/0/20821/coverbig.jpg?v=aad681ee0f1e4e4972931fccde90ba62)
Seorang pria yang merasa kehilangan gairah dalam pernikahannya menemukan kembali cinta lama yang tak pernah benar-benar pudar. Namun, di balik tatapan penuh cinta itu, ia juga menemukan rahasia yang mengancam kehidupannya yang nyaman.
Damar menghela napas panjang sebelum memasuki aula yang dipenuhi wajah-wajah lama. Ia merasa canggung, tak begitu yakin mengapa datang ke reuni sekolah ini. Setelah belasan tahun berlalu, kebanyakan kenangan masa sekolahnya sudah terkubur, tersapu oleh realitas kehidupan dewasa yang penuh tanggung jawab. Pernikahannya dengan Sinta yang hampir 15 tahun seolah berjalan otomatis. Cinta itu masih ada, namun terasa hambar, seperti kopi yang terlalu lama ditinggalkan.
Langkah Damar berhenti ketika matanya menangkap sosok di sudut ruangan. Wanita itu tersenyum hangat, dengan tatapan lembut yang menghujam jauh ke dalam dirinya. Mata itu-sepasang mata cokelat tua yang pernah ia kenal begitu dekat. Damar seakan terpaku, seolah melihat hantu dari masa lalu yang muncul tiba-tiba di hadapannya.
"Aira," gumam Damar tanpa sadar.
Seakan mendengar panggilannya, Aira mengangkat kepala dan tatapan mereka bertemu. Ada keheningan sejenak di antara mereka, seperti dunia sekitar berhenti berputar.
"Damar..." Aira tersenyum lembut, berjalan mendekatinya.
Tatapan mata Aira menyimpan kehangatan yang begitu dikenalnya, sebuah kehangatan yang dulu pernah ia rindukan tanpa sadar. Waktu seolah-olah tak berlalu untuknya. Masih cantik dan elegan seperti dulu, namun dengan aura kedewasaan yang membuatnya terlihat semakin memukau.
"Damar! Wah, lama sekali, ya?" Aira membuka percakapan.
"Iya, lama sekali." Damar berusaha terdengar santai, meski di dalam hatinya bergemuruh. "Kupikir kamu tak akan datang ke acara ini."
Aira tertawa kecil, nada suaranya begitu lembut namun menyisakan sedikit rasa misteri. "Kupikir begitu juga. Tapi, ternyata aku punya alasan untuk datang."
Damar merasakan dadanya bergetar, seolah tatapan itu kembali menyalakan api yang lama padam. Ia tak tahu harus berkata apa, hanya berdiri memandangi Aira yang masih memancarkan pesona seperti dulu. Rasanya aneh-seolah mereka berdua tidak pernah berpisah, seolah waktu tak pernah menyentuh mereka.
"Kamu... kamu terlihat baik, Aira. Sungguh," ucap Damar dengan nada yang tiba-tiba menjadi serak.
Aira tersenyum, tatapan matanya berubah lembut, menghangat. "Terima kasih, Dam. Kamu juga terlihat... mapan sekarang. Berbeda, tapi tetap seperti Damar yang kukenal."
Damar tersenyum kaku. "Ya, begitulah hidup, kan?"
Sejenak, keduanya terdiam, membiarkan keheningan meresapi mereka. Damar ingin bertanya banyak hal, tapi merasa ragu. Ada perasaan ganjil yang menyusup di antara mereka-seperti ketidaknyamanan yang menyimpan harapan tersembunyi.
"Jadi, gimana kabar hidupmu sekarang, Dam?" tanya Aira akhirnya, memecahkan kebisuan.
Damar terdiam sesaat sebelum menjawab. "Oh, ya, kamu tahu... menikah, bekerja, membangun keluarga. Semua berjalan biasa saja." Damar berusaha menjaga nada suara tetap netral, tetapi Aira bisa menangkap nada hambar di dalamnya.
"Biasa saja?" Aira menaikkan sebelah alis, seolah ingin menelusuri lebih jauh.
Damar tertawa pelan, mencoba mengalihkan. "Ya, kurasa kita semua sampai pada titik di mana hidup terasa seperti rutinitas."
"Aku mengerti, Dam. Hidup memang sering kali... berbeda dari harapan," ujar Aira dengan tatapan penuh arti.
Tatapan itu menusuk jauh ke dalam hati Damar. Ada kehangatan dan juga kepedihan yang tersirat di dalamnya, sebuah campuran emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Bagaimana denganmu, Aira?" tanya Damar, berusaha mengalihkan topik, meski penasaran meluap dalam dirinya.
Aira tersenyum tipis, namun ada kilatan dalam matanya yang membuat Damar semakin terpaku. "Aku? Aku menjalani hidup yang... kuanggap cukup baik. Beberapa hal tak berjalan sesuai rencana, tapi kurasa itu bagian dari perjalanan hidup."
Damar mengangguk. Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang sulit digambarkan-seolah-olah mereka adalah dua orang asing yang juga sangat saling mengenal.
Setelah beberapa saat, Aira berkata, "Mungkin aneh, tapi kupikir kita akan bertemu lagi suatu saat. Kadang... takdir bekerja dengan caranya sendiri, bukan?"
Damar merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Tatapan Aira masih terpaku pada dirinya, dan di sana ia merasakan perasaan yang dulu pernah ada, yang kini tiba-tiba kembali bersemi tanpa permisi. Mungkin memang takdir membawanya kembali pada Aira. Mungkin, meski itu berarti harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
"Aku juga berpikir begitu," jawab Damar lirih, dengan tatapan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
Aira tersenyum samar, dan untuk sesaat Damar merasa dirinya kembali menjadi pemuda yang baru pertama kali jatuh cinta. Tatapan itu-tatapan yang seolah mengajaknya mengarungi kembali masa lalu, saat segala sesuatu terasa begitu sederhana dan penuh gairah.
"Mau duduk?" tanya Aira sambil menunjuk meja di sudut ruangan.
Damar mengangguk. Mereka berjalan beriringan, merasakan aura nostalgia yang tiba-tiba begitu kuat. Mereka duduk berhadapan, dan Damar merasakan ketegangan aneh di antara mereka, seperti ada hal yang menunggu untuk diungkapkan namun tertahan.
"Jadi... bagaimana kehidupanmu selama ini, Aira? Aku hampir tak pernah mendengar kabar tentangmu setelah kau pindah ke luar kota," kata Damar pelan.
Aira menatapnya sesaat, lalu mengangkat bahu. "Banyak hal berubah, Damar. Aku menikah... tapi akhirnya berpisah juga. Sekarang, aku lebih banyak bekerja, mencoba menata hidup dengan caraku sendiri."
Damar tak menyangka mendengar pengakuan itu. Meski tak ingin terlihat terlalu penasaran, ada dorongan kuat untuk tahu lebih dalam. "Maaf mendengar itu, Aira. Aku tak tahu..."
Aira tersenyum tipis, namun tatapannya kosong, seolah menatap sesuatu yang jauh di luar ruangan itu. "Ya, tak apa. Kadang kehidupan memang memberi kita hal-hal yang tak pernah kita duga, kan?"
Damar mengangguk, merasa bersimpati. "Aku juga paham rasanya, Aira. Kadang aku berpikir... apa yang kita kejar selama ini benar-benar sepadan."
Aira mengangguk, seakan mengerti. "Kau tahu, Dam, dulu aku pernah berpikir bahwa kita mungkin akan selalu bersama. Sepertinya bodoh, ya?"
Damar tersenyum, teringat betapa polosnya perasaan mereka dulu. "Tidak bodoh sama sekali. Aku juga berpikir begitu waktu itu. Tapi hidup memang berjalan berbeda dari yang kita harapkan."
Keduanya terdiam, menikmati momen yang penuh arti itu. Rasa nyaman yang tak biasa mulai muncul, sebuah kenyamanan yang sudah lama tak Damar rasakan.
Tiba-tiba, Aira berkata pelan, "Kau bahagia, Damar?"
Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Damar terdiam, menimbang jawaban yang akan ia berikan. "Aku... ya, aku bahagia. Maksudku, kurasa seharusnya aku bahagia."
Tatapan Aira menelusuri wajah Damar, mencari kejujuran di balik jawaban itu. "Seharusnya bahagia? Kurasa kau tahu jawabannya lebih baik dariku."
Damar merasakan dadanya sesak, seolah kata-kata Aira menguliti perasaannya yang terdalam. "Aira... aku sudah menikah. Kami punya keluarga yang cukup bahagia. Tapi... mungkin perasaan itu tidak sama seperti dulu."
Aira tersenyum pahit. "Aku mengerti. Dulu, semuanya terasa begitu penuh gairah. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol tanpa merasa bosan. Lalu... semua itu hilang begitu saja."
Damar menunduk, merasa bersalah karena tanpa sadar mengenang saat-saat bersama Aira, kenangan yang seharusnya ia tinggalkan. "Ya, waktu berjalan begitu cepat. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku benar-benar merasakan perasaan seperti ini."
Aira menatapnya dengan mata yang lembut, tetapi dalam, seolah ada hal yang ingin ia katakan namun terlalu berat untuk diucapkan. "Terkadang, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar telah menemukan apa yang kita cari."
Mendengar kata-kata itu, Damar merasa hatinya berkecamuk. Ia tahu seharusnya tak terlibat terlalu jauh, tapi tatapan Aira... tatapan itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia merasa terperangkap, antara kenyataan hidupnya yang aman dan bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.
Sebelum sempat menjawab, suara mikrofon menggema di aula, mengumumkan bahwa acara reuni akan segera dimulai. Para tamu mulai berkumpul di sekitar panggung, dan obrolan mereka terganggu sejenak.
"Sepertinya kita harus ke sana," kata Damar dengan senyum yang agak canggung.
Aira mengangguk pelan, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh arti. "Senang bisa bertemu lagi denganmu, Damar."
"Sama-sama, Aira. Sangat senang."
Saat mereka berjalan menuju kerumunan, Damar tahu bahwa tatapan itu bukanlah akhir dari pertemuan mereka. Tatapan yang sama yang pernah membuatnya jatuh cinta, kini kembali membayangi, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab. Dan, meski ia tak mau mengakuinya, sebagian kecil hatinya berharap bahwa ini baru awal dari kisah mereka yang tertunda.
Bersambung...
Seorang istri yang curiga terhadap suaminya mulai mencari tahu tentang hubungan rahasia yang suaminya jalani. Perselingkuhan ini mengarah pada pengkhianatan yang lebih dalam, memaksanya mengambil langkah drastis untuk melindungi dirinya sendiri.
Seorang wanita terjebak dalam pernikahan tanpa cinta memutuskan untuk mencari kebahagiaan dari masa lalunya. Namun, ketika perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi pilihan untuk memperbaiki atau meninggalkan hidupnya yang sudah dibangun.
Seorang pria yang merasa terjebak dalam rutinitas rumah tangganya mulai menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini membawanya ke dalam dunia yang penuh gairah, namun juga rasa bersalah yang semakin menghancurkan dirinya.
Seorang istri yang selalu setia tiba-tiba menemukan bukti perselingkuhan suaminya. Ketika ia berusaha mengungkap kebenaran, ia justru menemukan lebih banyak kebohongan yang suaminya simpan selama ini.
Seorang pria mulai menerima surat-surat dari dirinya sendiri yang tertanggal 10 tahun di masa depan, memperingatkannya tentang kejahatan yang belum terjadi. Dia harus menggunakan informasi tersebut untuk mencegah pembunuhan, sambil mencari tahu siapa sebenarnya yang mengirim surat-surat itu.
Seorang jurnalis pergi ke hotel tua yang terkenal dengan cerita-cerita hantu untuk menulis artikel. Namun, saat tamu-tamu hotel mulai menghilang satu per satu, jurnalis tersebut menemukan bahwa ada lebih banyak kebenaran dalam cerita-cerita hantu itu daripada yang pernah dia bayangkan.
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Zain, seorang pengusaha terkenal yang terlihat muda di usianya yang mendekati empat puluh. Ia adalah seorang pria yang nyaris sempurna tanpa cela. Namun, tidak seorang pun yang tahu. Lima tahun yang lalu pasca menyaksikan pengkhianatan istrinya, Zain mengalami kecelakaan tragis. Dampak kecelakaan itu ia mengalami disfungsi seksual. Demi harga dirinya, Zain menjaga aib itu rapat-rapat. Namun, hal itu dimanfaatkan Bella untuk berbuat semena-mena. Kecewa karena Zain tidak mampu memberinya kepuasan, Bella bermain gila dengan banyak pria. Zain tidak berkutik, hanya bisa pasrah karena tidak ingin kekurangan dirinya diketahui oleh orang banyak. Namun, semuanya berubah saat Zain mengenal Yvone, gadis muda yang mabuk di kelab malam miliknya. Untuk pertama kalinya, Zain kembali bergairah dan memiliki hasrat kepada seorang wanita. Namun, Yvone bukanlah gadis sembarangan. Ia adalah kekasih Daniel, anak tirinya sendiri. Mampukah Zain mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Kumpulan cerita seru yang akan membuat siapapun terbibur dan ikut terhanyut sekaligus merenung tanpa harus repot-repot memikirkan konfliks yang terlalu jelimet. Cerita ini murni untuk hiburan, teman istrirahat dan pengantar lelah disela-sela kesibukan berkativitas sehari-hari. Jadi cerita ini sangat cocok dengan para dewasa yang memang ingin refrehsing dan bersenang-senang terhindar dari stres dan gangguan mental lainnya, kecuali ketagihan membacanya.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.