Khusus Dewasa
Di tengah hamparan sawah yang menguning, seorang lelaki tua yang biasa disapa Bah Akin melangkah santai. Usianya telah mencapai lebih tujuh puluh tahun, namun tubuhnya masih tegap. Caping tua bertengger di kepalanya, melindungi dari teriknya matahari sepanjang hari.
Meski seharian mencangkul di sawah, langkahnya tetap ringan, seakan tenaga dalam dirinya belum habis terperas.
Dalam perjalanan pulang, ia melewati sawah milik tetangganya, Ustad Basri. Sebuah gubuk tua berdiri di tengah sawah itu, tampak usang dikelilingi ilalang tinggi. Sawah itu sudah lama tak digarap. Bah Akin tak tahu pasti alasannya, tetapi gubuk itu seperti tenggelam dalam waktu yang terhenti.
Ketika ia hendak melewati tempat itu, pandangannya menangkap gerakan samar di dalam gubuk. Alisnya berkerut.
"Siapa yang masih nongkrong di gubuk sore-sore begini?" pikirnya.
Rasa penasaran mulai menggelayut di benaknya. Ia tahu betul, gubuk itu biasanya kosong. Dengan langkah perlahan, Bah Akin mendekati gubuk. Suara angin yang menderu di antara ilalang tidak mampu menutupi suara-suara yang mulai ia dengar.
Detak jantungnya tak beraturan saat suara itu semakin jelas. Ada bisikan genit, diiringi tawa kecil seorang wanita. Suara itu tidak asing baginya. Nafasnya tersendat. Langkah kakinya terhenti di depan gubuk.
"Astagfirullah... suara siapa ini?" bisiknya pada diri sendiri.
Bah Akin memberanikan diri mengintip dari celah dinding bambu. Ia merunduk hati-hati, memastikan dirinya tidak terlihat dari dalam. Namun apa yang ia saksikan membuatnya membeku. Matanya membelalak, mulutnya ternganga, tetapi tak ada suara yang keluar.
Di dalam gubuk, ia melihat sosok seorang lelaki berusia 52 tahun, sedang terlentang lemas di atas bale-bale beralaskan tikar kusam, dalam keadaan telanjang bulat. Batang kejantanannya yang berukuran sedang, tergeletak lemah di perutnya, tampak mengkilat licin dengan sisa-sisa cairan putih susunya.
Sementara di sudut ruangan, tampak seorang wanita berusia 50 tahun, sedang membungkuk mengenakan kembali celana dalamnya, lalu menurunkan gamisnya dan merapikan kerudungnya yang tampak acak-acakan. Setelah itu ia kembali duduk di bale-bale samping lelaki yang masih tergeletak lemah dan memejamkan matanya. Wajah mereka terlihat kelelahan namur terpancar kepuasan yang susah dijelaskan.
Tubuh Bah Akin bergetar hebat. Ia hanya bisa berdiri di sana, mematung, selama beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk mundur perlahan. Kakinya terasa lemah. Ia tahu, ia tak boleh terlalu lama di sana. Dengan langkah perlahan, ia terus menjauh, mencoba meredam suara dedaunan yang ia injak.
Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya kacau. Bayangan wajah wanita itu tak henti-hentinya melintas di benaknya.
Wanita itu, salah satu istri dari Ustad Basri, lelaki yang dikenal sebagai sosok religius dan dihormati oleh banyak orang. Ia pun sering dipanggil Ustazah Mintarsih, karena sering mengajar ngaji ibu-ibu di kampung mereka, dengan cara bergantian dengan ustadzah lainnya.
Dan sang lelakinya adalah RT Juhari. Mereka merupaka besan. Anak pasangan Ustad Basri-Ustadzah Mintarsih menikah dengan anak pasangan RT Juhari-Ibu Maryati.
Bah Akin merasa hal itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin perselingkuhan seperti ini bisa terjadi di antara keluarga yang begitu dekat? Perselingkuhan antar besan dari orang-orang terhormat di kampungnya.
Langkahnya semakin gontai. Ia tahu, ini bukan hanya sekadar rahasia yang ia saksikan. Ini adalah beban besar yang harus ia pikul. Tetapi kepada siapa ia harus menceritakan hal ini?
Haruskah ia bicara pada Ustad Basri?
Atau lebih baik ia diam saja?
Sore itu, Bah Akin tiba di rumahnya dengan pikiran yang tidak tenang. Di usianya yang sudah lanjut, ia tak pernah membayangkan akan menyaksikan hal seperti ini. Sebuah kenyataan pahit yang ia tahu akan membawa badai jika kebenarannya terbongkar. Bukan saja akan mengguncang rumah tangga mereka, menyeret nama baik mereka, namun juga akan menggemparkan seluruh persada.
"Nafsu bisa mengalahkan segalanya," desis Bah Akin dengan getir.
^*^
^*^
Suara ayam jantan bersahutan memecah pagi, sementara cahaya matahari mulai mengintip malu-malu dari balik pepohonan di ujung desa.
Di dapur rumah Ratna, aroma kopi tubruk bercampur dengan gurihnya gorengan tempe yang masih berdesis di penggorengan. Ratna, dengan rambut yang diikat asal-asalan dan daster berwarna merah terang, tampak sibuk.
Sesekali ia menyenandungkan lagu dangdut jadul dengan nada genit, kebiasaan lamanya sebagai mantan penyanyi kampung yang sulit hilang.
"Bang Romi! Udah pagi ini, masih aja ngeluyur!" serunya lantang dari dapur, suaranya cukup keras untuk membangunkan anak-anaknya yang masih pulas di kamar.
Dari ruang tamu yang sederhana, Bang Romi muncul dengan wajah setengah malas. Tubuhnya yang kekar sedikit membungkuk, rambutnya acak-acakan, dan kausnya lusuh penuh bercak oli. Dia baru saja pulang dari perjalanan panjang semalam, membawa truk bermuatan pasir dari kota.
"Apaan sih, Ratna? Baru juga duduk, udah nyerocos aja!" sahut Bang Romi sambil menyalakan rokoknya. Asapnya mengepul tipis, bercampur dengan udara pagi yang masih segar.
Ratna memutar matanya. "Lha, siapa suruh jarang pulang? Kayak orang nggak punya anak bini aja! Lagian, pulang-pulang nggak bawa apa-apa, cuma nambah cucian kotor!" suara Ratna makin nyolot.
Bang Romi mendengus, kakinya yang beralas sepatu lusuh menghentak lantai semen.
"Kamu pikir narik truk itu gampang, hah? Jalanan penuh preman, belum lagi solar mahal, uang parkir... mana ada sisa buat dibawa pulang! Kalau kamu tahu susahnya, nggak bakal ngomel melulu!" Bang Romi tak mau kalah.
Ratna berdecak, tangannya menggenggam spatula dengan tegas.
"Preman? Kamu kan mantan preman! Masa kalah sama mereka? Apa jangan-jangan duitnya dipake buat mampir ke warung remang-remang lagi, hah?" Nada suaranya menyindir tajam, tapi matanya menatap Bang Romi dengan kekecewaan yang terpendam.
"Jaga mulut kamu, Ratna!" Bang Romi mendekat, rokoknya hampir jatuh dari bibirnya.
"Kalau aku bilang duitnya habis buat jalanan, ya itu faktanya! Kamu pikir aku senang kerja kayak gini, tidur di kabin sempit, makan seadanya?"
"Yang aku pikir." Ratna balas dengan suara yang lebih rendah tapi tak kalah menusuk,
"Kenapa kamu pulang nggak pernah bawa kabar baik? Anak-anak butuh biaya sekolah, aku butuh beli beras, bayar listrik ini itu. Kalau begini terus, buat apa aku punya suami?"
Kalimat terakhir itu membuat suasana berubah tegang. Bang Romi mematung, rahangnya mengeras. Ratna menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, tapi ia segera berpaling, kembali sibuk di dapur.
Sesaat, suara hanya diisi oleh denting spatula di wajan dan desahan napas Bang Romi yang berat. Dari dalam kamar, terdengar suara ranjang berderit pelan. Anak-anak mereka mungkin sudah mulai terganggu oleh suasana itu.
Bang Romi akhirnya mengalah.
"Aku nggak punya banyak sekarang, Ratna. Tapi aku usahain. Besok aku coba cari orderan lagi. Jangan bikin ribut pagi-pagi." Suaranya lebih pelan, tapi masih menyimpan sisa egonya.
Ratna tak menjawab. Ia hanya melanjutkan memasak, dengan punggung menghadap suaminya. Namun dalam hatinya, ia merasa lelah. Lelah berharap, lelah kecewa, dan lelah mengalah.
Bang Romi menghembuskan napas panjang, menatap Ratna sebentar sebelum beranjak ke kamar mandi.
Hari baru dimulai, tapi luka lama masih terbuka lebar.
^*^
Suasana pagi semakin lengang setelah kedua anak lelaki Ratna berangkat sekolah dengan satu motor berboncengan.
Suara knalpot tua motor mereka sudah hilang di tikungan jalan. Bang Romi, yang baru pulang semalam dari perjalanan panjang, terlelap di kamar dengan dengkuran pelan yang teredam pintu tertutup.
Ratna, seperti biasa, melanjutkan rutinitasnya. Kali ini, ia sedang menjemur pakaian di halaman belakang, tepat di samping kebun kecilnya yang sudah lama tak terurus. Daster biru dengan motif bunga yang ia kenakan melambai pelan diterpa angin pagi.
Sesekali, ia menghela napas panjang, pikirannya melayang pada bagaimana rumah tangganya kini terasa berat, tapi ia menepisnya, pekerjaan tak boleh terhenti.
Suara mobil pick-up yang berhenti di depan rumah memecah konsentrasinya.
Ratna mengintip dari balik pagar, dan dari dalam mobil keluarlah RT Juhari dengan pakaian khasnya, kaos oblong putih, celana panjang hitam, dan iket kepala khas pencak silat. RT Juhari tampak santai tapi penuh percaya diri. Langkahnya yang dibantu tongkat perlahan mendekat ke arah Ratna yang masih sibuk di jemuran.
"Pagi, Bu Ratna!" sapa RT Juhari dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi depannya yang sedikit berjejal.
"Oh Pak RT. Ada angin apa pagi-pagi mampir ke sini?" jawab Ratna dengan nada ramah meski sedikit terkejut.
RT Juhari memandangi kebun kecil di belakang rumah Ratna yang tampak dipenuhi rumput liar dan beberapa tanaman yang tumbuh sembarangan.
"Saya cuma mau nanya, Bu, itu sayuran di kebun ini masih dijual atau nggak?" tanyanya sambil menunjuk ke arah kebun.
Ratna mengerutkan dahi, bingung.
"Sayuran? Wah, Pak RT, kebun ini udah lama nggak saya urus. Sawah aja udah dijual Bang Romi sama Pak Darma, dulu buat beli motor anak-anak," jawabnya sambil menyeka keringat di dahinya.
"Oh, ya?" RT Juhari pura-pura heran, meski sebenarnya ia sudah tahu keadaan itu.
Ia mengangguk-angguk, seolah paham, sambil menyandarkan tubuhnya ke pagar kayu yang ada di dekatnya.
"Sayang sekali, Bu. Padahal, kalau diurus, kebun ini pasti menghasilkan banyak. Tapi, ya, saya paham. Nggak mudah, apalagi kalau suami Bu Ratna jarang di rumah, kan?"
Ratna terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa kalimat RT Juhari seperti sindiran, tapi nada suaranya terdengar terlalu santai untuk dianggap serius.
"Ah, sudahlah, saya cuma mampir nanya doang, kok," lanjut RT Juhari, dengan senyum tipis yang terkesan licik.
"Tapi ngomong-ngomong, Bu Ratna ini memang masih kelihatan segar, ya. Kebayang kalau kebun ini punya pemilik yang sesegar pemiliknya, pasti subur terus."
Ratna tersenyum kecil, lebih karena bingung daripada merasa tersanjung.
"Pak RT ini bisa aja. Udah tua masih suka ngegombal. Istri di rumah nggak dimarahin?" tanyanya dengan nada bercanda, meski ia merasa risih.
RT Juhari terkekeh, menunjukkan gigi depannya lagi.
"Lho, ini bukan gombal, Bu. Saya cuma bilang apa adanya. Tapi ya, Bu Ratna nggak usah khawatir, kalau perlu bantuan buat kebun ini, tinggal bilang. Saya ini, kan ketua RT, suka bantu-bantu warga. Apalagi buat ibu cantik seperti Bu Ratna."
Ratna hanya menanggapi dengan senyum kaku sambil memeras jemuran terakhir. Ia tak ingin memperpanjang obrolan, tapi RT Juhari tampaknya masih betah berdiri di sana, menikmati kesempatan untuk berbicara lebih lama.
"Pak RT, kalau nggak ada lagi yang mau dibahas, saya mau masuk dulu, ya. Banyak kerjaan di dalam," ucap Ratna akhirnya, mencoba menyudahi percakapan.
"Oh, iya, iya. Maaf kalau saya ganggu. Tapi ingat, ya, Bu, kalau ada apa-apa, jangan sungkan panggil saya. Saya selalu siap bantu."
RT Juhari akhirnya melangkah kembali ke mobilnya dengan senyum puas. Di sisi lain, Ratna merasa lega. Meski demikian, hatinya sedikit terganggu oleh kata-kata RT Juhari yang terasa menggoda, bahkan menyinggung soal suaminya yang jarang di rumah.
Ratna menatap jemuran yang sudah selesai. Ia menghela napas panjang, mencoba menepis perasaan risih itu, lalu masuk ke rumah, meninggalkan kebun yang tetap dibiarkan apa adanya.
^*^
Sambil mengedarai mobil pick up-nya, RT Juhari melamunkan Ratna, mencari celah untuk bisa menaklukannya.
Ratna Sumirah, 41 tahun, adalah sosok yang sulit diabaikan. Mantan primadona desa itu, memiliki daya pikat yang seolah tak pernah luntur, bahkan setelah menjadi ibu dari tiga anak dan nenek dari satu cucu. Dia tetap memancarkan pesona seorang wanita yang tahu cara menjaga dirinya.
Meski Bang Romi suaminya hanya seorang sopir truck antar kota, Ratna selalu tampil berkelas. Pilihannya dalam berpakaian, berhias, hingga aksesoris, walau bukan merek ternama selalu tepat dan memukau.
Tubuhnya yang proporsional membuat apa pun yang dikenakannya terlihat sempurna, seperti menggambarkan keanggunan alami yang sulit ditandingi. Tak heran, ia sering dibandingkan dengan Bu Lurah yang bahkan disebut-sebut lebih menawan.
Ratna bukan hanya menarik secara fisik, tetapi juga memiliki kepribadian yang supel dan aktif. Ia terlibat dalam hampir setiap kegiatan di desa, menjadikannya pusat perhatian di mana pun ia berada.
Para lelaki, tua maupun muda, kerap tergoda oleh auranya, tak jarang menawarkan hal-hal yang jauh lebih baik daripada apa yang bisa diberikan oleh suaminya.
Namun, Ratna adalah perempuan yang tahu batas. Ia jinak-jinak merpati, menguasai seni menjaga jarak dengan anggun, hingga tak seorang pun berani menyentuhnya terlalu jauh.
Keanggunan Ratna seperti kombinasi memikat antara keindahan luar dan keteguhan hati dalam kesetiaan pada suaminya yang tidak bisa dikatakan suami ideal.
"Jangan sebut Juhari kalau tidak bisa menaklukan si Ratna. Sekelasnya Ustadzah Mintarsih aja bisa ketagihan sama senjataku, hehehe," gumamnya sambil tersenyum licik.
^*^
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
‘Ikuti terus jatuh bangun perjalanan Sang Gigolo Kampung yang bertekad insyaf, keluar dari cengkraman dosa dan nista hitam pekat. Simak juga lika liku keseruan saat Sang Gigolo Kampung menemukan dan memperjuangkan cinta sucinya yang sangat berbahaya, bahkan mengancam banyak nyawa. Dijamin super baper dengan segala drama-drama cintanya yang nyeleneh, alur tak biasa serta dalam penuturan dan penulisan yang apik. Panas penuh gairah namun juga mengandung banyak pesan moral yang mendalam.
Sepatah Kata, Jangan pernah bengong dan tertegun-tegun jika belum selesai membaca kisah yang sangat AGAK LAEN dan super unik dalam novel ini. Mungkin banyak yang tidak terpcaya jika cerita ini lebih dari 58,83% merupakan KISAH NYATA, 24,49% Modifikasi Alur dan 16,68% tambahan halu sebagai variasi semata. Buktikan saja keunikan kisah dalam novel ini. Jangan mengatakan gak masuk akal jika belum tahu bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan dimanapun juga
Li Mei terbangun dan menyadari bahwa dia tidak sedang berada di rumahnya. Di mana ini? Bukankah tadi dia terjatuh dari tangga? Kenapa dia tidak berada di rumah sakit dan malah berada di dalam rumah reyot seperti ini? Dan … siapa pula laki-laki tampan yang tidur di sebelahnya ini? "Kalau kamu sudah tidak tahan dengan pernikahan kita, tunggulah beberapa hari lagi. Aku pasti akan menceraikanmu. Jangan berusaha bunuh diri lagi," ucap Bai Changyi menatapnya dengan muram. Bercerai? Kenapa dia mau bercerai dari suami yang tampan seperti ini? Bai Chanyi menatapnya dengan kebingungan? Bukankah perceraian adalah hal yang paling Li Mei inginkan selama ini? "Aku tidak ingin bercerai, aku hanya ingin menjadi kaya!" Bisakah Li Mei mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang pengusaha kaya di era kuno bersama suaminya? IG : @summerrainwriter FB : Summer Rain
Julita diadopsi ketika dia masih kecil -- mimpi yang menjadi kenyataan bagi anak yatim. Namun, hidupnya sama sekali tidak bahagia. Ibu angkatnya mengejek dan menindasnya sepanjang hidupnya. Julita mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua dari pelayan tua yang membesarkannya. Sayangnya, wanita tua itu jatuh sakit, dan Julita harus menikah dengan pria yang tidak berguna, menggantikan putri kandung orang tua angkatnya untuk memenuhi biaya pengobatan sang pelayan. Mungkinkah ini kisah Cinderella? Tapi pria itu jauh dari seorang pangeran, kecuali penampilannya yang tampan. Erwin adalah anak haram dari keluarga kaya yang menjalani kehidupan sembrono dan nyaris tidak memenuhi kebutuhan. Dia menikah untuk memenuhi keinginan terakhir ibunya. Namun, pada malam pernikahannya, dia memiliki firasat bahwa istrinya berbeda dari apa yang dia dengar tentangnya. Takdir telah menyatukan kedua orang itu dengan rahasia yang dalam. Apakah Erwin benar-benar pria yang kita kira? Anehnya, dia memiliki kemiripan yang luar biasa dengan orang terkaya yang tak tertandingi di kota. Akankah dia mengetahui bahwa Julita menikahinya menggantikan saudara perempuannya? Akankah pernikahan mereka menjadi kisah romantis atau bencana? Baca terus untuk mengungkap perjalanan Julita dan Erwin.
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Bayangkan menikah dengan seorang pria miskin hanya untuk menemukan bahwa dia sebenarnya tidak miskin. Katherine tidak tahu apa lagi yang harus diharapkan setelah dia dicampakkan oleh pacarnya dan akhirnya menikah dengan pria lain keesokan harinya. Suami barunya, Esteban, tampan, tetapi dia pikir kehidupan pernikahannya tidak akan istimewa sama sekali. Dia terkejut ketika menemukan bahwa Esteban sebenarnya sangat lengket. Anehnya, semua masalah yang dia temui setelah pernikahan diselesaikan dengan mudah. Ada sesuatu yang ganjil. Dengan curiga, dia bertanya padanya, "Esteban, apa yang terjadi di sini?" Sambil mengangkat bahu, Esteban menjawab, "Mungkin keberuntungan ada di pihakmu." Katherine memercayainya. Bagaimanapun, dia telah menikah dengan Esteban ketika pria itu akan bangkrut. Dialah pencari nafkah keluarga mereka. Mereka terus menjalani hidup sebagai pasangan sederhana. Jadi, tidak ada yang mempersiapkan Katherine untuk kejutan yang dia terima suatu hari. Suaminya yang sederhana tidak sesederhana itu! Dia tidak percaya bahwa dia benar-benar menikah dengan seorang miliarder. Sementara dia masih memproses keterkejutannya, Esteban memeluknya dan tersenyum. "Bukankah itu bagus?" Kathrine punya sejuta pertanyaan untuknya.