bahu hanya menatap lurus ke depan, tanpa ekspresi. Sementara dua lainnya, menatap si perempuan itu dengan pandangan
n itu bisa menyunggin
ya ambil segera, biar semua ur
n. Melirik sekilas amplop putih berlogo Pengadilan Ag
gadilan sebelumnya, sudah saya urus. Dua atau tiga hari l
perempuan i
ala salah dan khilaf Janu selama ini. Say
ua orang di depannya. Tak tahan, dia bangkit dari duduk dan memilih masuk ke kamar. Mengab
pamit,
pak. Mungkin kecewa, marah, kesal dan benci terhadap J
, "Saya pamit. Jaga d
*
i. Besar harapnya pada sang waktu, agar keping sakitnya perlahan lepas satu per satu. Cukup ba
ini ia sekarang. Mengambil satu keputusan besar bernama damai. Butuh tekad kuat, ke
t vers
ikmati setiap meter jarak yang dibentang oleh Sang Pencipta. Menaruh keping demi keping sakit yang dimiliki pada setiap pemberhentian bus yang dia tumpangi. Siapa tahu, kmo
ebagian penumpang sudah terlelap tidur. Hanya dirinya dan sang supir yang masih terjaga-mungkin. Diembu
tadi tergeletak di sandaran kursi, dia ambil. Mengecek sekali lagi pesan terakhir yang dikirim oleh sahabatnya. Membaca
ka
an si perempuan dengan terampil mena
aranya tertawa. "Kota yang
nya menanggapi d
lau sama-sama kota besar, enggak sesumpek Jak
bahu itu malah menepuk pelan bahu suaminya.
aku ser
yum menanggapi. "Iya, aku juga serius.
ang ia bisa. Meneguk dengan kasar air mineral yang selalu ia sediakan di dekatnya. Sudah sejauh
tetes air mata kembali memba
*
aruh baya melemparkan dirinya ke sofa empu
s, Ma. Masa iya
ipi anak kamu. Mama sayang banget sama Sheryl, Nak. Sayang banget. Tapi Mama enggak
lebih dulu memijat pangkal hidungnya. Raut lelahnya jelas terceta
a, ya Ma. In
ar menjadi sosok yang mampu membuatnya kagum. Bukan sekadar pencapaian dalam karir, bukan. Wanita itu tidak terlalu mengharap
g punya masa
adi ikutan susah. Harusny
Diusapnya kepala pria yang sudah d
di. Cari yang lainnya aja, ya, Ma. K
n Mama pusing sama kamu
terkekeh.