ke arah Karin. "Aku salah. Tolong biarkan aku melihat anak-anak kita!"
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
Ava menarik nafas panjang sebelum melepas penutup terakhir tubuhnya. Dan kali ini, yang hadir hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya. Sore itu ia merasa menyatu dengan alam.
Setelah malam yang penuh gairah, Viona meninggalkan sejumlah uang dan ingin pergi, tetapi ditahan oleh sang pria. "Bukankah giliranmu untuk membuatku bahagia?" Viona, selalu menyamar sebagai wanita jelek, tidur dengan om tunangannya, Daniel, untuk melarikan diri dari pertunangannya dengan tunangannya yang tidak setia. Daniel adalah sosok yang paling dihormati dan dikagumi di kota. Kabar tentang petualangan romantisnya beredar, beberapa mengatakan mereka melihatnya mencium seorang wanita di dinding dan yang lain menyebutnya gosip. Siapa yang bisa menjinakkan hati Daniel? Kemudian, yang mengejutkan, Daniel ketahuan membungkuk untuk membantu Viona mengenakan sepatu, semata-mata demi mendapatkan ciuman darinya!