a, ada suara celotehan Dimas dan Nayla, atau sekadar suara TV yang
ng. Di sampingnya, kedua anaknya bersandar, seol
a-pura batuk, lalu bergegas
ut, tapi entah kenapa seperti membawa beban be
rumah Dina," jawabnya cepat, walau
eheni
kin menatap punggungnya, mungkin sedang berpik
us cerita begitu? Batin Bah Akin berteriak-teriak, t
hat aja, Bah." Suara
i dulu, baru ke mas
tidak berusaha mendekat. Tapi justru itu
duk dan bergegas ke jamban. Tak
lur waktu agar tidak bertemu Widya. Masih belum siap jika harus membicarakan kembali m
hadapi Widya, berkali-kali
*
m yang masuk lewat celah jendela yang menemani kebingungannya. Dimas dan Nayla sudah terlelap sejak tadi
mpak lelah, dengan sorot mata yang tak bisa disembunyikan. Rasa malu yang begitu da
bil meremas lengan bajunya. Kenapa aku bisa sebo
canggung saat mendengarnya, membuat Widya merasa seperti sudah menaruh beban yang terlalu berat pada bahu mertu
ain untuk curhat... tapi kenapa harus ke Bah Akin, aya
malah sering menghindar dan marah setiap kali topik itu muncul. Dilema antara ingin mencari jalan keluar tapi ta
emahamiku? Hati Widya makin bergejolak antara ingin mengungkapkan
Widya berbaring, menarik selimut menutupi wajahnya, mencoba menghindar dari pikirannya yan
enar gak suka dan gak nyama
. Widya memejamkan mata, berusaha menenangkan diri, tapi tetap saja bayangannya tentang ayah m
semakin jelas rasa sesal itu meresa
*
a. Warung itu hanyalah bangunan sederhana dari kayu dengan atap seng yang sudah mulai berkarat. Di depannya,
mengepulkan asap tipis. Duduknya masih tegap, tidak seperti lelaki sebayanya yang sudah mulai membungkuk atau b
mereka, sesekali menyulut kretek dan menghembuskan asapnya ke udara mal
belahnya. "Sawah Abah yang di belakang rumah Pak Anwar u
"Halah, masih diolah dulu, Jang. Tanahnya kemarin rada keras
"Sekarang tanah makin rewel, Bah. Hujan telat, pupuk mahal, panen serin
a barudak? Pusing pala bapak-bapak juga atuh! Dulu mah tanam padi sekali, bisa m
an sudah beda. Dulu kita nanam padi, tanah yang kerja buat kita. Sekarang, kita yang ker
h kayak perempuan. Kalau enggak dirawat, jadi ngambek. Harus dikasi
u ngomong pasti bawa-bawa perempuan. Udah, daripada
ng belum menikah hanya bisa ceng
ndekat. Seorang lelaki berjaket turun dan melangkah ke warung. Wa
ang. Sama pisang g
enali sosok itu. Roji, te
eberapa detik. Roji, lelaki yang dulu dikenal sebagai anak muda gagah, pali
nya itu dalam-dalam, lalu menghela
mengambil tempa
andang gelas kopinya yang tinggal separuh, pikirannya entah ke mana. Banyak cerit tentang Roji yan
dari mana mulai bicaranya, padahal dulu ketika masi
yang semakin menyusup ke dalam dada. Satu per satu mereka pun membubarkan diri, yang tera
tup pintu, lalu bersandar dengan napas berat. Keadaan rumah
erbaring dalam tidurnya. Wa
ngin membisikkan sesuatu, ingin mengeluhkan betapa pusingnya dia hari in
erngiang kembali ucapan
nya kebutuhan
firul
h. Hidup hampa serasa tidak bersuami
ipikirkan, Sadikin! Batin B
ha, semakin kalimat itu
lan
yang terlihat adalah w
rbayang malah Widya dengan waj
panjang, menutup
baik
baik
harap Rosid segera datang menjemput istri dan anaknya. Saat itulah Bah Akin akan mengobati anaknya,
*