Jangan pernah baper atau...
Aku menembus jalan terjal mengendarai sepeda motor. Kakiku berkali-kali harus memijak tanah untuk menjaga agar motor tetap stabil, membuat sepatuku berdebu tebal. Terjal, berdebu, dan kadang-kadang harus mendaki bukit berbatu kerikil yang licin. Seperti itulah medan jalan yang harus kutempuh.
Desa yang kulalui ini cukup terpencil. Tapi karena sebuah tugas mulia, aku harus menyusurinya dengan sabar. Kira-kira, setiap setengah jam sekali, aku harus berhenti sejenak, menyandarkan motor dan bertanya kepada penduduk sekitar.
"Pak, bisa tanya, dimana SD Negeri ya?"
"Apa masih jauh dari sini?"
"Nanti dari sini belok kemana?"
Itu adalah deretan pertanyaan yang aku ulang-ulang setiap kali berpapasan dengan penduduk sekitar. Petani, peternak bebek, dan ibu-ibu yang menenteng rantang, siapapun aku tanyai. Maklum, selain baru pertama menjelajahi daerah itu, aku kesulitan menemukan tempat yang harus kutuju karena sepanjang perjalanan, tidak banyak ancar-ancar yang bisa aku jadikan patokan. Hanya sawah menghijau, kebun, dan rumah-rumah penduduk yang tak banyak berbeda satu dengan lainnya. Karena takut nyasar lebih jauh itulah, aku harus rajin-rajin bertanya kepada penduduk sekitar yang berpapasan denganku.
"Oo, Nanti bapak terus kira-kira 500 meter. Di situ ada poskamling, belok kanan." jawab seorang petani yang sedang mengikat jerami.
"Berarti tidak jauh lagi," gumamku. "Terima kasih, Pak..." balasku kepada petani ramah itu.
Sebenarnya rada gondok juga sewaktu petani tua itu memanggilku dengan sebutan 'Bapak'. Aku masih 25 tahun, single, dan berperawakan seperti anak muda lazimnya. Tak berkumis, dan rambutpun masih hitam tebal. Aku sering melatih ototku ketika masih tinggal di kota. Seminggu dua kali, aku angkat barbel dan lari di atas treadmill. Tak heran, walaupun medannya berat, tenagaku tak terkuras. Aku masih kuat mencari tempat yang harus kutuju.
Pukul 8.35, aku menemukan SD yang kumaksud. Hmm, tipikal SD negeri di desa. Halamannya tidak terlalu luas dengan tiang bendera di bagian tengahnya, cukup untuk menampung belasan anak saat upacara. Gurunya pun pasti juga tidak terlalu banyak, tebakku. Walaupun kecil, halamannya cukup rapi. Bunga-bunga di tata di sekitar selasar sekolah. Aku tak terlalu mengamati kompleks sekolah itu terlalu lama karena hari mulai siang.
Buru-buru, di tengah kesunyian sekolah karena anak-anak sedang menjalani ujian, aku mencari kantor kepala sekolah, mengetuk pintu, dan menunggu siapapun yang keluar dari ruang bertuliskan 'Kepala Sekolah' itu. Tak berapa lama, gagang pintu itu seperti ditekan ke bawah dan pintu coklat yang terbuat dari kayu itupun serasa ditarik dari dalam.
"Maaf, saya mencari Bu Irda," sapaku kepada seorang wanita yang membuka pintu itu.
Seorang wanita berpakaian dinas berwarna coklat, berdiri di hadapanku. Wanita itu sepertinya belum terlalu tua. Mungkin berusia 30 tahunan. Tubuhnya mungil namun wajahnya manis. "Oh ya, saya sendiri..." jawabnya dengan intonasi yang cukup jelas. "Kamu Alfred kah?" tebaknya.
"Benar, bu. Saya Alfred, utusan dari dinas kota." aku menjelaskan.
Tangannya yang halus menjabat tanganku. Bu Irda mengenakan kacamata berbingkai tebal sehingga menambah aksen manisnya. Hidungnya mancung dan ia memiliki alis yang lebat. Setelah mempersilakan masuk, ia berbalik dan saya menguntitnya dari belakang. Rambut hitamnya terurai hingga menutupi pundaknya. Benar-benar terawat!
"Kita sudah menunggumu," kata Bu Irda mengawali pembicaraan ketika kami duduk. Ia memberi kode kepada seorang lelaki tua yang melintas di luar ruangan. Orang itu berhenti sejenak dan langsung mengangguk.
"Kamu pasti haus, bentar lagi Pak Bardi bawain teh kok." ucapnya singkat.
"Oh, makasih, bu. Jadi ngrepotin." balasku pelan. Kami tertawa kecil berdua.
Suasana yang awalnya tegang, perlahan-lahan mencair. Aku membiarkan Bu Irda membaca dengan penuh selidik dokumen-dokumen yang aku bawa. Satu lembar berganti dengan lembar yang lain. Kadang-kadang, ia tersenyum sendiri. Aku tak tahu, mungkin ia geli melihat foto ijazahku yang masih tampak culun. Atau ia kagum dengan nilai-nilaiku yang bagus.
Ah, tak tahulah aku...
"Jadi intinya gini..." bu Irda memecah keheningan. Wajahnya yang tirus menatapku tajam-tajam. "Saya ucapkan terima kasih karena Mas Alfred mau kerja di sini, jauh dari kota..."
Aku mengangguk-angguk.
"Beberapa guru yang mengabdi bertahun-tahun di sini sudah pensiun dan Mas Alfred diharapkan bisa mengisi kekosongan mereka," Bu Irda menjelaskan.
Sambil kuseruput teh yang masih panas, Bu Irda menjelaskan panjang lebar tentang kondisi sekolah. Aku mendengarkannya dengan nyaman. Bu Irda sebenarnya belum cocok jadi kepala sekolah, kataku dalam hati. Ia bahkan terlalu manis untuk menjadi seorang kepala sekolah. Tapi biarlah. Seragam coklatnya malah membuatnya tampak anggun.
"Kita sudah siapin tempat tinggal buat kamu. Lokasinya dekat Umbul. Agak jauh dari jalan, tapi tempatnya teduh. Semoga kamu nyaman," Bu Irda berdiri dan menyalamiku. Pembicaraan berakhir dan aku harus mencari tempat tinggal yang dimaksud.
"Nanti sore saya pasti akan mampir ke rumahmu." katanya menutup pembicaraan.
Aku mengangguk kikuk dan mengucapkan terima kasih. Dalam batinku, "Mengapa Bu Irda yang kepala sekolah mau datang ke rumahku sore-sore ya? Ah, sudahlah." aku membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu lenyap dari benakku.
*^*
Di bawah gemerisik pohon-pohon bambu, aku memasuki rumah yang dimaksud. Butuh waktu 30 menit untuk mencari rumah bercat putih itu. Rute dari jalan utama hingga tepat berada di halaman kecil di depan rumah itu memang tidak ramah untuk kendaraan roda empat. Sempit, terjal, dan berbatu. Jadi, aku cukup kewalahan. Rumahnya tidak terlalu besar, mungkin hanya satu kamar.
Kumasukkan kunci pintu yang sudah dititipkan olehku sejak dari kota dan hanya dengan sedikit putaran, pintu itu terbuka. Aku menyusuri rumah sederhana itu. Cukup asri namun lembab. Ada satu ruang tidur dan dapur.
Tunggu dulu! Ada yang aneh dari dalam tubuhku. Hasrat yang sudah aku pendam sejak 2 jam perjalanan dari kota hingga berada di dalam rumah ini tampaknya harus segera diakhiri. Aku melepas tas dan menanggalkan jaketku yang berdebu dan mencari... kamar mandi!
Aku sudah menahan rasa ingin buang air kecil sepanjang perjalanan, namun... astaga... setelah berkeliling rumah, keluar masuk halaman, aku menyadari kalau rumah itu tak dilengkapi kamar mandi. Aku sangat kebelet. Dengan jingkrak-jingkrak menuju halaman belakang, kubuka retsleting celana, dan mengeluarkan penisku dari balik celana dalamku, dan... cuuurrrr... menyemburlah air pipisku di balik pohon pisang.
"Legaaaa...." kataku pada diri sendiri.
Sekarang sudah pukul 16.00. Karena tak ada kamar mandi, badanku tetap lusuh sepanjang hari itu. Wajahku berminyak habis dan hanya bisa diseka menggunakan tisu kering. Sudahlah, hiburku. Mungkin nanti bisa numpang mandi di sekolahan.
Tok-tok-tok... Tiba-tiba pintu rumah terasa diketuk dari luar. Aku menghampiri dan membukakan pintu.
"Sore, Alfred..."
Hah, Bu Irda. Aku sedikit kaget. Lupa diriku kalau Bu Irda berjanji untuk mengunjungiku sore hari itu. Aku tampak gelagapan karena hanya pakai celana pendek dan kaos oblong. Wah, pasti mau bicara kerjaan nih, begitu isi pikiranku di tengah rasa panik ingin segera menyambar baju resmiku.
Tapi Bu Irda segera mengusir rasa panikku. Ia menjawab, "Sudah nggak usah repot-repot. Kok blingsatan sendiri sih?" sambil diiringi tawa kecil.
Rambutnya yang terurai itu dikucir dan diikat menggunakan pengikat plastik. Bu Irda sendiri hanya memakai pakaian biasa. Celana panjang kain dan kaos merah. Ia tampak menenteng tas plastik kecil transparan. Sekilas terlihat ada peralatan mandi dan handuk kecil.
"Ayo kita ke Umbul untuk mandi," ajaknya.
Karena sudah lusuh dan membutuhkan kesegaran, aku pun menurutinya. Aku minta waktu sebentar untuk menyiapkan peralatan mandiku. Ternyata, dalam hatiku berbicara, penduduk di sini masih mandi menggunakan Umbul. Ya sudah, apa boleh buat.
Kami berjalan berdua sambil mengobrol. Umbul itu jaraknya kira-kira 100 meter dari rumahku sehingga ada banyak yang kami obrolkan. Karena berperawakan kecil dan tampak masih muda, Bu Irda tidak tampak menyeramkan bagiku. Bahkan, suara lembutnya menggiringku ke dalam obrolan yang sangat santai sore hari itu.
"Masyarakat di sini mandi di Umbul. Tak ada sumber mata air lain kecuali di Umbul itu." jelas Bu Irda. Aku mengangguk berkali-kali. "Jadi, kalo mau mandi atau kebelet, ya terpaksa harus ke Umbul." tambahnya.
Bu Irda melirikku yang sedang tersenyum simpul. "Beda kan dibanding tinggal di kota. Apa-apa sudah ada..." godanya.
Ah tidak apa-apa bu, asal ada ibu semuanya bisa diatur, batinku menggoda diriku sendiri.
*^*
Jangan lewatkan baca juga kisah super baper "Takdir Cinta Gigolo Kampung"
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
‘Ikuti terus jatuh bangun perjalanan Sang Gigolo Kampung yang bertekad insyaf, keluar dari cengkraman dosa dan nista hitam pekat. Simak juga lika liku keseruan saat Sang Gigolo Kampung menemukan dan memperjuangkan cinta sucinya yang sangat berbahaya, bahkan mengancam banyak nyawa. Dijamin super baper dengan segala drama-drama cintanya yang nyeleneh, alur tak biasa serta dalam penuturan dan penulisan yang apik. Panas penuh gairah namun juga mengandung banyak pesan moral yang mendalam.
Sepatah Kata, Jangan pernah bengong dan tertegun-tegun jika belum selesai membaca kisah yang sangat AGAK LAEN dan super unik dalam novel ini. Mungkin banyak yang tidak terpcaya jika cerita ini lebih dari 58,83% merupakan KISAH NYATA, 24,49% Modifikasi Alur dan 16,68% tambahan halu sebagai variasi semata. Buktikan saja keunikan kisah dalam novel ini. Jangan mengatakan gak masuk akal jika belum tahu bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan dimanapun juga
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.
Sinta butuh tiga tahun penuh untuk menyadari bahwa suaminya, Trisna, tidak punya hati. Dia adalah pria terdingin dan paling acuh tak acuh yang pernah dia temui. Pria itu tidak pernah tersenyum padanya, apalagi memperlakukannya seperti istrinya. Lebih buruk lagi, kembalinya wanita yang menjadi cinta pertamanya tidak membawa apa-apa bagi Sinta selain surat cerai. Hati Sinta hancur. Berharap bahwa masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka, dia bertanya, "Pertanyaan cepat, Trisna. Apakah kamu masih akan menceraikanku jika aku memberitahumu bahwa aku hamil?" "Tentu saja!" jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak bermaksud jahat padanya, Sinta memutuskan untuk melepaskannya. Dia menandatangani perjanjian perceraian sambil berbaring di tempat tidur sakitnya dengan hati yang hancur. Anehnya, itu bukan akhir bagi pasangan itu. Seolah-olah ada penghalang jatuh dari mata Trisna setelah dia menandatangani perjanjian perceraian. Pria yang dulu begitu tidak berperasaan itu merendahkan diri di samping tempat tidurnya dan memohon, "Sinta, aku membuat kesalahan besar. Tolong jangan ceraikan aku. Aku berjanji untuk berubah." Sinta tersenyum lemah, tidak tahu harus berbuat apa ....
Mengandung adegan dewasa 21+ Raisa Anastasya mengalami kematian tragis, tertabrak truk, setelah melabrak tunangannya yang tengah berselingkuh. Bukannya mati dan kembali ke alam baka, Raisa malah masuk ke tubuh perempuan lain yang juga bernama Raisa, seolah semesta memberikan kesempatan kedua padanya. Sembari memanfaatkan paras cantik tubuh barunya, Raisa mulai menjalankan rencananya untuk balas dendam. Tapi tiba-tiba Zefan, direktur perusahaannya yang terkenal punya sifat sangat dingin, menarik Raisa ke salah satu kamar. Di bawah pengaruh alkohol, dia merenggut keperawanan Raisa karena mengira wanita itu adalah Raisanya yang lama. Setelah menghabiskan malam-malam menggairahkan bersama direktur, Raisa selalu terbayang saat mereka melakukan hubungan dan dibuat ketagihan oleh sang direktur, sehingga bimbang untuk melanjutkan balas dendamnya. Bisakah Raisa tetap fokus pada rencana utamanya di saat direktur terus menghantui melalui godaan sentuhan yang begitu menggairahkan? Dan apakah Raisa bisa menemukan benang takdirnya yang sebenarnya? Ngobrol sama author di Instagram dan TikTok @hi.shenaaa ya~
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"