/0/18224/coverbig.jpg?v=6407d22bed06b7597b674955c72f4946)
Jangan pernah baper atau...
Aku menembus jalan terjal mengendarai sepeda motor. Kakiku berkali-kali harus memijak tanah untuk menjaga agar motor tetap stabil, membuat sepatuku berdebu tebal. Terjal, berdebu, dan kadang-kadang harus mendaki bukit berbatu kerikil yang licin. Seperti itulah medan jalan yang harus kutempuh.
Desa yang kulalui ini cukup terpencil. Tapi karena sebuah tugas mulia, aku harus menyusurinya dengan sabar. Kira-kira, setiap setengah jam sekali, aku harus berhenti sejenak, menyandarkan motor dan bertanya kepada penduduk sekitar.
"Pak, bisa tanya, dimana SD Negeri ya?"
"Apa masih jauh dari sini?"
"Nanti dari sini belok kemana?"
Itu adalah deretan pertanyaan yang aku ulang-ulang setiap kali berpapasan dengan penduduk sekitar. Petani, peternak bebek, dan ibu-ibu yang menenteng rantang, siapapun aku tanyai. Maklum, selain baru pertama menjelajahi daerah itu, aku kesulitan menemukan tempat yang harus kutuju karena sepanjang perjalanan, tidak banyak ancar-ancar yang bisa aku jadikan patokan. Hanya sawah menghijau, kebun, dan rumah-rumah penduduk yang tak banyak berbeda satu dengan lainnya. Karena takut nyasar lebih jauh itulah, aku harus rajin-rajin bertanya kepada penduduk sekitar yang berpapasan denganku.
"Oo, Nanti bapak terus kira-kira 500 meter. Di situ ada poskamling, belok kanan." jawab seorang petani yang sedang mengikat jerami.
"Berarti tidak jauh lagi," gumamku. "Terima kasih, Pak..." balasku kepada petani ramah itu.
Sebenarnya rada gondok juga sewaktu petani tua itu memanggilku dengan sebutan 'Bapak'. Aku masih 25 tahun, single, dan berperawakan seperti anak muda lazimnya. Tak berkumis, dan rambutpun masih hitam tebal. Aku sering melatih ototku ketika masih tinggal di kota. Seminggu dua kali, aku angkat barbel dan lari di atas treadmill. Tak heran, walaupun medannya berat, tenagaku tak terkuras. Aku masih kuat mencari tempat yang harus kutuju.
Pukul 8.35, aku menemukan SD yang kumaksud. Hmm, tipikal SD negeri di desa. Halamannya tidak terlalu luas dengan tiang bendera di bagian tengahnya, cukup untuk menampung belasan anak saat upacara. Gurunya pun pasti juga tidak terlalu banyak, tebakku. Walaupun kecil, halamannya cukup rapi. Bunga-bunga di tata di sekitar selasar sekolah. Aku tak terlalu mengamati kompleks sekolah itu terlalu lama karena hari mulai siang.
Buru-buru, di tengah kesunyian sekolah karena anak-anak sedang menjalani ujian, aku mencari kantor kepala sekolah, mengetuk pintu, dan menunggu siapapun yang keluar dari ruang bertuliskan 'Kepala Sekolah' itu. Tak berapa lama, gagang pintu itu seperti ditekan ke bawah dan pintu coklat yang terbuat dari kayu itupun serasa ditarik dari dalam.
"Maaf, saya mencari Bu Irda," sapaku kepada seorang wanita yang membuka pintu itu.
Seorang wanita berpakaian dinas berwarna coklat, berdiri di hadapanku. Wanita itu sepertinya belum terlalu tua. Mungkin berusia 30 tahunan. Tubuhnya mungil namun wajahnya manis. "Oh ya, saya sendiri..." jawabnya dengan intonasi yang cukup jelas. "Kamu Alfred kah?" tebaknya.
"Benar, bu. Saya Alfred, utusan dari dinas kota." aku menjelaskan.
Tangannya yang halus menjabat tanganku. Bu Irda mengenakan kacamata berbingkai tebal sehingga menambah aksen manisnya. Hidungnya mancung dan ia memiliki alis yang lebat. Setelah mempersilakan masuk, ia berbalik dan saya menguntitnya dari belakang. Rambut hitamnya terurai hingga menutupi pundaknya. Benar-benar terawat!
"Kita sudah menunggumu," kata Bu Irda mengawali pembicaraan ketika kami duduk. Ia memberi kode kepada seorang lelaki tua yang melintas di luar ruangan. Orang itu berhenti sejenak dan langsung mengangguk.
"Kamu pasti haus, bentar lagi Pak Bardi bawain teh kok." ucapnya singkat.
"Oh, makasih, bu. Jadi ngrepotin." balasku pelan. Kami tertawa kecil berdua.
Suasana yang awalnya tegang, perlahan-lahan mencair. Aku membiarkan Bu Irda membaca dengan penuh selidik dokumen-dokumen yang aku bawa. Satu lembar berganti dengan lembar yang lain. Kadang-kadang, ia tersenyum sendiri. Aku tak tahu, mungkin ia geli melihat foto ijazahku yang masih tampak culun. Atau ia kagum dengan nilai-nilaiku yang bagus.
Ah, tak tahulah aku...
"Jadi intinya gini..." bu Irda memecah keheningan. Wajahnya yang tirus menatapku tajam-tajam. "Saya ucapkan terima kasih karena Mas Alfred mau kerja di sini, jauh dari kota..."
Aku mengangguk-angguk.
"Beberapa guru yang mengabdi bertahun-tahun di sini sudah pensiun dan Mas Alfred diharapkan bisa mengisi kekosongan mereka," Bu Irda menjelaskan.
Sambil kuseruput teh yang masih panas, Bu Irda menjelaskan panjang lebar tentang kondisi sekolah. Aku mendengarkannya dengan nyaman. Bu Irda sebenarnya belum cocok jadi kepala sekolah, kataku dalam hati. Ia bahkan terlalu manis untuk menjadi seorang kepala sekolah. Tapi biarlah. Seragam coklatnya malah membuatnya tampak anggun.
"Kita sudah siapin tempat tinggal buat kamu. Lokasinya dekat Umbul. Agak jauh dari jalan, tapi tempatnya teduh. Semoga kamu nyaman," Bu Irda berdiri dan menyalamiku. Pembicaraan berakhir dan aku harus mencari tempat tinggal yang dimaksud.
"Nanti sore saya pasti akan mampir ke rumahmu." katanya menutup pembicaraan.
Aku mengangguk kikuk dan mengucapkan terima kasih. Dalam batinku, "Mengapa Bu Irda yang kepala sekolah mau datang ke rumahku sore-sore ya? Ah, sudahlah." aku membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu lenyap dari benakku.
*^*
Di bawah gemerisik pohon-pohon bambu, aku memasuki rumah yang dimaksud. Butuh waktu 30 menit untuk mencari rumah bercat putih itu. Rute dari jalan utama hingga tepat berada di halaman kecil di depan rumah itu memang tidak ramah untuk kendaraan roda empat. Sempit, terjal, dan berbatu. Jadi, aku cukup kewalahan. Rumahnya tidak terlalu besar, mungkin hanya satu kamar.
Kumasukkan kunci pintu yang sudah dititipkan olehku sejak dari kota dan hanya dengan sedikit putaran, pintu itu terbuka. Aku menyusuri rumah sederhana itu. Cukup asri namun lembab. Ada satu ruang tidur dan dapur.
Tunggu dulu! Ada yang aneh dari dalam tubuhku. Hasrat yang sudah aku pendam sejak 2 jam perjalanan dari kota hingga berada di dalam rumah ini tampaknya harus segera diakhiri. Aku melepas tas dan menanggalkan jaketku yang berdebu dan mencari... kamar mandi!
Aku sudah menahan rasa ingin buang air kecil sepanjang perjalanan, namun... astaga... setelah berkeliling rumah, keluar masuk halaman, aku menyadari kalau rumah itu tak dilengkapi kamar mandi. Aku sangat kebelet. Dengan jingkrak-jingkrak menuju halaman belakang, kubuka retsleting celana, dan mengeluarkan penisku dari balik celana dalamku, dan... cuuurrrr... menyemburlah air pipisku di balik pohon pisang.
"Legaaaa...." kataku pada diri sendiri.
Sekarang sudah pukul 16.00. Karena tak ada kamar mandi, badanku tetap lusuh sepanjang hari itu. Wajahku berminyak habis dan hanya bisa diseka menggunakan tisu kering. Sudahlah, hiburku. Mungkin nanti bisa numpang mandi di sekolahan.
Tok-tok-tok... Tiba-tiba pintu rumah terasa diketuk dari luar. Aku menghampiri dan membukakan pintu.
"Sore, Alfred..."
Hah, Bu Irda. Aku sedikit kaget. Lupa diriku kalau Bu Irda berjanji untuk mengunjungiku sore hari itu. Aku tampak gelagapan karena hanya pakai celana pendek dan kaos oblong. Wah, pasti mau bicara kerjaan nih, begitu isi pikiranku di tengah rasa panik ingin segera menyambar baju resmiku.
Tapi Bu Irda segera mengusir rasa panikku. Ia menjawab, "Sudah nggak usah repot-repot. Kok blingsatan sendiri sih?" sambil diiringi tawa kecil.
Rambutnya yang terurai itu dikucir dan diikat menggunakan pengikat plastik. Bu Irda sendiri hanya memakai pakaian biasa. Celana panjang kain dan kaos merah. Ia tampak menenteng tas plastik kecil transparan. Sekilas terlihat ada peralatan mandi dan handuk kecil.
"Ayo kita ke Umbul untuk mandi," ajaknya.
Karena sudah lusuh dan membutuhkan kesegaran, aku pun menurutinya. Aku minta waktu sebentar untuk menyiapkan peralatan mandiku. Ternyata, dalam hatiku berbicara, penduduk di sini masih mandi menggunakan Umbul. Ya sudah, apa boleh buat.
Kami berjalan berdua sambil mengobrol. Umbul itu jaraknya kira-kira 100 meter dari rumahku sehingga ada banyak yang kami obrolkan. Karena berperawakan kecil dan tampak masih muda, Bu Irda tidak tampak menyeramkan bagiku. Bahkan, suara lembutnya menggiringku ke dalam obrolan yang sangat santai sore hari itu.
"Masyarakat di sini mandi di Umbul. Tak ada sumber mata air lain kecuali di Umbul itu." jelas Bu Irda. Aku mengangguk berkali-kali. "Jadi, kalo mau mandi atau kebelet, ya terpaksa harus ke Umbul." tambahnya.
Bu Irda melirikku yang sedang tersenyum simpul. "Beda kan dibanding tinggal di kota. Apa-apa sudah ada..." godanya.
Ah tidak apa-apa bu, asal ada ibu semuanya bisa diatur, batinku menggoda diriku sendiri.
*^*
Jangan lewatkan baca juga kisah super baper "Takdir Cinta Gigolo Kampung"
“Good, kamu juga bisa mengelaborasi tugas itu, yang penting misi utama tidak terabaikan. Ingat kita hanya waktu maksimal tujuh bulan!” “Siap komandan!” “Kamu mesti tahu bahwa Madam Elva tidak sembarangan ngambil anak buah. Dia bukan germo kelas bawah yang menipu anak gadis di kampung buat dijual di kota. Ya, mungkin dia pernah atau masih juga begitu sih, dengar-dengar jaringannya menyediakan buat semua pangsa pasar.” Nikita masih terdiam menyimak. “Itu nanti kamu cari tahu saja. Yang jelas banyak anak buahnya itu high class, dan punya profesi utama bukan hanya sebagai pelacur: Ada yang masih mahasiswi, wartawan, sekretaris, perawat, atau malah istri orang yang diabaikan suaminya. Kamu bisa paham kan tipe seperti apa orang-orang yang bekerja sama dengan kamu nantinya.” Kompol Rudy menambahkan,
‘Ikuti terus jatuh bangun perjalanan Sang Gigolo Kampung yang bertekad insyaf, keluar dari cengkraman dosa dan nista hitam pekat. Simak juga lika liku keseruan saat Sang Gigolo Kampung menemukan dan memperjuangkan cinta sucinya yang sangat berbahaya, bahkan mengancam banyak nyawa. Dijamin super baper dengan segala drama-drama cintanya yang nyeleneh, alur tak biasa serta dalam penuturan dan penulisan yang apik. Panas penuh gairah namun juga mengandung banyak pesan moral yang mendalam.
Sepatah Kata, Jangan pernah bengong dan tertegun-tegun jika belum selesai membaca kisah yang sangat AGAK LAEN dan super unik dalam novel ini. Mungkin banyak yang tidak terpcaya jika cerita ini lebih dari 58,83% merupakan KISAH NYATA, 24,49% Modifikasi Alur dan 16,68% tambahan halu sebagai variasi semata. Buktikan saja keunikan kisah dalam novel ini. Jangan mengatakan gak masuk akal jika belum tahu bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan dimanapun juga
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Yahh saat itu tangan kakek sudah berhasil menyelinap kedalam kaosku dan meremas payudaraku. Ini adalah pertama kali payudaraku di pegang dan di remas langsung oleh laki2. Kakek mulai meremas payudaraku dengan cepat dan aku mulai kegelian. “ahhhkkk kek jangannnhh ahh”. Aku hanya diam dan bingung harus berbuat apa. Kakek lalu membisikkan sesuatu di telingaku, “jangan berisik nduk, nanti adikmu bangun” kakek menjilati telingaku dan pipiku. Aku merasakan sangat geli saat telingaku di jilati dan memekku mulai basah. Aku hanya bisa mendesah sambil merasa geli. Kakek yang tau aku kegelian Karena dijilati telinganya, mulai menjilati telingaku dengan buas. Aku: “ahhkkk ampunnn kek, uddaahhhhh.” Kakek tidak memperdulikan desahanku, malah ia meremas dengan keras payudaraku dan menjilati kembali telingaku. Aku sangat kegelian dan seperti ingin pipis dan “crettt creettt” aku merasakan aku pipis dan memekku sangat basah. Aku merasa sangat lemas, dan nafasku terasa berat. Kakek yang merasakan bila aku sudah lemas langsung menurunkan celana pendekku dengan cepat. Aku pun tidak menyadarinya dan tidak bisa menahan celanaku. Aku tersadar celanaku sudah melorot hingga mata kakiku. Dan tiba2 lampu dikamarku menyala dan ternyata...
“Usir wanita ini keluar!” "Lempar wanita ini ke laut!” Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan“Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, “Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?” Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?