Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Sepupu Tapi Nafsu
Sepupu Tapi Nafsu

Sepupu Tapi Nafsu

5.0
38 Bab
16.1K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kisah-kisah pilihan tak terduga

Bab 1 Debt Collector Mesum, 1

Kenalin namaku Jaka Susantio atau biasa dipanggil Jack biar kerenan dikit. Ibuku asli Garut, Jawa Barat, sementara ayahku asli Semarang, Jawa Tengah. Aku tinggal di kostan kawasan Cianjur. Sementara orang tuaku bersama ke tiga adikku tinggal di Cirebon.

Maaf kalau cerita ini bahasanya agak sedikit vulgar apa adanya, karena memang pengalaman pribadi, dan aku terbiasa bicara ceplas ceplos. Jika sedikit terganggu dengan bahasa yang agak vulgar mohon maaf dan mohon dimaklum. Coba aja terus baca dulu, minimal sampai bab 6, siapa tahu berkesan dan jika suka teris lanjutkan sampai selesai.

Pekerjaanku sebagai tukang penagih kreditan, alias Debt Collector. Umur 22 tahun, masih relatif muda namun bermutu.

Selama hidup aku gak pernah kenal yang namanya pacaran. Dalam arti benar-benar punya pasangan kekasih seperti remaja pada umumnya. Boro-boro pacaran, kenal deket sama cewek aja gak pernah. Abis setiap mau kenalan, pasti tuh mental aku down, karena merasa tampangku gak ganteng-ganteng amat, walau hampir semua teman-teman sesama debt collctor, jauh lebih hancur dariku.

Anehnya cewek juga sepertinya tidak terlalu tertarik dengan penampilanku. Walau tidak pada lari saat lihat muka aku yang sejujurnya kayak preman, terkesan lebih tua dari usia sebenarnya, jadi bermutu alias 'bernuka tua'. Mungkin karena posturku yang agak kerempeng, wajahku tirus hitam manis, senang memelihara kumis dan jenggot dari sejak remaja namun terawat baik. Serta suka berdandan selengean ala preman. Maklum anak jebolan STM, pernah aktif dalam geng motor, tapi bukan anak buahnya Pegi Cianjur anaknya Pak Cecep.

Walau belum pernah pacaran, namun sudah cukup pengalaman dalam hal membombardir memek. Baik secara baik-baik atau secara maksa, lebih sering dengan WTS, alias wanita panggilan, pelacur murahan pinggir jalan. Namun yang pasti dilakukan di tempat-tempat yang ala kadarnya, tanpa penghayatan dan perasaan lebih. Hanya sebatas menyalurkan syahwat, tak jauh beda dengan onani.

Semua kenakalanku itu berubah gara-gara satu orang.

Siapakah orang itu? Orang itu tak lain dan tak bukan adalah orang yang sedang memarahi aku saat ini.

''Gimana sih lu, Jack! Bisa kerja gak sih? Jangan kumis aja lu gedein, badan sama setoran juga gedein doong!'' omel seorang ibu-ibu kepadaku yang sedang kebingungan meredakan amarahnya.

Dia adalah Bu Haji Ijah, istrinya Pak Haji Mamad, bosku. Pak Haji Mamad sebenarnya masih saudara sepupu dengan ibuku. Bu Haji Ijah asli Betawi, usia 42 tahun. Orangnya sih lumayan cantik, kadang berpakaian tertutup kalau mau ikut pengajian doang. Toketnya juga gede, karena udah menyusui empat anaknya yang sekarang udah gede-gede.

Bodi Bu Haji Ijah juga lumayan montok kayak Titi DJ, tapi sayang kelakuannya kayak mak lampir. Suka pamer, mulutnya pedas kaya cabe rawit malah kadang cenderung menyakitkan. Pokoknya jauh dari akhlaq seorang wanita yang pernah naik haji. Maklum titel Hajah hanya dia jadi topeng rentenir yang sangat kejam.

Setelah marah-marah panjang lebar, akhirnya berhenti juga setelah ditenangin oleh suaminya. Aku diultimatum wajib membawa setoran lebih banyak kalau masih mau bekerja dengannya. Sambil dongkol, aku pulang ke kostan sedehanaku. Kebetulan aku kost juga di rumah sepupu ayahku, jadi agak murah bayarnya, walau agak jauh tempatnya.

Andai saja ada pekerjaan lain yang lebih baik, mungkin aku sudah pindah. Namun sejak lulus STM, aku sama sekali tak pernah punya pekerjaan lain, selain menjadi penagih utang di tempat saudaraku sendiri yang jadi rentenir berbaju kreditur hebat itu. Bermodalkan motor tua berlebel RX King, kadang aku menjadi King Jalanan.

Besok siangnya, aku berangkat nagih utang yang macet-macet. Salah satu targetku adalah pemilik warung di salah satu kompleks tempat aku keliling. Namanya Teh Dewi, istrinya Bang Ramzi. Teh Dewi, masih sepupuan dengan Pak Haji Mamad juga dengan ibuku. Dan anehnya justru para sepupu itu juga yang kadang menghambat lancarnya usaha. Mungkin karena merasa ada ikatan saudara jadinya suka nganggap enteng. Padahal ada prinsip sakral dalam dunia bisnis, 'Bussines Is Bussiness.'

Teh Dewi ini si mulut dan muka manis. Ketika ngajuin kredit, segala tektek bengek rayuan sebagai saudara sepupu dekat dia keluarkan. Namun ketika ditagih bagaikan musuh bebuyutan, segala macam alasan dia keluarkan, bahkan kadang omongan nyelekit pun keluar. Kebiasaan dia, ketika aku belum sampai di warungnya, dia sudah menghilang entah kemana.

Teh Dewi sebenarnya orangnya lumayan cantik, muka khas Sunda geulis karena ibunya berasal dari Bandung. Toket lumayan muncul, bodi langsing kayak Desi Ratnasari, tapi dia rada pendek. Bang Ramzi suaminya seorang tentara, kelahiran Medan, saat ini sedang tugas di Papua selama dua tahun, punya satu anak lelaki umur tiga tahun.

Ketika aku berhenti depan rumah yang merangkap warungnya, ternyata tutup dan sepi. Aku yakin Teh Dewi sengaja menutup warungnya karena tahu hari ini jadwal aku menagih kreditan ke kompleks ini. Sudah satu bulan kredit dia macet, seharusnya sudah lunas tiga minggu yang lalu.

Aku panggil-panggil gak ada orang. Ya udah, aku coba masuk saja lewat dapur. Pas aku lewat kamarnya Teh Dewi, aku dengar suara mencurigakan. Insting detektifku langsung keluar. Pas aku intip pelan-pelan, aku lihat Teh Dewi sedang masturbasi pake dildo sambil meremes-remes toketnya yang gede kaya melon. Otak mesumku segera berpikir keras gimana caranya biar aku bisa mendapatkan hasil maksimal dari sepupu ibuku ini.

Aku balik lagi ke depan, terus aku teriak-teriak agak kenceng biar dia tahu kalau aku sang penagih ganteng sudah datang. Gak berapa lama, Teh Dewi menghampiri aku sedikit tergopoh-gopoh dengan wajah keringetan dan napasnya ngos-ngosan.

''Habis ngapain, Teh, sampe ngos-ngosan gitu?'' tanyaku berlagak bego.

''Itu, habis nimba air tadi di sumur,'' jawabnya malu-malu karena aku terus menatapnya sampai dia salah tingkah. Dan yang pasti dia tidak punya sumur, hehehe.

'Bilang aja lagi sange berat.' batinku.

''Eh, kok sepi amat, Teh, si Adit kemana?'' tanyaku menanyakan anaknya.

''Lagi nginep ke rumah kakeknya, tadi dijemput.'' balasnya. Kakek yang dimaksud adalah bapaknya Bang Ramzi, alias mertuanya, karena orang tua Teh Dewi tinggal di Bandung.

''Oh, terus gimana, sudah ada belum uangnya buat melunasi cicilannya?'' tanyaku langsung pada sasaran.

''Aduh, Jack, minggu depan aja ya. Warung lagi sepi nih, mana kiriman Bang Ramzi belum datang lagi,'' jawabnya berbohong, karena aku yakin tiap bulan pun gaji suaminya gak pernah telat.

''Wah, gak bisa, Teh. Aku sudah dimarahi sama boss gara-gara setoran kurang terus, seharusnya bulan lalu teteh sudah lunas!'' sergahku tak mau lagi kompromi.

"Halah, bilangin aja sama Pak Haji Mamad, masa sama saudara aja perhitungan banget. Dia kan sepupu aku juga. Sama kaya ibumu, Jaka!" Tiba-tiba saja Teh Dewi nyolot.

"Aku juga berarti masih sepupunya Pak Haji Mamad, Teh. Tapi kerja ya kerja, gak ada urusan sepupu. Teteh juga begitu, utang ya utang. Apalagi ini sudah lama banget jatuh temponya!" Aku rada kesal, karena selalu itu alasannya. Belanja online setiap saat tapi bayar utang udah kaya kiamat.

Teh Dewi, kebingungan. Mungkin lebih tepatnya kaget dengan jawabanku yang kali ini agak tegas dan sedikit memaksa.

''Ya udah deh, bentar ya, Jack, aku ambil uangnya dulu,'' katanya sambil pergi ke kamarnya.

"Nah, dari tadi gitu, gampang kan?" sergahku lagi masih berlaga marah dan kesal padahal sebuah rencana besar sudah menari-nari dalam otak kusutku.

Aku ikutin dari belakang masuk ke rumahnya karena memang sudah biasa. Aku lihat lewat celah pintu kamar dia mengambil uang dalam kotak di atas lemari agak tinggi sambil jinjit. Tapi tak berapa lama dia hilang keseimbangan terus jatuh sama kotak uang dan barang-barang di lemari ikut berjatuhan, termasuk dildo yang tadi dia pake buat masturbasi.

Melihat itu, aku buru-buru masuk kemarnya dan membantu mungutin barang-barangnya yang berjatuhan. Pas aku ngambil dildo, dia melotot melihat aku memperhatiin dildo dengan seksama sambil senyum-senyum mesum.

''Eh, ngapain kamu lihat-lihat barang orang, itu barang rahasia khusus buat wanita dewasa. Emangnya kamu bencong? Kok malah senyum-senyum lihat begituan?'' sergahnya makin sewot.

''Gak. Aku cuma penasaran aja, Teh. Kok kontol palsu sekecil gini apa bisa puasin Teteh? Gedean juga kontol aku yang asli,'' jawabku frontal sambil berdiri menunjukin kontolku ke dia, walau masih pake celana tapi sudah keliatan menggelembung, karena celanaku memang ketat lagian dari tadi, sejak melihatnya masturbasi sudah agak ngaceng walau belum maksimal.

''Emangnya kontol kamu segede dildo itu? Gak percaya aku!'' kata Teh Dewi masih sangat kesal atau lebih tepatnya malu. Tapi jujur aja aku kaget karena dia pun bicaranya cukup vulgar. Selama ini tak pernah aku dengar dia begitu, si mulut manis dan si wajah manis, masa berani bicara porno seajaib itu?

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY