Seorang pria yang merasa terjebak dalam rutinitas rumah tangganya mulai menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini membawanya ke dalam dunia yang penuh gairah, namun juga rasa bersalah yang semakin menghancurkan dirinya.
Riko memejamkan mata sejenak, menghirup aroma kopi yang menggugah semangat. Suara klakson mobil dan deru mesin sepeda motor dari luar rumah menembus ketenangannya. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia duduk di meja makan, mengaduk kopi hitamnya dengan malas. Istrinya, Maya, telah menyiapkan sarapan: roti bakar dan telur dadar. Dua potong roti untuk dua orang, dan satu piring telur untuk anak mereka, Dika, yang masih mengantuk.
"Mau sarapan, sayang?" tanya Maya sambil tersenyum lembut. Rambutnya yang tergerai tertiup angin pagi, menambah kesan cantik di wajahnya. Namun, senyuman itu tidak dapat menghilangkan rasa penat di dalam hati Riko.
"Hmm, iya," jawab Riko sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia melihat Dika berlarian di halaman, melompati genangan air yang tersisa dari hujan semalam. Riko merindukan masa-masa itu, masa ketika ia masih memiliki impian dan gairah.
Setelah beberapa saat, Dika masuk dengan wajah ceria. "Ayah, lihat! Aku bisa melompat jauh!" katanya sambil menunjukkan aksi lompatannya yang seolah-olah bisa mengalahkan atlet Olimpiade.
"Bagus sekali, Dika!" Riko mencoba tersenyum, tetapi hatinya terasa kosong. Ia merasa seperti robot yang menjalani rutinitas tanpa makna.
"Riko, kamu sudah memutuskan mau kemana untuk akhir pekan ini?" tanya Maya sambil menyajikan makanan.
Riko mengangkat bahu. "Mungkin kita bisa ke taman, atau...," suara Riko mulai menghilang. Ia tidak tahu apa yang ingin mereka lakukan. "Atau mungkin kita hanya di rumah saja," lanjutnya.
Maya mendesah pelan, seolah memahami ketidakberdayaan suaminya. "Baiklah, kita lihat saja nanti. Dika pasti suka ke taman."
"Ya, Dika pasti senang," Riko menyetujui, meskipun hatinya seolah tidak merasakan kegembiraan yang sama.
Setelah sarapan, Riko berangkat ke kantor dengan pikiran yang penuh. Dalam perjalanan, suara radio mengalun pelan, memutar lagu-lagu lama yang mengingatkannya pada masa-masa indah. Ia sering merindukan kebebasan dan semangat yang pernah menggebu dalam dirinya.
Sesampainya di kantor, Riko disambut oleh suara rekan-rekannya yang sibuk berbincang. "Riko! Kamu sudah denger kabar terbaru tentang proyek itu?" sapa Andi, temannya.
"Belum," jawab Riko sambil melangkah ke mejanya. "Ada apa?"
"Luna yang baru masuk itu. Dia jadi pemimpin proyek kita. Semua orang antusias!" kata Andi dengan nada ceria.
Riko hanya tersenyum. Luna, rekan kerja yang baru, telah menjadi bahan pembicaraan di kantor. Ia mendengar bahwa Luna muda, cantik, dan sangat bersemangat. Meski begitu, Riko merasa jauh dari rasa ingin tahu. "Bagus," ucapnya sambil membuka laptop.
Hari-hari berlalu, dan Riko merasakan rutinitasnya semakin membosankan. Setiap hari, ia kembali ke rumah, lelah dengan pekerjaannya, tetapi pikiran Riko mulai melayang ke arah Luna. Di kantor, Luna menyapa dengan senyum hangat yang mampu menyentuh hati Riko yang kering.
Suatu sore, saat Riko berada di pantry, Luna masuk dengan membawa secangkir kopi. "Hai, Riko! Lagi istirahat?" tanyanya dengan ceria.
"Eh, iya. Cuma mengisi ulang energi," jawab Riko, berusaha tetap tenang.
Luna tertawa, "Mungkin kita bisa berbagi cerita sambil minum kopi? Aku merasa kita belum mengenal satu sama lain dengan baik."
Riko tertegun. Suara Luna menyingkirkan segala beban di kepalanya, membuatnya merasa lebih hidup. "Baiklah, ceritakan tentang dirimu," Riko menyanggupi.
"Hmm, aku baru pindah ke kota ini, dan segala sesuatunya terasa baru dan menakjubkan!" Luna bercerita, matanya berbinar-binar. "Aku suka berpetualang, dan pengalamanku di sini belum banyak. Bagaimana denganmu?"
"Ah, aku... mungkin sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas," Riko menjawab sambil tertawa kecil, tetapi di dalam hatinya, ia merasa terasing.
"Jangan bilang begitu! Kita semua butuh sesuatu yang baru untuk menggugah semangat," ujar Luna dengan optimisme yang menular.
Riko menatapnya. Mungkin inilah saatnya untuk mengubah hidupnya. Namun, suara kecil dalam hatinya bertanya, "Apakah itu benar? Apa yang akan terjadi dengan keluargaku?"
Di tengah percakapan yang mengalir, Riko merasa ada sesuatu yang mulai bangkit dalam dirinya. Sebuah kerinduan akan kebebasan dan kehidupan yang lebih berarti. Namun, saat Riko melangkah ke rumah malam itu, rasa bersalah menghantui langkahnya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia-dunia yang nyaman tetapi membosankan, dan dunia baru yang penuh gairah namun berisiko menghancurkan hidupnya.
Malam itu, setelah seharian bertemu dengan Luna, Riko merasa gelisah. Ia duduk di ruang tamu, memandangi layar televisi yang menyala, tetapi pikirannya tidak dapat teralihkan dari senyuman Luna dan energi positif yang selalu ia bawa. Maya datang, membawa dua gelas teh hangat.
"Riko, kamu terlihat jauh. Ada apa?" tanya Maya dengan khawatir, duduk di samping suaminya.
"Hanya lelah, mungkin karena pekerjaan," Riko menjawab sambil tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Maya menatapnya tajam, seolah bisa membaca pikirannya. "Kamu pasti memikirkan sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Jika ada yang mengganggu pikiranmu, bicaralah padaku," katanya lembut.
Riko merasa bersalah. Ia ingin berbagi segalanya dengan Maya, tetapi ia tidak ingin melukainya. "Benar, ini hanya... rutinitas yang membosankan. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri."
"Jangan lupa, kamu punya kami. Aku dan Dika selalu di sini untukmu," jawab Maya, menyentuh tangan Riko. Tangan lembutnya memberi sedikit ketenangan, tetapi rasa bersalahnya semakin mendalam.
Setelah Maya pergi ke dapur, Riko beranjak dari sofa dan melangkah ke jendela. Ia menatap malam yang gelap di luar, bintang-bintang bersinar, tetapi hatinya terasa sepi. Suara tawa Dika dari kamar di sebelah mengingatkannya akan kebahagiaan yang ada dalam hidupnya, namun ia merasa kehilangan semangat untuk menikmatinya.
Pagi berikutnya, Riko bangun lebih awal dari biasanya. Ia ingin menjernihkan pikirannya sebelum memulai rutinitas yang sama. Ia pergi ke taman dekat rumah untuk berlari. Udara pagi terasa segar, tetapi seiring ia berlari, pikirannya kembali pada Luna. Mengapa ia begitu menarik? Riko bertanya-tanya, tetapi tidak menemukan jawabannya.
Setelah berlari, Riko kembali ke rumah, bersiap-siap untuk bekerja. Saat ia menginjakkan kaki di kantor, kehadiran Luna membuatnya berdebar. "Pagi, Riko! Semoga kamu siap untuk rapat hari ini!" sapanya ceria.
"Pagi, Luna. Tentu, aku siap," jawab Riko, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Rapat dimulai, dan Luna tampil percaya diri, mengemukakan ide-ide segar yang memukau rekan-rekan lainnya. Riko tidak bisa tidak terpesona melihatnya, bagaimana ia berbicara dengan penuh semangat, seolah dunia ada di telapak tangannya.
Setelah rapat, Riko menghampiri Luna. "Kamu luar biasa di rapat tadi. Semua orang terkesan," puji Riko, sambil merasa sedikit gugup.
"Terima kasih, Riko! Aku sangat bersemangat tentang proyek ini. Semoga kita bisa membuatnya berhasil!" jawab Luna dengan senyum menawan.
Senyuman itu kembali menggetarkan hati Riko. "Tentu, aku akan melakukan yang terbaik." Ia merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, dan hal itu membuatnya terjebak dalam kebingungan.
Hari-hari berikutnya, interaksi antara Riko dan Luna semakin intens. Mereka sering makan siang bersama, berbagi cerita, dan tertawa. Riko merasa hidupnya mulai berwarna kembali, tetapi rasa bersalahnya juga semakin menumpuk. Setiap tawa yang ia bagi dengan Luna membuatnya merasa semakin jauh dari Maya dan Dika.
Suatu hari, saat mereka selesai makan siang, Riko dan Luna berjalan-jalan di taman. Luna bercerita tentang impian dan harapannya. "Aku selalu ingin menjelajahi dunia, mencoba hal-hal baru. Apa kamu tidak merasa terjebak dalam rutinitas?" tanyanya sambil menatap langit biru.
Riko tertegun. "Kadang-kadang, ya. Tapi aku juga punya tanggung jawab... Keluarga," jawabnya, suaranya bergetar sedikit.
"Dan itu bagus! Tapi, hidup terlalu pendek untuk hanya menjalani rutinitas. Kita harus berani bermimpi!" Luna menatap Riko dengan tatapan penuh harapan, seolah mengajak Riko untuk ikut bersamanya.
Mendengar kata-kata itu, Riko merasakan gelombang emosi. Ia ingin mengikuti impian itu, tetapi di sisi lain, hatinya terikat pada keluarganya. "Kamu benar, Luna. Aku... hanya merasa bingung."
"Jangan takut untuk merasakan kebahagiaan, Riko. Hidup ini berharga," ujar Luna, menjabat tangan Riko sejenak, memberikan kehangatan yang tak terduga.
Riko terdiam, merasakan jantungnya berdebar kencang. Namun, saat itu juga, suara hati kecilnya mengingatkannya akan Maya dan Dika. "Aku harus pulang," ucapnya pelan, sambil melepaskan genggaman tangan Luna.
Setelah kembali ke rumah, Riko tidak bisa menghilangkan perasaan yang mengganjal. Di hadapan Maya, ia berusaha untuk terlihat normal. Namun, semua yang terjadi membuatnya merasa terpecah. Maya menyiapkan makan malam dengan penuh kasih sayang, tetapi Riko merasa tidak layak menerima semua itu.
Ketika mereka duduk makan malam, Dika tiba-tiba bertanya, "Ayah, kenapa kamu sering terlihat serius akhir-akhir ini?"
Riko tersentak. "Tidak ada apa-apa, Nak. Hanya banyak pekerjaan," jawabnya sambil tersenyum, meskipun hatinya terasa berat.
Maya menatap Riko dengan khawatir. "Riko, jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untukmu," katanya lagi, suaranya lembut tetapi penuh keprihatinan.
"Terima kasih, Maya. Aku... aku akan baik-baik saja," Riko menjawab, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa segala sesuatunya semakin rumit. Rasa bersalahnya terus menggerogoti, dan pertanyaan tentang kebahagiaan semakin membebani pikirannya.
Malam itu, Riko tidak bisa tidur. Ia terjaga, menatap langit yang berbintang dari jendela. Apakah ia benar-benar ingin terus terjebak dalam rutinitas ini, atau berani mengambil langkah menuju sesuatu yang baru? Dalam keraguan dan kebingungan, ia hanya bisa berharap menemukan jalan keluarnya sebelum semuanya terlambat.
Bersambung...
Seorang istri yang curiga terhadap suaminya mulai mencari tahu tentang hubungan rahasia yang suaminya jalani. Perselingkuhan ini mengarah pada pengkhianatan yang lebih dalam, memaksanya mengambil langkah drastis untuk melindungi dirinya sendiri.
Seorang pria yang merasa kehilangan gairah dalam pernikahannya menemukan kembali cinta lama yang tak pernah benar-benar pudar. Namun, di balik tatapan penuh cinta itu, ia juga menemukan rahasia yang mengancam kehidupannya yang nyaman.
Seorang wanita terjebak dalam pernikahan tanpa cinta memutuskan untuk mencari kebahagiaan dari masa lalunya. Namun, ketika perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi pilihan untuk memperbaiki atau meninggalkan hidupnya yang sudah dibangun.
Seorang istri yang selalu setia tiba-tiba menemukan bukti perselingkuhan suaminya. Ketika ia berusaha mengungkap kebenaran, ia justru menemukan lebih banyak kebohongan yang suaminya simpan selama ini.
Seorang pria mulai menerima surat-surat dari dirinya sendiri yang tertanggal 10 tahun di masa depan, memperingatkannya tentang kejahatan yang belum terjadi. Dia harus menggunakan informasi tersebut untuk mencegah pembunuhan, sambil mencari tahu siapa sebenarnya yang mengirim surat-surat itu.
Seorang jurnalis pergi ke hotel tua yang terkenal dengan cerita-cerita hantu untuk menulis artikel. Namun, saat tamu-tamu hotel mulai menghilang satu per satu, jurnalis tersebut menemukan bahwa ada lebih banyak kebenaran dalam cerita-cerita hantu itu daripada yang pernah dia bayangkan.
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
"Anda tidak akan pernah mengahargai apa yang Anda miliki sampai Anda kehilangannya!" Inilah yang terjadi pada Satya yang membenci istrinya sepanjang pernikahan mereka. Tamara mencintai Satya dengan sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Namun, apa yang dia dapatkan sebagai balasannya? Suaminya memperlakukannya seperti kain yang tidak berguna. Di mata Satya, Tamara adalah wanita yang egois, menjijikkan, dan tidak bermoral. Dia selalu ingin menjauh darinya, jadi dia sangat senang ketika akhirnya menceraikannya. Kebahagiaannya tidak bertahan lama karena dia segera menyadari bahwa dia telah melepaskan sebuah permata yang tak ternilai harganya. Namun, Tamara telah berhasil membalik halaman saat itu. "Sayang, aku tahu aku memang brengsek, tapi aku sudah belajar dari kesalahan. Tolong beri aku kesempatan lagi," pinta Satya dengan mata berkaca-kaca. "Ha ha! Lucu sekali, Satya. Bukankah kamu selalu menganggapku menjijikkan? Kenapa kamu berubah pikiran sekarang?" Tamara mencibir. "Aku salah, sayang. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku tidak akan menyerah sampai kamu setuju."Dengan marah, Tamara berteriak, "Menyingkirlah dari hadapanku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Li Mei terbangun dan menyadari bahwa dia tidak sedang berada di rumahnya. Di mana ini? Bukankah tadi dia terjatuh dari tangga? Kenapa dia tidak berada di rumah sakit dan malah berada di dalam rumah reyot seperti ini? Dan … siapa pula laki-laki tampan yang tidur di sebelahnya ini? "Kalau kamu sudah tidak tahan dengan pernikahan kita, tunggulah beberapa hari lagi. Aku pasti akan menceraikanmu. Jangan berusaha bunuh diri lagi," ucap Bai Changyi menatapnya dengan muram. Bercerai? Kenapa dia mau bercerai dari suami yang tampan seperti ini? Bai Chanyi menatapnya dengan kebingungan? Bukankah perceraian adalah hal yang paling Li Mei inginkan selama ini? "Aku tidak ingin bercerai, aku hanya ingin menjadi kaya!" Bisakah Li Mei mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang pengusaha kaya di era kuno bersama suaminya? IG : @summerrainwriter FB : Summer Rain
Jasmine memiliki profesi sebagai model yang mengandalkan sang kakak atau tepatnya anak dari mantan suami. Kedekatan mereka membuat hubungan yang diluar kendali hingga akhirnya kehadiran Lilo menghentikan kegiatan mereka dan membuat sang kakak marah. Sica yang lahir dibuang oleh sang ibu meski akhirnya bersama memiliki hubungan dengan tetangganya yang dulu pernah disukainya hingga akhirnya kehadiran Rannu membuat Sica berantakan. Apa yang akan dilakukan oleh Sica dan Jasmine nantinya? Akankah memilih jalan benar atau tetap sama? cerita ini adalah anak-anak dari cerita sebelumnya