Leonathan tidak berhenti menghentikan kaki demi mengejar perempuan yang selama ini dia cari. "Bicarakan ini baik-baik, Elle. Dia juga membutuhkanku untuk tumbuh. Jangan bersikap egois, aku juga orang tuanya." Brielle memutar badan ke belakang, lalu menatap pria keturunan Amerika itu dengan mata tajam. Kepalanya mendongak, lalu menyahut, "tiga tahun ini dia sudah hidup tanpa sosok ayah. Jadi, untuk apa kau hadir di dalam hidupnya? Bagiku, kau sudah tiada." Brielle kembali melanjutkan langkahnya. Dia harus segera masuk toko jika tidak ingin gajinya dipotong. Namun, baru beberapa langkah, Leonathan kembali menjawab, "aku tidak akan pergi sebelum membawa kalian. Itu adalah tekadku setelah menemukanmu, dan anak kandungku."
"Cepat sedikit, kau tahu kan kalau aku tidak bisa menunggumu lebih lama?" ujar seseorang dari balik telepon genggam Leonathan. "Sesibuk-sibuknya dirimu, pasti tidak pernah terlambat datang ke mari. Cepatlah!"
"Ya, aku segera datang," putus Leonathan yang tidak bisa mendengar atau melihat seseorang marah atau menangis karena dirinya sendiri. "Tunggu sebentar lagi." Kemudian panggilan dimatikan oleh sang penelepon.
Punggung tegak diiringi dengan langkah kaki dari sepatu hitam pantofel, menjauhi ruang kerja di lantai dua. Begitu melewati pintu, kacamata yang semula menggantung di kemeja, kini menutupi kedua mata biru miliknya. Pria berjas hitam menuruni tangga dengan langkah yang sedikit terburu-buru, tak sabar untuk mengunjungi tempat favorit. Di mana lagi tujuannya kalau bukan bar dan klub malam.
Semakin cepat menuruni tangga cafe miliknya, Leonathan menatap lurus ke depan. Menggubris sapaan karyawannya dengan lambaian tangan singkat. Kemudian melewati pintu keluar kafe bernuansa ramai di lantai bawah itu sambil merogoh kantong celana hitam yang kini dia pakai. Mengeluarkan kunci sambil menghampiri mobil hitam, BMW Z4 seharga 1,69 Milyar yang dibelinya dua tahun lalu. Tentunya menabung sebanyak mungkin dan bekerja sekeras yang Leonathan bisa demi mendapatkan mobil sedan sport tersebut.
Mata birunya tak berhenti melirik beberapa gadis yang secara terang-terangan mengamatinya. Ingin rasanya melebarkan senyuman, tetapi dia tak ada waktu untuk itu. Begitu masuk ke dalam mobil, Leonathan menekan pedal gasnya cukup kencang. Kedua tangan fokus menyetir, bersama pandangan lurus ke depan. Pria itu fokus menyetir agar cepat sampai ke tempat tujuan favorit.
Tibalah mobil mahal hitam itu di sebuah parkiran klub dan bar, cukup terkenal di daerah Kuta, Bali. Mobil Leonathan pun terparkir rapi. Sebelum keluar, Leonathan melepas jas hitam dan meninggalkannya di kursi. Sang pemilik lantas keluar dengan tubuh tegap sambil menggulung lengan kemeja putih yang ia pakai sampai siku, begitu pula dengan lengannya yang lain. Baru beberapa melangkah, mata biru pria berumur dua puluh lima ini tertuju pada seorang gadis yang tengah tertawa lepas ketika ingin memasuki klub. Leonathan terpaku dengan tampilan gadis itu yang terbilang mampu menarik sesuatu di dalam dirinya.
"Sebuah cahaya di tempat gelap," gumam Leonathan di dalam hati secara spontan saat sepasang mata birunya tak berhenti menatap seorang gadis yang memakai red backless dress atau model gaun dengan punggung terbuka. Hanya ada tali spaghetti yang menyilang di punggung gadis itu. Untuk menyadarkan diri sendiri, ia berdeham. Memantapkan langkah lebih lagi sebelum mendorong pintu masuk klub.
Berhubung belum ada pukul sebelas malam, beberapa pengunjung bisa masuk tanpa pemeriksaan yang ketat. Karena Leonathan terlalu sering hadir di salah satu klub terkenal di Bali ini, ia dengan mudah masuk. Ya, pria itu selalu datang ke sana walaupun memiliki kesibukan yang cukup menguras otak. Suasana klub dan beberapa pemandangan di sanalah yang mampu menyegarkan otaknya meski sejenak.
Seperti biasa, Leonathan lebih suka berada di indoor ketimbang outdoor. Begitu melihat sosok Alice, Leonathan semakin mendekat. "Di mana gadis seksi itu? Cepat sekali perginya," gumam Leonathan sembari celingak-celinguk dengan mata tajam yang menyorot setiap sudut klub. Cukup ramai pengunjung, tetapi dia masih penasaran dengan gadis cantik yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bahkan baru malam ini netra biru pria keturunan Amerika ini mengangkap sosok cantik dan langsing yang berhasil membuatnya tertarik.
"Apa yang ingin kau katakan? Kau terlalu memaksa hari ini," ujar Leonathan setelah duduk di samping kanan Alice. "Aku tahu kebiasaanmu sebagai wanita pemaksa, tetapi hari ini kau lebih berisik dari biasanya. Ada apa?" imbuhnya lagi dengan lengan kiri tersampir di sofa. Ia bahkan mencondongkan tubuhnya ke arah Alice. "Ada masalah dengan siapa lagi kali ini, hem? Katakan padaku yang sebenarnya."
Alice memutar bola matanya ketika Leonathan mengelus dagunya dengan tatapan menggoda. Sudah biasa Leonathan bertingkah seperti itu, Alice tidak terkejut lagi. Bersahabat lama Dengan Leonathan, membuatnya paham dan hapal bagaimana sifat dan sikap pria tersebut. "Masalahku cukup besar kali ini."
"Soal pria lagi?" Dengan santai Alice menggangguk. "Kali ini siapa yang meninggalkanmu?" tanya Leonathan sembari mengambil salah satu gelas yang beralkohol.
Sudah pasti Alice yang memesan untuknya. Sembari menunggu jawaban Alice, dia mencari-cari wanita cantik bergaun merah serta bertubuh langsing yang mampu menariknya dalam sekali tatap. Berharap malam ini dia bisa mengobrol atau bahkan jikaberuntung, Leonathan bisa tidur bersama wanita itu.
"Aku tidak ditinggalkan, tapi dikejar-kejar."
"Really? Ada yang mau mengejarmu?"
"Kau pikir aku tidak laku?! Bukan kau saja yang dikejar para wanita, aku pun sama!" Mendengar itu Leonathan hanya terkekeh. Fokusnya benar-benar tersita. Dia sangat penasaran dengan perempuan cantik dengan rambut dicepol tinggi. Memperlihatkan leher jenjang dan punggung yang terekspos karena model pakaiannya yang panas. Leonathan harus mendapatkan perempuan cantik itu, setidaknya nomor ponselnya. Minimal berbincang, karena jarang sekali dia menginginkan perempuan asal Bali atau wanita yang tidak sepertinya, keturunan barat. "Sepertinya ada yang tidak beres. Kau seperti sedang mencari sesuatu, Nath ..." lanjut Alice sembari mengikuti arah mata Leonathan yang menjurus ke lantai dansa. "Kau ingin mencari mangsa?"
"Ada seorang perempuan lokal yang membuatku tertarik."
"Kau? Tertarik?"
"Ya, kurasa begitu." Sekarang Alice yang terkekeh mendengar pengakuan Leonathan. "Bukankah ini sudah biasa? Kenapa kau tertawa?"
"Kau bisa tertarik setelah mencobanya. Kata-kata itu yang biasa kau ucapkan, Nath. Bagaimana bisa kau tertarik hanya karena melihatnya? Kau membuatku heran. Sungguh, aku heran padamu ... terlebih lagi perempuan lokal? HAHA ... kau saja tidak bisa move on dariku, bagaimana bisa kau tertarik dengan perempuan asli sini?"
"Seharusnya kau mendukungku untuk melupakanmu sepenuhnya," balas pria berkemeja putih itu sebelum meneguk koktail miliknya lagi. Mata biru lelaki itu semakin tidak berhenti mencari sosok perempuan yang rambut hitamnya digulung tinggi-tinggi dan bergaun seksi. Lekuk tubuh gadis yang berkulit sedikit kecokelatan itu terekam jelas di mata dan otak Leonathan. Begitu menyita perhatian kala matanya tak sengaja menatap postur tubuh tersebut.
"ALICE ...!" teriak seorang perempuan dari arah depan Alice sembari melambai ke arah orang yang dipanggil dan Leonatha, yang tengah duduk bersebelahan.
"NAOMI!" pekik Alice dan seketika itu juga dia bangun dari sofa dan merentangkan kedua tangan setelah melihat sahabatnya itu berlari ke arahnya. "Akhirnya kita bertemu! Kenapa kau tidak mengabariku dulu kalau ingin ke sini?
Naomi memeluk erat Alice, melupakan kawannya yang masih berjalan pelan ke meja Leonatan dan Alice. "Aku memang sengaja, mau memberi kejutan untukmu," balasnya.
Leonathan sudah mengabaikan kedua perempuan yang tengah berpelukan, menjadi memandangi gadis berwajah lonjong dan bibir sedikit tebal itu dengan intens. Sampai akhirnya suara Alice berhasil menyadarkan. "Kenalkan, ini Naomi, sahabatku yang sedang berlibur ke Bali," ujar Alice sebelum berbisik ke telinga Leonathan, "sepasang matamu memerhatikan siapa?"
"Aku tidak sendirian." Naomi kemudian berbalik, melambaikan tangan ke arah temannya yang masih berjalan di belakang dengan malas-malasan. Gadis itu seperti enggan berjalan ke meja Alice dan Leonathan, terlihat dari langkah kaki yang diperlambat. "Kemari, Elle!"
Sementara Leonathan yang sedari tadi mengamati gadis bernama Elle, meneguk minuman beralkohol tanpa menjawab pertanyaan terakhir Alice. Pria itu juga memberikan senyuman tipis untuk Naomi, yang mulai duduk di sisi kiri Alice. Tiba-tiba saja Alice mengatakan, "kau bisa duduk di sebelah Leonathan, sahabatku dari dulu." Leonathan dan Elle lantas mendelik ke arah Alice. "Leonathan tidak galak, jadi santailah."
Naomi pun ikut bersuara, "benar kata Alice, santai saja Elle ... maklum, Brielle tidak pernah datang ke tempat seperti ini."
"Oh ... aku baru tahu kalau masih ada gadis polos seperti dirimu," balas Alice yang lantas menyenggol lengan kiri Leonathan seraya berdeham. "Ajaklah mengobrol, aku perlu berbincang dengan sahabatku ini," sambungnya sambil tersenyum cerah pada Naomi. Bukan cuma itu, tetapi ia juga berniat untuk memberikan celah bagi Leonathan. Tentunya, agar pria itu bisa lebih dekat dengan Elle, karena Alice merasa bahwa gadis itulah yang diincar Leonathan sejak tadi. Alice yakin, Leonathan dari tadi mencari-cari perempuan bertubuh ideal dengan wajah khas atau asli Indonesia itu, yang tak lain adalah teman Naomi.
"Wah ... itu ide yang bagus! Karena Elle baru saja putus dan di-"
"Jangan angkat bicara lagi, Naomi!" sentak Elle yang mulai mencium ketidaksengajaan Naomi untuk membeberkan masalahnya hari ini.
"Maaf, aku tidak bermaksud," sesal sahabat Elle yang berpakaian lebih pendek darinya. "Aku keceplosan Elle." Brielle hanya memutar bola mata dan berdiri tegak tanpa berniat duduk, baik di sebelah Naomi atau pun Leonathan, walau sudah dipersilakan duduk.
"Mungkin kau bisa bercerita sedikit padaku," ujar Leonathan begitu saja dan berdiri. Tanpa basa-basi dia berjalan ke arah Brielle. "Aku juga pria, tidak salahnya kita berteman," lanjutnya dengan senyum tipis namun terlihat sangat ramah di mata Elle.
Padahal, sedari tadi Brielle berusaha menghindari tatapan pria yang kini di hadapannya. Karena di dasar hati, Elle merasa ada yang tidak beres dari pria tersebut. Baik dari penampilan atau bahkan tatapan yang mengarah padanya. Seperti ada sesuatu yang membuat Elle harus waspada. Entah perasaan dari mana itu, tetapi Brielle cukup merasa ada yang harus dijaga.
"Ya, siapa tahu kalian bisa berdiskusi," Naomi terlihat sangat mendukung ucapan Leonathan.
"Dia bisa memberikan solusi, berkenalanlah dan bertemanlah dengan baik," imbuh Alice seraya melebarkan senyum di wajah berhiaskan make-up cukup tebal, beda jauh dari dandanan Elle yang tidak mencolok.
Kini tangan kanan Leonathan sudah terulur di depan gadis yang membuatnya penasaran seklaigus tertarik. Berharap ajakannya tidak ditolak mentah-mentah. Entah kenapa, jantungnya berdetak lebih cepat di saat Elle benar-benar menerima uluran tangan yang ia berikan dan membalas senyum ramahnya. "Kita cari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Aku tahu, kau buta akan tempat semacam ini."
"Ya, sangat."
"So, ikuti aku." Dengan sekali anggukan Elle merespons dan tanpa protes dia berjalan di sisi kiri Leonathan. Sedangkan pria itu, ingin sekali menempatkan tangannya di pinggang Elle. Melingkar dan mendekap erat di sana dengan wajah sumringahnya.
Meninggalkan klub bagian indoor, Leonathan berencana untuk membawa Elle keluar. Ia rasa, suasana outdoor lebih menyenangkan ketimbang di dalam. Demi gadis itu, Leonathan mau menginjakkan kaki keluar lagi, dimana suasana pedesaan lebih terasa. Dikarenakan konsep dari klub tersebut yang out of the box, jarang ditemukan di Bali. Suasana khas Brazil begitu kental, semakin terasa jika dirinya berada di klub bagian luar, menurut pribadi Leonathan sejak menginjakkan kaki di klub itu dulu.
Bagaimana tidak terlihat seperti pedesaan, banyak ditumbuhi pepohonan yang menjulang. Lingkungan di sekitar Leonathan dan Brielle benar-benar seperti di dalam hutan. Leonathan pun memilih tempat duduk yang tidak terlalu berbaur dengan pengunjung yang lain.
"Sepertinya kau sudah terbiasa di sini. Maksudku, seperti sudah sering datang ke tempat ini."
"Ya, kau benar sekali. Setiap hari aku berkunjung. Tempat favoritku dan Alice." Brielle yang mendengar pernyataan itu cukup terkejut, sampai sepasang matanya melebar. "Walau terkenal sebagai night club teramai di Bali, penjagaan di sini cukup ketat. Tidak ada yang bisa mabuk di sini, karena siapapun yang didapati kelebihan meminum alkohol, dia bisa diseret keluar. Jadi kau santai saja, tidak ada yang bisa berbuat macam-macam denganmu di sini."
"Hem ... aku semakin percaya."
"Maksudmu?"
"Naomi sempat memberitahuku tentang itu. Tapi aku belum bisa percaya, walaupun aku tahu kalau Naomi tidak akan berbohong. Mendengar ucapanmu barusan, aku semakin memercayai perkataan Naomi."
"Jadi, kau memang tidak pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya?"
"Tidak kelihatan, ya?" Leonathan mengangguk kecil. "Dua puluh tahun aku hidup di Bali, baru kali ini aku menginjak tempat semacam ini."
"Unik sekali."
"Tapi, sekarang aku ingin bernapas lega."
Beberapa detik setelah mendengar pengakuan polos dari Elle, Leonathan semakin tertarik mendengarnya. Gadis yang sedari tadi ia incar ini ternyata sangat polos. Lebih polos dari yang ia kira. "Kau selalu dikekang?"
"Tidak, aku saja yang terlalu menjaga diri dari dunia. Aku diputuskan oleh kekasihku juga karena aku terlalu menutup diri. Kedengaran mengenaskan, bukan?"
"Pria mana yang mau melepaskanmu? Kau sangat cantik dan mengagumkan. Hanya pria bodoh yang mampu melepaskanmu dan tidak takut kehilanganmu." Tiba-tiba saja Brielle tertawa ketika mendengar penuturan Leonathan yang berlebian sekali baginya. "Aku sedang tidak melucu. Mengapa kau tertawa? Aku bicara apa adanya setelah mendengar pengakuanmu," tambah Leonathan yang tampak sangat serius di mata Elle.
Brielle yang sudah terbahak, seketika saja meredam mulutnya supaya tak lagi menyemburkan tawa. Beralih menatap mata biru pria itu lekat-lekat. Brielle mencoba untuk menegakkan badan, lalu memangku kaki kanannya dengan kaki kiri dan berdeham singkat. Tangannya terlipat di depan dada, sesudah itu mengajak, "aku ingin lega sekali lagi. Sehabis mengobrol bersamamu, aku merasa lega, tetapi belum seleuruhnya. Cuma sebagian di diriku yang lega, tapi belum sepenuhnya."
"Kau menginginkan apa?"
"Aku ingin mencoba alkohol."
"Kau yakin?"
"Untuk apa aku ragu? Ada dirimu yang bisa menemaniku. Kau akan melindungiku 'kan?" tanya Brielle yang tak lagi merasakan ragu. Ia menepis perasaan was-was untuk Leonathan. Menurutnya, mungkin perasaan waspada itu hadir karena Leonathan adalah laki-laki. Dimana makhluk yang harus ia hindari setelas putus dengan mantan. "Izinkan aku benar-benar merasa lega."
"Bagaimana kalau kita pergi dari sini? Aku akan membawamu ke rumahku, supaya kau bisa lebih bebas."
"Aku terima tawaranmu," balas Elle sembari bangkit dari tempat duduk cokelat kayu yang baru beberapa menit lalu menampung berat tubuhnya.
Cerita ini mengandung unsur 21+. Harap bijak memilih bacaan. Akibat dijebak dengan pria di kelab malam, Allura tidur bersama orang asing. Tetapi, satu minggu kemudian dia hendak dijodohkan oleh sahabat yang dicintainya. Apakah Allura memilih terima perjodohan tersebut? Atau justru meminta pertanggung jawaban pria asing itu? Bagaimana jika apa yang dialami Allura malam itu adalah hukuman atas kesalahan kedua orang tuanya pada wanita yang tidak lain adalah ibu dari pria asing itu?
Mohon perhatikan umur sebelum membaca. Cerita mengandung adegan dewasa 21+ Kecerobohan Lily yang lupa mengunci pintu kamar, membuat teman baiknya, yakni Deron si laki-laki dingin itu justru berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan Deron tak ragu untuk menawarkan sesuatu yang menguntungkan. Namun, bagaimana jika yang ditawarkan Deron bukan seperti yang ada di pikiran Lily? Apakah Lily sanggup melakukannya?
Galenka Helga seorang mahasiswi biasa yang suka menghabiskan waktu untuk belajar, dan tidak suka mengikuti gosip tentang dosen tampan yang terkenal playboy di kampus. Namun sayangnya, sang dosenlah yang menjadi suami Helga karena mereka dijodohkan oleh Hans, yakni bos dari kakek Helga. Helga dipaksa menerima perjodohan itu karena biaya perkuliahannya selama ini dibantu oleh Hans Anderson, ayah dari sang dosen. Bukan cuma itu, Helga dipaksa menikah dengan Hadyan sebab, ada bocah laki-laki yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Tak hanya Hans yang memintanya menikah, sang dosen pun memaksa Helga menerima perjodohan itu meski mantan istrinya masih menginginkannya. Selain itu, Helga juga harus menyembunyikan pernikahan mereka demi karier mantan istri sang dosen. Apa yang terjadi jika mantan istri dosennya berusaha menyingkirkannya? Mampukah Helga bertahan di samping Hadyan dan menjaga pernikahan mereka? Lalu bagaimana jika Hadyan hanya mempermainkan perasaannya? "Jangan pernah sekali pun kau berbicara buruk mengenai mantan istriku." Helga sedikit tersenyum mendengar nada suara Hadyan. "Oh, ternyata Bapak sangat mencintai mantan istri Bapak yang selingkuh itu dan sulit move on?!" Helga tersenyum miring. "Miris sekali, cinta tulus Bapak dikhianati."
WARNING 21+ * "Aku sangat mencintaimu, Carla ... tolong dengarlah nasihatku." Gilda yang tubuhnya kaku di dalam dekapan Edzhar hanya bisa menelan ludahnya. "Semua itu untuk kebaikanmu, Carla ...." Setelah itu Gilda merasa lengan Edzhar tidak lagi memeluknya dengan erat. * Violetta Gilda terjebak di antara kisah cinta sang sahabat dengan pacarnya. Kesalahan fatal itu bermula saat ia dan Biantara Edzhar Martinez pergi ke pesta bersama dengan teman-temannya. Malam itu, bukan hanya kecelakaan, tapi buah dari kesalahan tumbuh di dalam rahim Gilda. Pada awalnya Gilda memilih merahasiakannya, hingga kakek dari Edzhar yang begitu menyayanginya mengetahui fakta bahwa Gilda tidak tidur di kamar tamu, melainkan kamar Edzhar. Rencananya gagal, dan dia diharuskan menikah dengan sahabatnya sendiri. Carla yang tak terima karena pembatalan pernikahannya bersama Edzhar pun tak tinggal diam, ia bekerja sama dengan ibu Edzhar untuk menyingkirkan Gilda. Bahkan Carla berhasil meminta Edzhar untuk melakukan pernikahan kontrak bersama Gilda. Mampukah Gilda menjaga rumah tangganya demi calon anaknya? Dan bagaimana jika dia semakin mencintai Edzhar karena pernikahan sementara itu? Akankah Edzhar membalas cintanya dan melupakan Carla?
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Kiara tidak pernah berpikir bahwa ia akan menjadi seorang istri dari Keith Wilson, gurunya sendiri di usianya yang masih 17 tahun. Ia dan Keith menikah bukan karena saling cinta, melainkan perjodohan yang sudah diatur oleh kedua orangtua mereka. Meski Kiara menentang keras, tapi tidak dengan Keith yang justru menerimanya dengan ikhlas. Kiara tak sadar bahwa ada niat tersembunyi dari perjodohan yang terkesan mendadak dan terburu-buru itu. Belum lagi, Kiara sendiri dibuat tak percaya pada sikap Keith setelah menjadi suaminya yang bersikap sangat posesif serta mengekang ruang geraknya karena larangan-larangan aneh yang pria itu beri. Permasalahan perlahan kian datang mengguncang kehidupan baru Kiara, dimulai dari kekecewaan teman-temannya tentang berita pernikahannya yang ia sembunyikan, lalu hubungan Keith dengan wanita yang jelas mencintai suaminya itu, serta kenyataan dan fakta pahit tentang hidupnya juga masalalunya yang selama ini disembunyikan oleh kedua orangtuanya. Akankah Kiara berhasil melalui dan menyembuhkan luka hatinya itu? Memaafkan masalalu dan menerima Keith kembali yang jelas sudah menyakiti hatinya, yang sayangnya sudah terjatuh dalam pada suaminya tersebut?
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?