Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Terjerat Nikmat Sesaat
Terjerat Nikmat Sesaat

Terjerat Nikmat Sesaat

5.0
126 Bab
126.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Jangan pernah baper atau...

Bab 1 Nikmat, 1

Aku menembus jalan terjal mengendarai sepeda motor. Kakiku berkali-kali harus memijak tanah untuk menjaga agar motor tetap stabil, membuat sepatuku berdebu tebal. Terjal, berdebu, dan kadang-kadang harus mendaki bukit berbatu kerikil yang licin. Seperti itulah medan jalan yang harus kutempuh.

Desa yang kulalui ini cukup terpencil. Tapi karena sebuah tugas mulia, aku harus menyusurinya dengan sabar. Kira-kira, setiap setengah jam sekali, aku harus berhenti sejenak, menyandarkan motor dan bertanya kepada penduduk sekitar.

"Pak, bisa tanya, dimana SD Negeri ya?"

"Apa masih jauh dari sini?"

"Nanti dari sini belok kemana?"

Itu adalah deretan pertanyaan yang aku ulang-ulang setiap kali berpapasan dengan penduduk sekitar. Petani, peternak bebek, dan ibu-ibu yang menenteng rantang, siapapun aku tanyai. Maklum, selain baru pertama menjelajahi daerah itu, aku kesulitan menemukan tempat yang harus kutuju karena sepanjang perjalanan, tidak banyak ancar-ancar yang bisa aku jadikan patokan. Hanya sawah menghijau, kebun, dan rumah-rumah penduduk yang tak banyak berbeda satu dengan lainnya. Karena takut nyasar lebih jauh itulah, aku harus rajin-rajin bertanya kepada penduduk sekitar yang berpapasan denganku.

"Oo, Nanti bapak terus kira-kira 500 meter. Di situ ada poskamling, belok kanan." jawab seorang petani yang sedang mengikat jerami.

"Berarti tidak jauh lagi," gumamku. "Terima kasih, Pak..." balasku kepada petani ramah itu.

Sebenarnya rada gondok juga sewaktu petani tua itu memanggilku dengan sebutan 'Bapak'. Aku masih 25 tahun, single, dan berperawakan seperti anak muda lazimnya. Tak berkumis, dan rambutpun masih hitam tebal. Aku sering melatih ototku ketika masih tinggal di kota. Seminggu dua kali, aku angkat barbel dan lari di atas treadmill. Tak heran, walaupun medannya berat, tenagaku tak terkuras. Aku masih kuat mencari tempat yang harus kutuju.

Pukul 8.35, aku menemukan SD yang kumaksud. Hmm, tipikal SD negeri di desa. Halamannya tidak terlalu luas dengan tiang bendera di bagian tengahnya, cukup untuk menampung belasan anak saat upacara. Gurunya pun pasti juga tidak terlalu banyak, tebakku. Walaupun kecil, halamannya cukup rapi. Bunga-bunga di tata di sekitar selasar sekolah. Aku tak terlalu mengamati kompleks sekolah itu terlalu lama karena hari mulai siang.

Buru-buru, di tengah kesunyian sekolah karena anak-anak sedang menjalani ujian, aku mencari kantor kepala sekolah, mengetuk pintu, dan menunggu siapapun yang keluar dari ruang bertuliskan 'Kepala Sekolah' itu. Tak berapa lama, gagang pintu itu seperti ditekan ke bawah dan pintu coklat yang terbuat dari kayu itupun serasa ditarik dari dalam.

"Maaf, saya mencari Bu Irda," sapaku kepada seorang wanita yang membuka pintu itu.

Seorang wanita berpakaian dinas berwarna coklat, berdiri di hadapanku. Wanita itu sepertinya belum terlalu tua. Mungkin berusia 30 tahunan. Tubuhnya mungil namun wajahnya manis. "Oh ya, saya sendiri..." jawabnya dengan intonasi yang cukup jelas. "Kamu Alfred kah?" tebaknya.

"Benar, bu. Saya Alfred, utusan dari dinas kota." aku menjelaskan.

Tangannya yang halus menjabat tanganku. Bu Irda mengenakan kacamata berbingkai tebal sehingga menambah aksen manisnya. Hidungnya mancung dan ia memiliki alis yang lebat. Setelah mempersilakan masuk, ia berbalik dan saya menguntitnya dari belakang. Rambut hitamnya terurai hingga menutupi pundaknya. Benar-benar terawat!

"Kita sudah menunggumu," kata Bu Irda mengawali pembicaraan ketika kami duduk. Ia memberi kode kepada seorang lelaki tua yang melintas di luar ruangan. Orang itu berhenti sejenak dan langsung mengangguk.

"Kamu pasti haus, bentar lagi Pak Bardi bawain teh kok." ucapnya singkat.

"Oh, makasih, bu. Jadi ngrepotin." balasku pelan. Kami tertawa kecil berdua.

Suasana yang awalnya tegang, perlahan-lahan mencair. Aku membiarkan Bu Irda membaca dengan penuh selidik dokumen-dokumen yang aku bawa. Satu lembar berganti dengan lembar yang lain. Kadang-kadang, ia tersenyum sendiri. Aku tak tahu, mungkin ia geli melihat foto ijazahku yang masih tampak culun. Atau ia kagum dengan nilai-nilaiku yang bagus.

Ah, tak tahulah aku...

"Jadi intinya gini..." bu Irda memecah keheningan. Wajahnya yang tirus menatapku tajam-tajam. "Saya ucapkan terima kasih karena Mas Alfred mau kerja di sini, jauh dari kota..."

Aku mengangguk-angguk.

"Beberapa guru yang mengabdi bertahun-tahun di sini sudah pensiun dan Mas Alfred diharapkan bisa mengisi kekosongan mereka," Bu Irda menjelaskan.

Sambil kuseruput teh yang masih panas, Bu Irda menjelaskan panjang lebar tentang kondisi sekolah. Aku mendengarkannya dengan nyaman. Bu Irda sebenarnya belum cocok jadi kepala sekolah, kataku dalam hati. Ia bahkan terlalu manis untuk menjadi seorang kepala sekolah. Tapi biarlah. Seragam coklatnya malah membuatnya tampak anggun.

"Kita sudah siapin tempat tinggal buat kamu. Lokasinya dekat Umbul. Agak jauh dari jalan, tapi tempatnya teduh. Semoga kamu nyaman," Bu Irda berdiri dan menyalamiku. Pembicaraan berakhir dan aku harus mencari tempat tinggal yang dimaksud.

"Nanti sore saya pasti akan mampir ke rumahmu." katanya menutup pembicaraan.

Aku mengangguk kikuk dan mengucapkan terima kasih. Dalam batinku, "Mengapa Bu Irda yang kepala sekolah mau datang ke rumahku sore-sore ya? Ah, sudahlah." aku membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu lenyap dari benakku.

*^*

Di bawah gemerisik pohon-pohon bambu, aku memasuki rumah yang dimaksud. Butuh waktu 30 menit untuk mencari rumah bercat putih itu. Rute dari jalan utama hingga tepat berada di halaman kecil di depan rumah itu memang tidak ramah untuk kendaraan roda empat. Sempit, terjal, dan berbatu. Jadi, aku cukup kewalahan. Rumahnya tidak terlalu besar, mungkin hanya satu kamar.

Kumasukkan kunci pintu yang sudah dititipkan olehku sejak dari kota dan hanya dengan sedikit putaran, pintu itu terbuka. Aku menyusuri rumah sederhana itu. Cukup asri namun lembab. Ada satu ruang tidur dan dapur.

Tunggu dulu! Ada yang aneh dari dalam tubuhku. Hasrat yang sudah aku pendam sejak 2 jam perjalanan dari kota hingga berada di dalam rumah ini tampaknya harus segera diakhiri. Aku melepas tas dan menanggalkan jaketku yang berdebu dan mencari... kamar mandi!

Aku sudah menahan rasa ingin buang air kecil sepanjang perjalanan, namun... astaga... setelah berkeliling rumah, keluar masuk halaman, aku menyadari kalau rumah itu tak dilengkapi kamar mandi. Aku sangat kebelet. Dengan jingkrak-jingkrak menuju halaman belakang, kubuka retsleting celana, dan mengeluarkan penisku dari balik celana dalamku, dan... cuuurrrr... menyemburlah air pipisku di balik pohon pisang.

"Legaaaa...." kataku pada diri sendiri.

Sekarang sudah pukul 16.00. Karena tak ada kamar mandi, badanku tetap lusuh sepanjang hari itu. Wajahku berminyak habis dan hanya bisa diseka menggunakan tisu kering. Sudahlah, hiburku. Mungkin nanti bisa numpang mandi di sekolahan.

Tok-tok-tok... Tiba-tiba pintu rumah terasa diketuk dari luar. Aku menghampiri dan membukakan pintu.

"Sore, Alfred..."

Hah, Bu Irda. Aku sedikit kaget. Lupa diriku kalau Bu Irda berjanji untuk mengunjungiku sore hari itu. Aku tampak gelagapan karena hanya pakai celana pendek dan kaos oblong. Wah, pasti mau bicara kerjaan nih, begitu isi pikiranku di tengah rasa panik ingin segera menyambar baju resmiku.

Tapi Bu Irda segera mengusir rasa panikku. Ia menjawab, "Sudah nggak usah repot-repot. Kok blingsatan sendiri sih?" sambil diiringi tawa kecil.

Rambutnya yang terurai itu dikucir dan diikat menggunakan pengikat plastik. Bu Irda sendiri hanya memakai pakaian biasa. Celana panjang kain dan kaos merah. Ia tampak menenteng tas plastik kecil transparan. Sekilas terlihat ada peralatan mandi dan handuk kecil.

"Ayo kita ke Umbul untuk mandi," ajaknya.

Karena sudah lusuh dan membutuhkan kesegaran, aku pun menurutinya. Aku minta waktu sebentar untuk menyiapkan peralatan mandiku. Ternyata, dalam hatiku berbicara, penduduk di sini masih mandi menggunakan Umbul. Ya sudah, apa boleh buat.

Kami berjalan berdua sambil mengobrol. Umbul itu jaraknya kira-kira 100 meter dari rumahku sehingga ada banyak yang kami obrolkan. Karena berperawakan kecil dan tampak masih muda, Bu Irda tidak tampak menyeramkan bagiku. Bahkan, suara lembutnya menggiringku ke dalam obrolan yang sangat santai sore hari itu.

"Masyarakat di sini mandi di Umbul. Tak ada sumber mata air lain kecuali di Umbul itu." jelas Bu Irda. Aku mengangguk berkali-kali. "Jadi, kalo mau mandi atau kebelet, ya terpaksa harus ke Umbul." tambahnya.

Bu Irda melirikku yang sedang tersenyum simpul. "Beda kan dibanding tinggal di kota. Apa-apa sudah ada..." godanya.

Ah tidak apa-apa bu, asal ada ibu semuanya bisa diatur, batinku menggoda diriku sendiri.

*^*

Jangan lewatkan baca juga kisah super baper "Takdir Cinta Gigolo Kampung"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 126 Nakalnya Istri Setia, 68   09-04 15:39
img
1 Bab 1 Nikmat, 1
11/07/2024
2 Bab 2 Nikmat, 2
11/07/2024
3 Bab 3 Nikmat, 3
11/07/2024
4 Bab 4 Nikmat, 4
11/07/2024
5 Bab 5 Nikmat, 5
11/07/2024
6 Bab 6 Nikmat, 6
11/07/2024
7 Bab 7 Nikmat, 7
11/07/2024
8 Bab 8 Nikmat, 8
11/07/2024
9 Bab 9 Nikmat, 9
11/07/2024
10 Bab 10 Nikmat, 10
11/07/2024
11 Bab 11 Nikmat, 11
13/07/2024
12 Bab 12 Nikmat, 12
13/07/2024
13 Bab 13 Nikmat, 13
13/07/2024
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY