hon kelapa. Suara serangga malam mulai bersahutan, berpadu dengan gemericik air dari kolam di bawahnya. Ia men
ada kejadian yang benar-benar tak terduga. Penampakan dan obrolan tak masuk a
ebanggaanya memang memiliki ukurkan di atas rata-rata. Hal yang sudah demikian adanya. Sejak
k pada Mak Siti. Keenam anak Bah Akin sudah tenang dan sukses hidup dengan keluarganya masing-masing. Dulu awal menikah, Mak Siti, memang
Akin sambil tangannya reflek meraih batang rudalnya y
ma yang panjang dan gede kaya punya abah ini?' lanjut
us siapa emak-emak yang katanya pernah ngeliat su jalu abah ini? Berarti me
as mengguyur tubuhnya. Di bawah siraman a
seperti racun yang tertanam kuat dalam benaknya. Ia masih tak percaya, Ustadzah Tarsih, yang dikenal santun dan lembut
alir, tetapi hatinya tetap terasa keruh dan agak hangat. Rudalnya pun makin berdenyut-denyut yang akhirnya berdiri tegang, seolah memberikan
air dingin hingga kembali mengend
lengkap karena selama ada menantunya di rumah d
namun pikirannya masih terasa berat. Udara sore semakin sejuk, angin
oleh Widya, menantunya, yang tengah menata h
haya lampu pijar 10watt menerangi wajahnya yang tetap cantik dan t
tangan mungil mereka yang siap menyendok nasi. Bah Akin tersenyum t
du dengan piring, sesekali diselingi celoteh ceria dari kedua bocah kecil
pernah ia rasakan sebelumnya muncul begitu saja.
a-tiba dadanya terasa sesak setiap melihatnya? Seakan bayangan Ustadzah Tarsih dengan kerudung sed
sid, suaminya untuk membantu merawat Mak Siti yang sedang sakit. Lima hari yang lalu Rosid kembali ke kota karena harus b
a gelisah. Makanan yang tadi terasa nikmat kini seperti hambar di lidah. Ia menyudahi
id dulu, ya," ujarnya, se
ho, Bah? Biasanya ke masjid kala
Neng," jawab Bah Akin bijak, menyembun
ujung kampung. Di bawah langit yang mulai gelap, hatinya terus
tahun menikah dengan Dina, masih tetangga. Mereka baru lima bulan dianugerahi anak laki-laki yang wajahnya hampir mirip den
nya ingin sekalian main ke rumah Ratna besannya yang tak jauh dari rumah Ardi, namun tak enak, sudah malam, lagian suamin
ri lampu-lampu rumah warga menemani langkahnya, sementara suara jangkrik mengisi keheningan malam. Udara terasa
masih terjaga di ruang keluarga. Ia duduk sendirian di atas tikar, menonton televisi dengan volume kecil agar ti
ti biasanya, ia menyiapkan kopi hitam dan kudapan rebus ubi jalar yang tadi dibawa mertu
anget," ujarnya lembut, meletakkan nampa
engalihkan pikirannya pada kopi panas yang mengepul. Namun, di sela perc
ri biasanya, memperlihatkan betis putihnya yang jenjang. Bah Akin mencoba mengalihkan pandangan, meneguk kopi perlah
erasa pening. Pikirannya yang selama ini selalu terjaga baik kini mulai benar-benar terusik, membuatnya ingin segera masuk ke dalam
lu, ya," ujarnya setelah menghabiskan kopi dan bebera
gan senyum ramah. "Iya, Bah. Istirahat yan
h yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Begitu pintu kamar tertu
llah..." de
lebih sopan," pikir Bah Akin dalam hati, m
ditutupi. Widya masih muda, cantik, dan penuh semangat. Ia tak seperti Ustadzah Tarsih, apalagi Mak Siti istrinya yang sem
erti pria muda. Dia itu pasti melihat abah hanya sebagai lelaki tua, sudah sepuh, le
tidak boleh terhasut rayuan iblis. Itu hanya godaan gara-gara ng
Mak Siti sudah merasa tidak nyaman tidur seranjang berdua dengan
a yang lumayan keras, ciri khas yang sudah d
*