/0/20036/coverbig.jpg?v=20240907163319)
Kota Harapan, dengan rumah-rumah tua bercat warna pastel dan taman-taman kecil yang tertata rapi, terasa begitu damai dan menenangkan. Aria, seorang fotografer muda yang baru saja pindah ke sini, berharap dapat menemukan inspirasi baru untuk karyanya. Ia ingin menangkap keindahan sederhana yang terpancar dari setiap sudut kota ini.
Kota Harapan, dengan rumah-rumah tua bercat warna pastel dan taman-taman kecil yang tertata rapi, terasa begitu damai dan menenangkan. Aria, seorang fotografer muda yang baru saja pindah ke sini, berharap dapat menemukan inspirasi baru untuk karyanya. Ia ingin menangkap keindahan sederhana yang terpancar dari setiap sudut kota ini.
Hari pertamanya di Kota Harapan, Aria memutuskan untuk menjelajahi taman kota yang terkenal dengan keindahannya. Taman yang luas dan hijau itu dipenuhi dengan pepohonan rindang, bangku-bangku kayu, dan air mancur yang menari-nari. Di tengah taman, matanya tertuju pada sebuah bangku kayu yang terletak di bawah pohon beringin tua. Di sana, duduk seorang pria dengan tubuh tegap dan rambut hitam yang sedikit beruban. Ia mengenakan kemeja putih yang bersih dan celana panjang berwarna cokelat.
Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Aria tertarik. Mungkin karena aura misterius yang terpancar dari dirinya, atau mungkin karena tatapan matanya yang dalam dan penuh makna. Aria tidak bisa berhenti memperhatikannya. Ia merasa ada magnet yang menariknya menuju pria itu.
Dengan hati berdebar, Aria mendekati bangku kayu itu. Ia duduk di bangku di seberang pria itu, menjaga jarak yang cukup agar tidak membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, pria itu tidak menoleh. Ia tetap fokus pada buku yang sedang dibacanya, seakan-akan tidak menyadari kehadiran Aria.
"Permisi," sapa Aria dengan suara lembut. "Apakah boleh saya duduk di sini?"
Pria itu akhirnya menoleh. Matanya yang berwarna cokelat gelap menatap Aria dengan intens. Ada sebersit senyum tipis di bibirnya.
"Tentu," jawabnya dengan suara yang dalam dan berat. "Silakan."
"Terima kasih," kata Aria. "Nama saya Aria."
"Dimas," jawab pria itu singkat.
Percakapan mereka terhenti sejenak. Keduanya terdiam, hanya suara gemerisik daun dan kicauan burung yang memecah kesunyian. Aria merasa gugup, tetapi ia juga merasakan ketertarikan yang kuat terhadap Dimas.
"Anda sering duduk di sini?" tanya Aria, berusaha memecah keheningan.
"Ya," jawab Dimas. "Setiap hari."
"Apakah Anda suka membaca?" tanya Aria lagi, menunjuk buku yang sedang dipegang Dimas.
"Ya, saya suka membaca," jawab Dimas. "Terutama buku-buku tentang sejarah dan filsafat."
"Oh, menarik," kata Aria. "Saya juga suka membaca, tapi lebih ke buku-buku fiksi."
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Aria merasa nyaman berbicara dengan Dimas. Ia menemukan bahwa Dimas adalah pria yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki selera humor yang baik.
"Anda fotografer?" tanya Dimas, melihat kamera yang tergantung di leher Aria.
"Ya," jawab Aria. "Saya baru saja pindah ke sini dan ingin menjelajahi kota ini dengan kamera saya."
"Kota ini memiliki banyak tempat menarik," kata Dimas. "Jika Anda ingin, saya bisa menunjukkan beberapa tempat yang indah."
"Benarkah?" tanya Aria, matanya berbinar. "Saya sangat senang jika Anda mau."
"Tentu," jawab Dimas. "Kapan Anda punya waktu?"
"Bagaimana kalau besok pagi?" tanya Aria. "Saya bisa menjemput Anda di taman ini."
"Baiklah," jawab Dimas. "Saya tunggu di sini."
Senyum lebar terukir di wajah Aria. Ia merasa senang dan bersemangat. Pertemuannya dengan Dimas di taman itu terasa begitu istimewa. Ia tidak menyangka akan menemukan seseorang yang begitu menarik di kota kecil ini.
"Sampai jumpa besok," kata Aria.
"Sampai jumpa," jawab Dimas.
Aria beranjak dari bangku dan berjalan pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Dimas lagi besok. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Ia berharap pertemuan ini adalah awal dari sebuah kisah cinta yang indah, sebuah kisah yang akan selamanya terukir di hatinya.
Keesokan harinya tanpa sengaja aria dan dimas ketemu lagi di tempat yang sama waktu mereka berdua ketemu.
"Selamat pagi," sapa Dimas, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Selamat pagi," jawab Aria, jantungnya berdebar kencang. "Siap menjelajah?"
Dimas mengangguk, matanya menyorot semangat. Ia mengajak Aria menyusuri jalanan berbatu yang membelah kota. Rumah-rumah tua dengan arsitektur klasik, toko-toko kecil yang menjual aneka barang unik, dan taman-taman mungil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni, menjadi pemandangan yang memikat.
Aria, dengan kamera di tangan, tak henti-hentinya mengabadikan keindahan Kota Harapan. Namun, tatapannya sering tertuju pada Dimas, mengamati setiap gerak-geriknya. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sebuah misteri yang ingin ia pecahkan.
"Dimas, bolehkah aku bertanya?" tanya Aria, saat mereka berhenti di sebuah kafe kecil yang nyaman.
"Tentu," jawab Dimas, matanya menatap Aria dengan penuh perhatian.
"Kenapa kamu selalu duduk di bangku itu?" tanya Aria, "Seolah-olah kamu sedang menunggu sesuatu."
Dimas terdiam sejenak, tatapannya kosong, seakan-akan terbawa ke masa lalu. "Aku memang menunggu, Aria," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat. "Menunggu seseorang yang mungkin tak akan pernah kembali."
"Seseorang yang penting?" tanya Aria, rasa penasarannya semakin memuncak.
Dimas mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dia adalah segalanya bagiku, Aria. Dia adalah cinta pertamaku, satu-satunya wanita yang pernah kucintai."
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Aria, hatinya tergerak oleh kesedihan yang terpancar dari wajah Dimas.
"Dia pergi," jawab Dimas, suaranya bergetar. "Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dalam kesedihan yang mendalam."
"Kapan itu terjadi?" tanya Aria, ingin mengetahui lebih banyak tentang masa lalu Dimas.
"Lima tahun yang lalu," jawab Dimas, "Saat aku masih muda dan bodoh. Aku menyia-nyiakannya, aku tidak menghargai kehadirannya. Dan sekarang, aku menyesalinya setiap hari."
"Kenapa dia pergi?" tanya Aria, rasa simpati mulai muncul di hatinya.
Dimas terdiam, matanya menatap kosong ke arah langit. "Aku tidak tahu, Aria. Aku tidak pernah tahu alasannya. Mungkin aku terlalu egois, terlalu sibuk mengejar ambisiku, sehingga aku melupakan dia."
"Mungkin dia masih mencintaimu," kata Aria, mencoba menghibur Dimas.
Dimas menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Aria. Aku tidak berani berharap."
Aria merasa iba pada Dimas. Ia memahami rasa sakit yang dirasakan Dimas, kehilangan seseorang yang dicintai. Ia ingin menghibur Dimas, ingin meringankan beban yang dipikulnya.
"Dimas, aku ingin mendengar ceritanya," kata Aria, suaranya lembut. "Ceritakan tentang dia, tentang cinta kalian."
Dimas terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat kenangan indah bersama wanita yang dicintainya, kenangan yang kini hanya tinggal kenangan.
"Dia bernama Maya," kata Dimas, "Wanita dengan senyum yang bisa membuat hari-hariku cerah. Matanya yang berwarna biru langit selalu memancarkan kecerdasan dan kebaikan. Dia adalah inspirasiku, motivasiku untuk terus maju."
Dimas menceritakan kisah cintanya dengan Maya, tentang pertemuan mereka yang tak terduga, tentang masa-masa indah yang mereka lalui bersama, dan tentang perpisahan yang menyakitkan. Aria mendengarkan dengan saksama, hatinya tergerak oleh kisah cinta yang tragis itu.
"Aku tidak akan pernah melupakan Maya," kata Dimas, suaranya bergetar. "Dia akan selalu ada di hatiku, selamanya."
Aria menatap Dimas dengan penuh empati. Ia merasakan kesedihan yang mendalam dalam diri Dimas. Ia ingin menghiburnya, ingin memberinya kekuatan untuk menghadapi masa depan.
"Dimas, kamu tidak sendirian," kata Aria, "Aku ada di sini untukmu."
Dimas tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Aria. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa kamu."
Aria menggenggam tangan Dimas, memberikannya kekuatan dan harapan. Ia tahu bahwa Dimas masih mencintai Maya, dan ia ingin membantunya untuk menemukan kembali kebahagiaan yang hilang.
"Kita akan menemukannya bersama-sama," kata Aria, "Kita akan menemukan Maya."
Dimas menatap Aria dengan penuh harap. Ia merasa ada secercah cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Ia percaya bahwa Aria akan membantunya untuk menemukan Maya, atau setidaknya, untuk menemukan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang.
Besambung...
Alina terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi. Mimpi yang selalu menghantuinya setiap malam
Naya melangkah cepat, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer koridor kantor dengan irama yang familiar. Wajahnya, yang biasanya memancarkan keceriaan, tampak lesu. Matanya, yang biasanya berbinar dengan semangat, kini redup, seolah memendam beban berat.
Maya, dengan rambut cokelat keemasan yang selalu terurai bebas dan mata biru yang berbinar-binar, adalah personifikasi semangat muda. Ia selalu bersemangat dalam menjalani hidup, tak pernah lelah mengejar mimpi-mimpi yang terukir di hatinya. Hari itu, seperti biasa, ia menjelajahi lorong-lorong toko barang bekas di pusat kota, mencari harta karun tersembunyi yang mungkin terlupakan oleh pemiliknya sebelumnya.
Mentari mulai meredup, menorehkan warna jingga dan ungu di cakrawala. Ombak berdesir lembut di bibir pantai, menyapa kaki-kaki telanjang Laras yang menapaki pasir lembut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut asin yang familiar, membangkitkan kenangan masa kecil yang terlupakan. Laras memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar yang terasa begitu menenangkan.
Safira adalah seorang gadis berusia 25 tahun yang tinggal di kota kecil bernama Springville. Ia memiliki wajah yang cantik dengan mata berwarna cokelat yang memikat dan senyum yang ramah. Safira dikenal sebagai sosok yang selalu siap membantu orang lain tanpa pamrih.
Maya, yang kini menjalani kehidupan setelah kehilangan Rama, merasa hampa dan kesepian. Namun, suatu hari, dia menerima sebuah kejutan tak terduga yang mengubah hidupnya. Dia bertemu dengan seseorang yang secara kebetulan memiliki banyak kesamaan dengan Rama, baik dalam penampilan maupun kepribadian.
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Megan dipaksa menggantikan kakak tirinya untuk menikah dengan seorang pria yang tanpa uang. Mengingat bahwa suaminya hanyalah seorang pria miskin, dia pikir dia harus menjalani sisa hidupnya dengan rendah hati. Dia tidak tahu bahwa suaminya, Zayden Wilgunadi, sebenarnya adalah taipan bisnis yang paling berkuasa dan misterius di kota. Begitu dia mendengar desas-desus tentang hal ini, Meagan berlari ke apartemen sewaannya dan melemparkan diri ke dalam pelukan suaminya. "Mereka semua bilang kamu adalah Tuan Fabrizio yang berkuasa. Apakah itu benar?" Sang pria membelai rambutnya dengan lembut. "Orang-orang hanya berbicara omong kosong. Pria itu hanya memiliki penampilan yang mirip denganku." Megan menggerutu, "Tapi pria itu brengsek! Dia bahkan memanggilku istrinya! Sayang, kamu harus memberinya pelajaran!" Keesokan harinya, Tuan Fabrizio muncul di perusahaannya dengan memar-memar di wajahnya. Semua orang tercengang. Apa yang telah terjadi pada CEO mereka? Sang CEO tersenyum. "Istriku yang memerintahkannya, aku tidak punya pilihan lain selain mematuhinya."
Pada hari pernikahannya, saudari Khloe berkomplot dengan pengantin prianya, menjebaknya atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Dia dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, di mana dia menanggung banyak penderitaan. Ketika Khloe akhirnya dibebaskan, saudarinya yang jahat menggunakan ibu mereka untuk memaksa Khloe melakukan hubungan tidak senonoh dengan seorang pria tua. Seperti sudah ditakdirkan, Khloe bertemu dengan Henrik, mafia gagah tetapi kejam yang berusaha mengubah jalan hidupnya. Meskipun Henrik berpenampilan dingin, dia sangat menyayangi Khloe. Dia membantunya menerima balasan dari para penyiksanya dan mencegahnya diintimidasi lagi.