Seorang pria yang merasa kehilangan gairah dalam pernikahannya menemukan kembali cinta lama yang tak pernah benar-benar pudar. Namun, di balik tatapan penuh cinta itu, ia juga menemukan rahasia yang mengancam kehidupannya yang nyaman.
Damar menghela napas panjang sebelum memasuki aula yang dipenuhi wajah-wajah lama. Ia merasa canggung, tak begitu yakin mengapa datang ke reuni sekolah ini. Setelah belasan tahun berlalu, kebanyakan kenangan masa sekolahnya sudah terkubur, tersapu oleh realitas kehidupan dewasa yang penuh tanggung jawab. Pernikahannya dengan Sinta yang hampir 15 tahun seolah berjalan otomatis. Cinta itu masih ada, namun terasa hambar, seperti kopi yang terlalu lama ditinggalkan.
Langkah Damar berhenti ketika matanya menangkap sosok di sudut ruangan. Wanita itu tersenyum hangat, dengan tatapan lembut yang menghujam jauh ke dalam dirinya. Mata itu-sepasang mata cokelat tua yang pernah ia kenal begitu dekat. Damar seakan terpaku, seolah melihat hantu dari masa lalu yang muncul tiba-tiba di hadapannya.
"Aira," gumam Damar tanpa sadar.
Seakan mendengar panggilannya, Aira mengangkat kepala dan tatapan mereka bertemu. Ada keheningan sejenak di antara mereka, seperti dunia sekitar berhenti berputar.
"Damar..." Aira tersenyum lembut, berjalan mendekatinya.
Tatapan mata Aira menyimpan kehangatan yang begitu dikenalnya, sebuah kehangatan yang dulu pernah ia rindukan tanpa sadar. Waktu seolah-olah tak berlalu untuknya. Masih cantik dan elegan seperti dulu, namun dengan aura kedewasaan yang membuatnya terlihat semakin memukau.
"Damar! Wah, lama sekali, ya?" Aira membuka percakapan.
"Iya, lama sekali." Damar berusaha terdengar santai, meski di dalam hatinya bergemuruh. "Kupikir kamu tak akan datang ke acara ini."
Aira tertawa kecil, nada suaranya begitu lembut namun menyisakan sedikit rasa misteri. "Kupikir begitu juga. Tapi, ternyata aku punya alasan untuk datang."
Damar merasakan dadanya bergetar, seolah tatapan itu kembali menyalakan api yang lama padam. Ia tak tahu harus berkata apa, hanya berdiri memandangi Aira yang masih memancarkan pesona seperti dulu. Rasanya aneh-seolah mereka berdua tidak pernah berpisah, seolah waktu tak pernah menyentuh mereka.
"Kamu... kamu terlihat baik, Aira. Sungguh," ucap Damar dengan nada yang tiba-tiba menjadi serak.
Aira tersenyum, tatapan matanya berubah lembut, menghangat. "Terima kasih, Dam. Kamu juga terlihat... mapan sekarang. Berbeda, tapi tetap seperti Damar yang kukenal."
Damar tersenyum kaku. "Ya, begitulah hidup, kan?"
Sejenak, keduanya terdiam, membiarkan keheningan meresapi mereka. Damar ingin bertanya banyak hal, tapi merasa ragu. Ada perasaan ganjil yang menyusup di antara mereka-seperti ketidaknyamanan yang menyimpan harapan tersembunyi.
"Jadi, gimana kabar hidupmu sekarang, Dam?" tanya Aira akhirnya, memecahkan kebisuan.
Damar terdiam sesaat sebelum menjawab. "Oh, ya, kamu tahu... menikah, bekerja, membangun keluarga. Semua berjalan biasa saja." Damar berusaha menjaga nada suara tetap netral, tetapi Aira bisa menangkap nada hambar di dalamnya.
"Biasa saja?" Aira menaikkan sebelah alis, seolah ingin menelusuri lebih jauh.
Damar tertawa pelan, mencoba mengalihkan. "Ya, kurasa kita semua sampai pada titik di mana hidup terasa seperti rutinitas."
"Aku mengerti, Dam. Hidup memang sering kali... berbeda dari harapan," ujar Aira dengan tatapan penuh arti.
Tatapan itu menusuk jauh ke dalam hati Damar. Ada kehangatan dan juga kepedihan yang tersirat di dalamnya, sebuah campuran emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Bagaimana denganmu, Aira?" tanya Damar, berusaha mengalihkan topik, meski penasaran meluap dalam dirinya.
Aira tersenyum tipis, namun ada kilatan dalam matanya yang membuat Damar semakin terpaku. "Aku? Aku menjalani hidup yang... kuanggap cukup baik. Beberapa hal tak berjalan sesuai rencana, tapi kurasa itu bagian dari perjalanan hidup."
Damar mengangguk. Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang sulit digambarkan-seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang juga sangat saling mengenal.
Setelah beberapa saat, Aira berkata, "Mungkin aneh, tapi kupikir kita akan bertemu lagi suatu saat. Kadang... takdir bekerja dengan caranya sendiri, bukan?"
Damar merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Tatapan Aira masih terpaku pada dirinya, dan di sana ia merasakan perasaan yang dulu pernah ada, yang kini tiba-tiba kembali bersemi tanpa permisi. Mungkin memang takdir membawanya kembali pada Aira. Mungkin, meski itu berarti harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
"Aku juga berpikir begitu," jawab Damar lirih, dengan tatapan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
Aira tersenyum samar, dan untuk sesaat Damar merasa dirinya kembali menjadi pemuda yang baru pertama kali jatuh cinta. Tatapan itu-tatapan yang seolah mengajaknya mengarungi kembali masa lalu, saat segala sesuatu terasa begitu sederhana dan penuh gairah.
"Mau duduk?" tanya Aira sambil menunjuk meja di sudut ruangan.
Damar mengangguk. Mereka berjalan beriringan, merasakan aura nostalgia yang tiba-tiba begitu kuat. Mereka duduk berhadapan, dan Damar merasakan ketegangan aneh di antara mereka, seperti ada hal yang menunggu untuk diungkapkan namun tertahan.
"Jadi... bagaimana kehidupanmu selama ini, Aira? Aku hampir tak pernah mendengar kabar tentangmu setelah kau pindah ke luar kota," kata Damar pelan.
Aira menatapnya sesaat, lalu mengangkat bahu. "Banyak hal berubah, Damar. Aku menikah... tapi akhirnya berpisah juga. Sekarang, aku lebih banyak bekerja, mencoba menata hidup dengan caraku sendiri."
Damar tak menyangka mendengar pengakuan itu. Meski tak ingin terlihat terlalu penasaran, ada dorongan kuat untuk tahu lebih dalam. "Maaf mendengar itu, Aira. Aku tak tahu..."
Aira tersenyum tipis, namun tatapannya kosong, seolah menatap sesuatu yang jauh di luar ruangan itu. "Ya, tak apa. Kadang kehidupan memang memberi kita hal-hal yang tak pernah kita duga, kan?"
Damar mengangguk, merasa bersimpati. "Aku juga paham rasanya, Aira. Kadang aku berpikir... apa yang kita kejar selama ini benar-benar sepadan."
Aira mengangguk, seakan mengerti. "Kau tahu, Dam, dulu aku pernah berpikir bahwa kita mungkin akan selalu bersama. Sepertinya bodoh, ya?"
Damar tersenyum, teringat betapa polosnya perasaan mereka dulu. "Tidak bodoh sama sekali. Aku juga berpikir begitu waktu itu. Tapi hidup memang berjalan berbeda dari yang kita harapkan."
Keduanya terdiam, menikmati momen yang penuh arti itu. Rasa nyaman yang tak biasa mulai muncul, sebuah kenyamanan yang sudah lama tak Damar rasakan.
Tiba-tiba, Aira berkata pelan, "Kau bahagia, Damar?"
Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Damar terdiam, menimbang jawaban yang akan ia berikan. "Aku... ya, aku bahagia. Maksudku, kurasa seharusnya aku bahagia."
Tatapan Aira menelusuri wajah Damar, mencari kejujuran di balik jawaban itu. "Seharusnya bahagia? Kurasa kau tahu jawabannya lebih baik dariku."
Damar merasakan dadanya sesak, seolah kata-kata Aira menguliti perasaannya yang terdalam. "Aira... aku sudah menikah. Kami punya keluarga yang cukup bahagia. Tapi... mungkin perasaan itu tidak sama seperti dulu."
Aira tersenyum pahit. "Aku mengerti. Dulu, semuanya terasa begitu penuh gairah. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol tanpa merasa bosan. Lalu... semua itu hilang begitu saja."
Damar menunduk, merasa bersalah karena tanpa sadar mengenang saat-saat bersama Aira, kenangan yang seharusnya ia tinggalkan. "Ya, waktu berjalan begitu cepat. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar merasakan perasaan seperti ini."
Aira menatapnya dengan mata yang lembut, tetapi dalam, seolah ada hal yang ingin ia katakan namun terlalu berat untuk diucapkan. "Terkadang, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar telah menemukan apa yang kita cari."
Mendengar kata-kata itu, Damar merasa hatinya berkecamuk. Ia tahu seharusnya tak terlibat terlalu jauh, tapi tatapan Aira... tatapan itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia merasa terperangkap, antara kenyataan hidupnya yang aman dan bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.
Sebelum sempat menjawab, suara mikrofon menggema di aula, mengumumkan bahwa acara reuni akan segera dimulai. Para tamu mulai berkumpul di sekitar panggung, dan obrolan mereka terganggu sejenak.
"Sepertinya kita harus ke sana," kata Damar dengan senyum yang agak canggung.
Aira mengangguk pelan, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh arti. "Senang bisa bertemu lagi denganmu, Damar."
"Sama-sama, Aira. Sangat senang."
Saat mereka berjalan menuju kerumunan, Damar tahu bahwa tatapan itu bukanlah akhir dari pertemuan mereka. Tatapan yang sama yang pernah membuatnya jatuh cinta, kini kembali membayangi, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab. Dan, meski ia tak mau mengakuinya, sebagian kecil hatinya berharap bahwa ini baru awal dari kisah mereka yang tertunda.
Bersambung...
Seorang istri yang curiga terhadap suaminya mulai mencari tahu tentang hubungan rahasia yang suaminya jalani. Perselingkuhan ini mengarah pada pengkhianatan yang lebih dalam, memaksanya mengambil langkah drastis untuk melindungi dirinya sendiri.
Seorang wanita terjebak dalam pernikahan tanpa cinta memutuskan untuk mencari kebahagiaan dari masa lalunya. Namun, ketika perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi pilihan untuk memperbaiki atau meninggalkan hidupnya yang sudah dibangun.
Seorang pria yang merasa terjebak dalam rutinitas rumah tangganya mulai menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini membawanya ke dalam dunia yang penuh gairah, namun juga rasa bersalah yang semakin menghancurkan dirinya.
Seorang istri yang selalu setia tiba-tiba menemukan bukti perselingkuhan suaminya. Ketika ia berusaha mengungkap kebenaran, ia justru menemukan lebih banyak kebohongan yang suaminya simpan selama ini.
Seorang pria mulai menerima surat-surat dari dirinya sendiri yang tertanggal 10 tahun di masa depan, memperingatkannya tentang kejahatan yang belum terjadi. Dia harus menggunakan informasi tersebut untuk mencegah pembunuhan, sambil mencari tahu siapa sebenarnya yang mengirim surat-surat itu.
Seorang jurnalis pergi ke hotel tua yang terkenal dengan cerita-cerita hantu untuk menulis artikel. Namun, saat tamu-tamu hotel mulai menghilang satu per satu, jurnalis tersebut menemukan bahwa ada lebih banyak kebenaran dalam cerita-cerita hantu itu daripada yang pernah dia bayangkan.
Naya Agustin, "aku mencintaimu, tapi cintamu untuknya. Aku istrimu, tapi kenapa yang memberi segalanya ayah mertuaku?" Kendra Darmawan, "kau Istriku, tapi ayahmu musuhku. Aku mencintamu, tapi sayang dosa ayahmu tak bisa kumaafkan." Rendi Darmawan, "Jangan pedulikan suamimu, agar aman dalam dekapanku."
BERISI BANYAK ADEGAN HOT! Rey pemuda berusia 20 tahunan mulai merasakan nafsu birahinya naik ketika hadirnya ibu tiri. Ayahnya menikah dengan wanita kembar yang memiliki paras yang cantik dan tubuh yang molek. Disitulah Rey mencari kesempatan agar bisa menyalurkan hasratnya. Yuk ikuti cerita lengkapnya !!
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
MAMPIR KE KARYA KEDUA AKU YA, JUDUL: HANYA MENJADI WANITA PENGGANTI *** Mahendra Atmaja, duda anak satu yang usianya sudah 48 tahun. Mahendra menduda sejak usia putranya 1 tahun. Selama 21 tahun Mahendra begitu setianya menunggu mantan istrinya kembali. Namun, kesetiannya diuji ketika sahabatnya menjebak dirinya dalam satu kamar hotel bersama dengan gadis usianya masih 21 tahun. Gadis cantik itu bernama Mauren, karena membutuhkan biaya pengobatan sang Adik, gadis itu menerima tawaran Tuan Jian (Sahabat Mahendra) untuk menggoda dan merayu sang duda tersebut. Selain itu, Mauren harus bisa membuat laki-laki yang pantas menjadi ayahnya itu bisa jatuh cinta padanya. Berhasilkah gadis itu meluluhkan hati Duda tersebut?
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.