bus ketenangannya. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia duduk di meja makan, mengaduk kopi hitamnya dengan malas. Istrinya, Maya, telah men
ng tergerai tertiup angin pagi, menambah kesan cantik di wajahnya. Namu
t Dika berlarian di halaman, melompati genangan air yang tersisa dari hujan semal
ihat! Aku bisa melompat jauh!" katanya sambil menunjukkan aksi
tetapi hatinya terasa kosong. Ia merasa sepert
emana untuk akhir pekan ini?" tany
uara Riko mulai menghilang. Ia tidak tahu apa yang ingin merek
dakberdayaan suaminya. "Baiklah, kita lih
etujui, meskipun hatinya seolah ti
suara radio mengalun pelan, memutar lagu-lagu lama yang mengingatkannya pada masa-masa
ekannya yang sibuk berbincang. "Riko! Kamu sudah denger
sambil melangkah k
pemimpin proyek kita. Semua orang an
di kantor. Ia mendengar bahwa Luna muda, cantik, dan sangat bersemangat. Meski be
mbali ke rumah, lelah dengan pekerjaannya, tetapi pikiran Riko mulai melayang ke arah Luna
masuk dengan membawa secangkir kopi. "Hai,
lang energi," jawab Riko
erita sambil minum kopi? Aku merasa kita b
an di kepalanya, membuatnya merasa lebih hidup. "B
an menakjubkan!" Luna bercerita, matanya berbinar-binar. "Aku suka ber
alam rutinitas," Riko menjawab sambil tertawa kec
esuatu yang baru untuk menggugah semangat
idupnya. Namun, suara kecil dalam hatinya bertanya, "Apa
kehidupan yang lebih berarti. Namun, saat Riko melangkah ke rumah malam itu, rasa bersalah menghantui langkahnya. Ia merasa terjeb
, memandangi layar televisi yang menyala, tetapi pikirannya tidak dapat teralihkan dari seny
apa?" tanya Maya dengan khawa
Riko menjawab sambil tersenyum tipis, ber
sti memikirkan sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Jika
api ia tidak ingin melukainya. "Benar, ini hanya... rutinitas yan
kmu," jawab Maya, menyentuh tangan Riko. Tangan lembutnya membe
di luar, bintang-bintang bersinar, tetapi hatinya terasa sepi. Suara tawa Dika dari kamar di sebelah mengin
as yang sama. Ia pergi ke taman dekat rumah untuk berlari. Udara pagi terasa segar, tetapi seiring ia berlari,
aat ia menginjakkan kaki di kantor, kehadiran Luna membuatnya berdeba
," jawab Riko, berusaha meny
emukau rekan-rekan lainnya. Riko tidak bisa tidak terpesona melihatnya, bagaim
luar biasa di rapat tadi. Semua orang terkes
entang proyek ini. Semoga kita bisa membuatny
melakukan yang terbaik." Ia merasa ada koneksi yang kuat di an
berbagi cerita, dan tertawa. Riko merasa hidupnya mulai berwarna kembali, tetapi rasa bersalahnya juga s
rcerita tentang impian dan harapannya. "Aku selalu ingin menjelajahi dunia, mencoba hal-hal
aku juga punya tanggung jawab... Keluarg
rutinitas. Kita harus berani bermimpi!" Luna menatap Riko dengan
in mengikuti impian itu, tetapi di sisi lain, hatinya terikat p
idup ini berharga," ujar Luna, menjabat tangan Rik
juga, suara hati kecilnya mengingatkannya akan Maya dan Dika. "Aku
, ia berusaha untuk terlihat normal. Namun, semua yang terjadi membuatnya merasa terpecah. Maya m
iba-tiba bertanya, "Ayah, kenapa kamu s
Hanya banyak pekerjaan," jawabnya sambil
ang ingin kamu bicarakan, aku di sini untukmu," kata
alam hatinya, ia tahu bahwa segala sesuatunya semakin rumit. Rasa bersalahnya te
-benar ingin terus terjebak dalam rutinitas ini, atau berani mengambil langkah menuju sesuatu yang baru? D
ambu