Kota Harapan, dengan rumah-rumah tua bercat warna pastel dan taman-taman kecil yang tertata rapi, terasa begitu damai dan menenangkan. Aria, seorang fotografer muda yang baru saja pindah ke sini, berharap dapat menemukan inspirasi baru untuk karyanya. Ia ingin menangkap keindahan sederhana yang terpancar dari setiap sudut kota ini.
Kota Harapan, dengan rumah-rumah tua bercat warna pastel dan taman-taman kecil yang tertata rapi, terasa begitu damai dan menenangkan. Aria, seorang fotografer muda yang baru saja pindah ke sini, berharap dapat menemukan inspirasi baru untuk karyanya. Ia ingin menangkap keindahan sederhana yang terpancar dari setiap sudut kota ini.
Hari pertamanya di Kota Harapan, Aria memutuskan untuk menjelajahi taman kota yang terkenal dengan keindahannya. Taman yang luas dan hijau itu dipenuhi dengan pepohonan rindang, bangku-bangku kayu, dan air mancur yang menari-nari. Di tengah taman, matanya tertuju pada sebuah bangku kayu yang terletak di bawah pohon beringin tua. Di sana, duduk seorang pria dengan tubuh tegap dan rambut hitam yang sedikit beruban. Ia mengenakan kemeja putih yang bersih dan celana panjang berwarna cokelat.
Ada sesuatu tentang pria itu yang membuat Aria tertarik. Mungkin karena aura misterius yang terpancar dari dirinya, atau mungkin karena tatapan matanya yang dalam dan penuh makna. Aria tidak bisa berhenti memperhatikannya. Ia merasa ada magnet yang menariknya menuju pria itu.
Dengan hati berdebar, Aria mendekati bangku kayu itu. Ia duduk di bangku di seberang pria itu, menjaga jarak yang cukup agar tidak membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, pria itu tidak menoleh. Ia tetap fokus pada buku yang sedang dibacanya, seakan-akan tidak menyadari kehadiran Aria.
"Permisi," sapa Aria dengan suara lembut. "Apakah boleh saya duduk di sini?"
Pria itu akhirnya menoleh. Matanya yang berwarna cokelat gelap menatap Aria dengan intens. Ada sebersit senyum tipis di bibirnya.
"Tentu," jawabnya dengan suara yang dalam dan berat. "Silakan."
"Terima kasih," kata Aria. "Nama saya Aria."
"Dimas," jawab pria itu singkat.
Percakapan mereka terhenti sejenak. Keduanya terdiam, hanya suara gemerisik daun dan kicauan burung yang memecah kesunyian. Aria merasa gugup, tetapi ia juga merasakan ketertarikan yang kuat terhadap Dimas.
"Anda sering duduk di sini?" tanya Aria, berusaha memecah keheningan.
"Ya," jawab Dimas. "Setiap hari."
"Apakah Anda suka membaca?" tanya Aria lagi, menunjuk buku yang sedang dipegang Dimas.
"Ya, saya suka membaca," jawab Dimas. "Terutama buku-buku tentang sejarah dan filsafat."
"Oh, menarik," kata Aria. "Saya juga suka membaca, tapi lebih ke buku-buku fiksi."
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Aria merasa nyaman berbicara dengan Dimas. Ia menemukan bahwa Dimas adalah pria yang cerdas, berwawasan luas, dan memiliki selera humor yang baik.
"Anda fotografer?" tanya Dimas, melihat kamera yang tergantung di leher Aria.
"Ya," jawab Aria. "Saya baru saja pindah ke sini dan ingin menjelajahi kota ini dengan kamera saya."
"Kota ini memiliki banyak tempat menarik," kata Dimas. "Jika Anda ingin, saya bisa menunjukkan beberapa tempat yang indah."
"Benarkah?" tanya Aria, matanya berbinar. "Saya sangat senang jika Anda mau."
"Tentu," jawab Dimas. "Kapan Anda punya waktu?"
"Bagaimana kalau besok pagi?" tanya Aria. "Saya bisa menjemput Anda di taman ini."
"Baiklah," jawab Dimas. "Saya tunggu di sini."
Senyum lebar terukir di wajah Aria. Ia merasa senang dan bersemangat. Pertemuannya dengan Dimas di taman itu terasa begitu istimewa. Ia tidak menyangka akan menemukan seseorang yang begitu menarik di kota kecil ini.
"Sampai jumpa besok," kata Aria.
"Sampai jumpa," jawab Dimas.
Aria beranjak dari bangku dan berjalan pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Dimas lagi besok. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Ia berharap pertemuan ini adalah awal dari sebuah kisah cinta yang indah, sebuah kisah yang akan selamanya terukir di hatinya.
Keesokan harinya tanpa sengaja aria dan dimas ketemu lagi di tempat yang sama waktu mereka berdua ketemu.
"Selamat pagi," sapa Dimas, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Selamat pagi," jawab Aria, jantungnya berdebar kencang. "Siap menjelajah?"
Dimas mengangguk, matanya menyorot semangat. Ia mengajak Aria menyusuri jalanan berbatu yang membelah kota. Rumah-rumah tua dengan arsitektur klasik, toko-toko kecil yang menjual aneka barang unik, dan taman-taman mungil yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni, menjadi pemandangan yang memikat.
Aria, dengan kamera di tangan, tak henti-hentinya mengabadikan keindahan Kota Harapan. Namun, tatapannya sering tertuju pada Dimas, mengamati setiap gerak-geriknya. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran, sebuah misteri yang ingin ia pecahkan.
"Dimas, bolehkah aku bertanya?" tanya Aria, saat mereka berhenti di sebuah kafe kecil yang nyaman.
"Tentu," jawab Dimas, matanya menatap Aria dengan penuh perhatian.
"Kenapa kamu selalu duduk di bangku itu?" tanya Aria, "Seolah-olah kamu sedang menunggu sesuatu."
Dimas terdiam sejenak, tatapannya kosong, seakan-akan terbawa ke masa lalu. "Aku memang menunggu, Aria," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat. "Menunggu seseorang yang mungkin tak akan pernah kembali."
"Seseorang yang penting?" tanya Aria, rasa penasarannya semakin memuncak.
Dimas mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dia adalah segalanya bagiku, Aria. Dia adalah cinta pertamaku, satu-satunya wanita yang pernah kucintai."
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Aria, hatinya tergerak oleh kesedihan yang terpancar dari wajah Dimas.
"Dia pergi," jawab Dimas, suaranya bergetar. "Dia pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dalam kesedihan yang mendalam."
"Kapan itu terjadi?" tanya Aria, ingin mengetahui lebih banyak tentang masa lalu Dimas.
"Lima tahun yang lalu," jawab Dimas, "Saat aku masih muda dan bodoh. Aku menyia-nyiakannya, aku tidak menghargai kehadirannya. Dan sekarang, aku menyesalinya setiap hari."
"Kenapa dia pergi?" tanya Aria, rasa simpati mulai muncul di hatinya.
Dimas terdiam, matanya menatap kosong ke arah langit. "Aku tidak tahu, Aria. Aku tidak pernah tahu alasannya. Mungkin aku terlalu egois, terlalu sibuk mengejar ambisiku, sehingga aku melupakan dia."
"Mungkin dia masih mencintaimu," kata Aria, mencoba menghibur Dimas.
Dimas menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Aria. Aku tidak berani berharap."
Aria merasa iba pada Dimas. Ia memahami rasa sakit yang dirasakan Dimas, kehilangan seseorang yang dicintai. Ia ingin menghibur Dimas, ingin meringankan beban yang dipikulnya.
"Dimas, aku ingin mendengar ceritanya," kata Aria, suaranya lembut. "Ceritakan tentang dia, tentang cinta kalian."
Dimas terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat kenangan indah bersama wanita yang dicintainya, kenangan yang kini hanya tinggal kenangan.
"Dia bernama Maya," kata Dimas, "Wanita dengan senyum yang bisa membuat hari-hariku cerah. Matanya yang berwarna biru langit selalu memancarkan kecerdasan dan kebaikan. Dia adalah inspirasiku, motivasiku untuk terus maju."
Dimas menceritakan kisah cintanya dengan Maya, tentang pertemuan mereka yang tak terduga, tentang masa-masa indah yang mereka lalui bersama, dan tentang perpisahan yang menyakitkan. Aria mendengarkan dengan saksama, hatinya tergerak oleh kisah cinta yang tragis itu.
"Aku tidak akan pernah melupakan Maya," kata Dimas, suaranya bergetar. "Dia akan selalu ada di hatiku, selamanya."
Aria menatap Dimas dengan penuh empati. Ia merasakan kesedihan yang mendalam dalam diri Dimas. Ia ingin menghiburnya, ingin memberinya kekuatan untuk menghadapi masa depan.
"Dimas, kamu tidak sendirian," kata Aria, "Aku ada di sini untukmu."
Dimas tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Aria. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa kamu."
Aria menggenggam tangan Dimas, memberikannya kekuatan dan harapan. Ia tahu bahwa Dimas masih mencintai Maya, dan ia ingin membantunya untuk menemukan kembali kebahagiaan yang hilang.
"Kita akan menemukannya bersama-sama," kata Aria, "Kita akan menemukan Maya."
Dimas menatap Aria dengan penuh harap. Ia merasa ada secercah cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Ia percaya bahwa Aria akan membantunya untuk menemukan Maya, atau setidaknya, untuk menemukan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang.
Besambung...
Alina terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu lagi. Mimpi yang selalu menghantuinya setiap malam
Naya melangkah cepat, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer koridor kantor dengan irama yang familiar. Wajahnya, yang biasanya memancarkan keceriaan, tampak lesu. Matanya, yang biasanya berbinar dengan semangat, kini redup, seolah memendam beban berat.
Maya, dengan rambut cokelat keemasan yang selalu terurai bebas dan mata biru yang berbinar-binar, adalah personifikasi semangat muda. Ia selalu bersemangat dalam menjalani hidup, tak pernah lelah mengejar mimpi-mimpi yang terukir di hatinya. Hari itu, seperti biasa, ia menjelajahi lorong-lorong toko barang bekas di pusat kota, mencari harta karun tersembunyi yang mungkin terlupakan oleh pemiliknya sebelumnya.
Mentari mulai meredup, menorehkan warna jingga dan ungu di cakrawala. Ombak berdesir lembut di bibir pantai, menyapa kaki-kaki telanjang Laras yang menapaki pasir lembut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut asin yang familiar, membangkitkan kenangan masa kecil yang terlupakan. Laras memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar yang terasa begitu menenangkan.
Safira adalah seorang gadis berusia 25 tahun yang tinggal di kota kecil bernama Springville. Ia memiliki wajah yang cantik dengan mata berwarna cokelat yang memikat dan senyum yang ramah. Safira dikenal sebagai sosok yang selalu siap membantu orang lain tanpa pamrih.
Maya, yang kini menjalani kehidupan setelah kehilangan Rama, merasa hampa dan kesepian. Namun, suatu hari, dia menerima sebuah kejutan tak terduga yang mengubah hidupnya. Dia bertemu dengan seseorang yang secara kebetulan memiliki banyak kesamaan dengan Rama, baik dalam penampilan maupun kepribadian.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
WARNING 21+ !!! - Cerita ini di buat dengan berhalu yang menimbulkan adegan bercinta antara pria dan wanita. - Tidak disarankan untuk anak dibawah umur karna isi cerita forn*graphi - Dukung karya ini dengan sumbangsihnya Terimakasih
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Warning! Explicit mature content included Mergokin pacar tidur sama teman sekampus, diusir dari kos, kucing kesayangan dilempar keluar rumah, ditambah hujan deras yang sedang mengguyur kota Pahlawan. Sungguh perpaduan sempurna untuk melatih kesehatan mental! Padahal semua ini hanya karena telat bayar kos sehari aja, malah dia ditendang dari rumah yang sudah diamanahkan untuk ia rawat oleh mendiang pemilik rumah. Ujian berat inilah yang sedang melanda hidup Mariska. Seolah Ujian Akhir Semester tak cukup membuatnya berdebar-debar karena harus pandai mengatur jadwal kuliah di sela kesibukannya bekerja. Namun, kata orang badai selalu datang bersama pelangi. Di tengah sadisnya ujian hidup yang harus Mariska hadapi ternyata takdir malah membawanya menuju tempat kos baru yang lebih modern, bersih, dengan harga sewa murah. Belum lagi jantungnya ikut dibuat berdebar kencang saat tahu pemilik kos ternyata pria muda, lajang, dan rrrr- hottie. Plus satu lagi yang bikin lebih jantungan, saat si Om kos malah ngotot ngajakin Mariska nikah detik ini juga. Kok bisa?! Apa alasannya? Ingin menghindar, tapi tak punya pilihan. Belum lagi saat keduanya semakin dekat malah Mariska jadi lebih sering mendapatan mimpi yang terasa seperti Deja Vu. Tanpa sadar memori gadis ini dipaksa kembali ke masa lalu di mana sebuah tragedi mengerikan menimpa keluarganya. Sanggupkah Mariska bertahan menjadi salah satu penghuni kos yang diisi oleh sekumpulan manusia nyentrik dengan beragam profesi tak terduga? "Mungkin ini cara Tuhan untuk mengajariku agar tak mudah menyerah." Ares tak menyangka bahwa dia akan bertemu kembali dengan cinta pertamanya melalui jalan takdir paling manis meskipun terasa tragis bagi keduanya. Lalu bagaimana dengan Mariska? Kapan ia sadar bahwa Ares adalah cinta pertamanya saat masih bocah dulu? Kisah seru mereka hanya bisa dibaca di Om Kos!
BIJAKLAH DALAM MENCARI BACAAN. CERITA DEWASA!!! Aderaldo menepuk punggung Naara yang sontak membuat wanita itu menoleh cepat, dan dalam hitungan detik pula, Aderaldo mencondongkan badannya dan menempelkan bibirnya ke atas bibir Naara. Naara melotot tanpa bisa mengelak. Pria itu tersenyum disela ciumannya pada bibir Naara. Dua lengan cukup kekar melepas paksa ciuman Aderaldo dan Naara dengan menarik bahu pria itu. Satu pukulan melayang di perut Aderaldo tanpa bisa dicegah, hadiah dari Xion. "Dasar b******k! Beraninya kau mencium Naara!" bentak Xion marah. Aderaldo memutar bola matanya seraya memasukkan kedua tangannya ke kantung celana kain yang ia pakai. "Kau tidak ada hak untuk melarangku. Memangnya kau siapa?" desis Aderaldo. Xion ingin melayangkan tinjunya pada wajah Aderaldo, tapi ditahan oleh pria tampan berkemeja hitam itu. "Jangan memancingku untuk menghancurkanmu," bisik Aderaldo pada Xion dan pria itu melangkah pergi dengan mengedipkan matanya ke arah Naara yang masih diam mematung. Aderaldo bersiul dan melangkah santai meninggalkan kampus tercintanya. "Manis! Aku menyukainya," gumam Aderaldo sambil mengelap bekas ciumannya bersama Naara barusan. (Ikuti setiap part-nya dan kalian akan menemukan jawabannya ❤️)
Terjebak hanya karena sebuah permainan Truth Or Dare rupanya membawa Thea menemukan kenikmatan dalam hubungan ranjang hangat yang panas dan basah. "Sorry, sir. Just a minute, and let me kiss your lips!" Satu ciuman itu berubah menjadi lumatan ganas yang panas. Alvaro rupanya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia membawa Thea untuk masuk ke dalam lingkaran rantai emasnya, merantainya di dalam kenikmatan cinta dan juga hubungan BDSM. "Spare your legs! I wanna cum!" Seketika Thea masuk ke dalam dunia Alvaro yang bukan hanya sebatas pemuas napsu, melainkan istri pura-pura Al. Lantas bagaimana jika hubungan mereka yang hanya pura-pura menumbuhkan rasa cinta yang lebih besar?