/0/24027/coverbig.jpg?v=313234484b4830d23091694d3b77c83c)
GODAAN LIAR SANG USTAZAH Di balik sosoknya yang anggun, santun, dan religius, Riana adalah gambaran wanita sempurna di mata banyak orang. Istri seorang pengusaha sukses, ibu dari dua anak lucu, dan pemilik rumah megah di tengah desa yang sejuk. Warga memanggilnya "Bu Ustazah"-bukan karena titel, tapi karena sikap dan tutur katanya yang penuh teladan. Namun di balik hijab dan keheningan dzikirnya, ada badai yang tak pernah reda. Arga, suaminya, kini tak lagi bergairah-bukan hanya dalam urusan ranjang, tapi juga dalam menatapnya. Riana haus, tapi bukan hanya pada cinta. Ia haus pada perhatian, pada sentuhan, pada rasa yang bisa membuatnya merasa hidup kembali. Ketika rumah tak lagi jadi tempat berlindung, dan wajah-wajah muda di sekelilingnya mulai menyapa dengan senyum berbeda-dari sopir tampan, pegawai toko yang nakal, hingga lelaki tua kharismatik yang selalu dipuja... Riana mulai kehilangan kendali. Ini bukan sekadar cerita tentang godaan. Ini adalah perang batin seorang istri-antara kesetiaan dan hasrat, antara norma dan kejujuran pada dirinya sendiri. Karena bahkan seorang "Bu Ustazah", bisa saja jatuh dalam godaan paling liar... jika ia terus dibiarkan merasa sepi.
Siang menjelang sore, angin berembus lembut menyusuri sela-sela daun. Riana dengan busana muslimah dan kerudung syar'I yang besar, duduk seorang diri di bawah pohon nangka tua di sudut belakang rumah megahnya.
Tempat itu sudah lama menjadi favoritnya. Destiansi paling damai untuk melepaskan lelah, atau sekadar menenangkan hati yang galau.
Dari situ, siapapun bisa melihat hamparan sawah yang seolah tak berujung, gunung menjulang tinggi di kejauhan, dan sungai berkelok yang memisahkan dua sisi kampung, seperti dua dunia berbeda yang dipisahkan oleh sungai raksasa.
Suasana rumah sedang sepi. Anak-anaknya tidur siang setelah makan, Bi Yati masih sibuk di dapur, dan Arga, suaminya masih di ladang bersama puluhan pegawainya. Sibuk mempersiapan panen perdana jagung dan ubi jalar organik yang rencana akan diekspor ke Singapura.
Riana menghela napas panjang. Tangannya meraih ponsel dari pangkuan, lalu membuka kontak. Ia menatap nama di layar sejenak sebelum akhirnya mengetuk tombol hijau. Erlin, sepupu sekaligus sahabt sejatinya sejak SMA dulu.
Tak perlu menunggu lama.
"Halo, sayaaaangg..." suara di seberang langsung menyapa ceria, khas Erlin yang selalu terdengar penuh semangat.
Riana tersenyum kecil. "Lagi ngapain, Nek?"
"Lagi nungguin anak-anak pulang sekolah... sambil maskeran, tahu gak, Ri. Pake lumpur laut mati. Hidup emak-emak kota yang sok sibuk banget ya!"
Riana terkekeh pelan. "Enak ya hidup kamu, kayaknya adem terus."
"Bohong banget itu kalimat. Hidup adem dari mana? Suami sering dinas luar kota, anak-anak makin cerewet, asisten malah kabur minggu lalu. Tapi ya udahlah, hidup tetap harus cantik!"
"Pantes kamu glowing terus..."
"Gak kayak kamu, glowing dari hati, Bu Ustazah. Gimana kabar di gunung sana?" goda Erlin.
Riana terdiam sejenak, lalu tertawa tipis. "Aku lagi di bawah pohon nangka, tempat pavorit kita. Biasa mau curhat nih... boleh, ya?"
"Oh wow, kalau kamu udah nyari pohon nangka, pasti curhatnya dalam dan berat, nih. Hahahaha."
Diam sejenak. Riana menarik napas, lalu mulai bicara pelan. "Aku capek, Lin. Capek... nahan semuanya sendiri. Seperti yang sering aku omongin, Mas Arga kayaknya makin parah banget. Kayak nggak ada tenaga sama sekali. Udah berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tetap loyo, hambar, seolah tak ada harapan lagi."
"Duh..." Erlin hanya berseru tertahan.
"Dan aku, Lin. Aku masih ngerasa hidup. Masih ngerasa butuh, gairahku masih menggebu-gebu. Masih ngerasa pengen dicium, dipeluk, dirayu, disentuh dan dipuaskan tentu saja."
Di seberang, Erlin tidak langsung menjawab. Ia tahu benar, ini bukan curhat biasa, suara Riana pun terdengar dangat pilu.
"Kamu masih normal, Ri," katanya akhirnya. "Sangat wajar, karena kamu perempuan dewasa. Istri yang masih muda, sehat, cantik. Punya kebutuhan, punya gairah. Yang gak normal itu kalau kamu pura-pura nggak punya lagi. Atau kamu bohongin diri sendiri."
Riana memejamkan mata. "Tapi aku malu, Lin... Aku ini......."
"Ustazah?" potong Erlin cepat, lalu tertawa. "Please deh. Gak semua orang religius itu aseksual. Kamu bukan malaikat, Ri. Kamu manusia biasa, istri, dan ibu. Gak dosa punya hasrat. Yang dosa itu kalau kamu nyakitin orang atau menyimpang."
"Tapi... aku takut. Takut lama-lama meledak, Lin. Aku gak tahu harus gimana?"
"Makanya kamu cerita. Aku selalu ada kok buat kamu. Tapi aku juga harus jujur... kalau Mas Arga gak berubah, dan kamu terus nyangkal perasaan kamu sendiri, kamu bisa hancur pelan-pelan. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga punya batas."
Riana terdiam. Langit biru di atas kepalanya tampak begitu damai, tapi dadanya sesak oleh badai kecil yang tak kunjung reda.
"Ri..." suara Erlin kembali terdengar lembut, "kamu harus mulai pikirin cara untuk tetap waras tanpa harus menyakiti siapa pun. Kalau kamu butuh liburan, kabur sebentar, atau sekadar nginep ke Batam, di tempatku, bawa anak-anak, datang aja. Atau... kamu bisa atur ke psikolog, atau apapun yang bikin kamu lega."
"Terima kasih, Lin... Kamu tahu nggak, kadang aku cuma butuh denger kalimat kayak gitu. Yang bikin aku ngerasa gak sendirian. Aku kangen kamu datang ke rumahku, kita bisa ketawa-ketiwi lagi di sawah."
"Kamu gak sendirian, Ri. Walau saat ini kita jauh, aku akan selalu ada buatmu."
Siang makin merangkak menuju sore. Angin yang tadi hangat perlahan berubah menjadi sejuk, membelai jilbab Riana yang sebagian melayang-layang. Ia masih duduk di bawah pohon nangka, ponsel menempel di telinga, suara Erlin masih mengalir dari seberang, menemani kesendiriannya yang terasa lebih ringan sejak tadi curhat.
Setelah topik soal Arga mulai mereda, pembicaraan mereka pun ngalor ngidul. Dari keluhan jadi ibu dua anak, tren skincare terbaru, gosip artis yang viral, sampai drama tetangga Erlin di Batam yang selingkuh dengan guru les anaknya.
"Serius, Ri, emak-emak sekarang serem. Udah kayak sinetron stripping," kata Erlin sambil tergelak.
Riana ikut tertawa kecil. "Kamu juga kan suka drama. Bedanya kamu nonton, bukan main peran."
"Eh siapa tahu suatu hari nanti, aku main juga. Tapi bukan sebagai pelakor ya, paling jadi... detektif."
Riana hanya menggeleng sambil senyum-senyum.
Sampai akhirnya, setelah jeda yang agak panjang, suara Riana terdengar lebih pelan. "Lin... sebenernya aku tuh... akhir-akhir ini... suka kepikiran seseorang."
"Lho? Maksudnya?" tanya Erlin cepat, nadanya berubah jadi waspada sekaligus penasaran.
"Entah ya... mungkin karena aku lagi kosong, lama kesepian, atau karena... ya gitu deh. Tapi aku ngerasa... aku jadi mikirin terus orang itu, sampai kebawa mimpi."
"Eh, eh, eh... ini mulai seru nih," kata Erlin antusias. "Mantan SMA? Jangan bilang si Reihard? Ih, dulu kamu tuh tergila-gila banget sama dia..."
"Bukan!" Riana langsung membantah cepat.
"Atau... Mas Arif? Dulu anak himpunan kampus yang suka anterin kamu tiap pulang kajian kan?"
"Bukan juga, Lin, aku malah gak tahu dimana dia sekarang..." Riana terdengar makin gelisah.
"Hmm..." suara Erlin terdengar seperti sedang menahan tawa. "Kalau bukan mantan... jangan-jangan... Dodi?"
Riana tercekat. "Apaan sih... Dodi mah masih kecil!"
"Eh jangan salah, dia udah pemuda loh. Lumayan manis, ganteng. Badannya juga udah kaya pendekar, tinggi, tegap. Pasti suka curi-curi pandang pas nganter kamu, ngaku deh..." goda Erlin dengan nada geli dan menggoda.
"Lin... please!" Riana memijit pelipisnya, separuh kesal, separuh malu.
Erlin malah tambah menjadi. "Atau... astaga... jangan bilang... Bah Duloh loh! Yang sering kamu bangga-banggain itu. Yang kamu bilang semangatnya kayak anak muda. Yang kamu sebut 'jimat kampung' segala."
"Erliiin!"
"Aduh, jangan ya Ri... tolong... jangan bilang kamu terobsesi sama aki-aki itu."
Riana langsung meremas rok panjang yang menutupi lututnya. Mukanya memerah seketika.
"Gila aja kamu, Lin... sumpah kamu tuh kalo ngomong suka....."
"Eh jangan marah dulu dong, Sayang... aku cuma bercanda and nebak. Tapi cara kamu diam itu... hmm... mencurigakan, hahahaha."
"Ya ampun Erlin... aku tuh... nggak tahu harus bilang apa. Yang jelas bukan mereka. Aku cuma lagi... kacau. Mungkin cuma butuh perhatian aja. Udah ah!"
"Oke, oke. Aku nggak akan maksa. Tapi kamu harus janji satu hal."
"Apaan?"
"Jangan main api. Aku gak mau lihat kamu jatuh ke tempat yang salah cuma karena kesepian. Terus berdoa semoag Mas Agra segera sembuh dari petakanya."
Riana menghela napas. Lama. "Aku tahu, Lin. Makasih udah dengerin aku."
"Kapan pun, sayang. Kamu tahu ponsel dan bahkan pintu rumahku selalu terbuka. Dan mulutku... ya biasanya sih gak terlalu terbuka ke orang lain. Rahasiamu aman, kok."
Mereka tertawa pelan bersama. Obrolan pun perlahan ditutup, bukan karena topik selesai, tapi karena anak-anak sudah mulai bangun, dan Bi Yati mulai memanggil dari dapur.
Riana menatap ponsel di tangannya, lalu mengangkat wajah menatap langit yang mulai berubah warna. Entah kenapa, tebakan Erlin soal Dodi terus bergema di kepalanya. Padahal ia tidak bilang apa-apa. Tapi... dari semua tebakan itu, kenapa yang satu itu membuat jantungnya berdebar lebih cepat?
Setelah obrolan panjang dengan Erlin yang masih membekas di kepala, Riana mencoba mengalihkan pikirannya dengan aktivitas ringan. Ia mengambil selang dari samping rumah, mulai menyiram bunga-bunga di halaman depan. Anggrek, mawar, melati, dan beberapa tanaman hias gantung yang tumbuh subur berkat tangan dinginnya.
Air menyembur lembut, membasahi dedaunan dan kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Tapi pandangan Riana justru tak fokus pada tanaman.
Di samping garasi, Dodi sedang mencuci mobil Fortuner putih. Celana pendek dan kaos oblong yang dikenakannya sudah agak basah, menempel di tubuh. Keringat bercampur cipratan air membuat kulit Dodi terlihat lebih mengilap di bawah cahaya senja.
Otot lengannya tampak tegas saat ia menggosok kap mobil dengan sabun busa, dan sesekali rambut depannya ia sapu ke belakang karena terhalang pandangan. Bahkan tonjolan di selangkangannya sesekali menampakan wujurdnya, saat dia menarik tangannay ke atas.
Riana mencoba tetap tenang, namun ekor matanya jelas memperhatikan gerak-gerik pemuda 25 tahun itu. Nafasnya tak seirama dengan irama selang yang ia genggam. Ada detak tak biasa yang mulai menyusup perlahan.
Dodi, meskipun hanya 'anak kampung sini,' justru jadi sosok paling diandalkan oleh Arga. Ia bukan sekadar sopir, tapi hampir seperti tangan kanan dalam mengelola kebun dan para pekerja. Disiplin, cekatan, dan dikenal jujur. Dan Riana tahu betul, di antara para pekerja, hanya Dodi yang sering ikut Arga berdiskusi soal strategi, pembagian lahan, bahkan pemasaran hasil panen.
Dodi bukan pemuda kampung sembarangan, dia lulusan STM Pertanian.
Namun yang membuat Riana saat ini tak bisa mengalihkan pandangannya... bukan soal kerja keras Dodi. Tapi postur tegapnya, sorot matanya yang tenang, dan cara ia menyeka pelipis dengan t-shirt basah itu, entah kenapa terasa terlalu jantan, terlalu macho dan laki banget.
Selang air yang dipegang Riana sempat mengarah tak tentu, membuat rok panjangnya sedikit basah karena terpental dari tanah. Ia buru-buru mematikan keran, lalu menarik napas panjang. Berpura-pura sibuk membetulkan pot yang sudah rapi.
Dodi melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum sopan. "Bu, airnya muncrat ke sini, loh," katanya beranda santai.
Riana gugup, tersenyum kaku. "Maaf, Dod, ibu nggak sengaja."
"Gak apa-apa, Bu. Kalau Ibu yang muncratin mah... saya ikhlas," jawab Dodi cepat, lalu tertawa kecil sambil kembali membasuh mobil.
Riana terdiam. Ucapan sederhana itu, entah kenapa terdengar seperti godaan yang dibungkus canda. Tapi juga bisa jadi hanya gurauan biasa bagi anak-anak kampung sini.
Ia buru-buru masuk ke rumah, padahal belum semua bunga tersiram.
Dadanya masih berdegup pelan, bertanya-tanya mengapa akhir-akhir ini godaan itu seolah datang silih berganti dari berbagai arah.
^*^
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
‘Ikuti terus jatuh bangun perjalanan Sang Gigolo Kampung yang bertekad insyaf, keluar dari cengkraman dosa dan nista hitam pekat. Simak juga lika liku keseruan saat Sang Gigolo Kampung menemukan dan memperjuangkan cinta sucinya yang sangat berbahaya, bahkan mengancam banyak nyawa. Dijamin super baper dengan segala drama-drama cintanya yang nyeleneh, alur tak biasa serta dalam penuturan dan penulisan yang apik. Panas penuh gairah namun juga mengandung banyak pesan moral yang mendalam.
Sebuah cerita yang berkisah keluarga yang terpisah karena perceraian yang menyisakan duka buat anaknya karena tidak mengerti dengan kondisi orang tuanya. Hingga suatu saat terjadilah malam jahanam yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Aku tidak menyangka kalau semuanya ini bakal terjadi. Aku memang sering mengkhayalkannya. Tapi tidak pernah merencanakannya. Dan begitulah, kehidupanku jadi banyak liku - likunya. Liku - liku yang indah mau pun yang jahanam. Tapi aku harus mengakuinya, bahwa semua itu jahanam tapi indah… indah sekali.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Dokter juga manusia, punya rasa, punya hati juga punya birahi
Chelsea mengabdikan tiga tahun hidupnya untuk pacarnya, tetapi semuanya sia-sia. Dia melihatnya hanya sebagai gadis desa dan meninggalkannya di altar untuk bersama cinta sejatinya. Setelah ditinggalkan, Chelsea mendapatkan kembali identitasnya sebagai cucu dari orang terkaya di kota itu, mewarisi kekayaan triliunan rupiah, dan akhirnya naik ke puncak. Namun kesuksesannya mengundang rasa iri orang lain, dan orang-orang terus-menerus berusaha menjatuhkannya. Saat dia menangani pembuat onar ini satu per satu, Nicholas, yang terkenal karena kekejamannya, berdiri dan menyemangati dia. "Bagus sekali, Sayang!"