Seorang wanita muda yang baru saja bercerai memulai perjalanan ke Paris untuk menemukan kembali dirinya. Di sana, ia bertemu dengan seorang seniman tampan yang mengguncang dunianya. Kisah mereka dipenuhi dengan romansa yang intens, eksplorasi seni, dan penemuan kembali hasrat hidup.
Elena menatap kosong ke luar jendela pesawat, melihat awan-awan yang perlahan terbelah oleh cahaya mentari pagi. Di kepalanya, ingatan tentang perceraian yang baru saja selesai masih segar. Perjalanan emosional yang penuh liku dan kelelahan batin itu telah menguras seluruh energinya. Perceraian dari Daniel, pria yang pernah ia pikir akan menemaninya seumur hidup, meninggalkan ruang hampa dalam dirinya. Namun, ada sesuatu yang lebih besar dari kesedihan-sebuah hasrat untuk berubah, untuk meninggalkan semua kenangan pahit, dan menemukan kembali siapa dirinya.
Paris. Kota yang selalu ia impikan sejak kecil, kini menjadi tempat pelariannya. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk memulai lembaran baru. Elena mengingat saat ia mengemas barang-barangnya, meninggalkan rumah yang pernah ia bagi dengan Daniel, dan memutuskan untuk membeli tiket sekali jalan ke Paris. Kota itu baginya bukan sekadar destinasi wisata; ia melihatnya sebagai simbol kebebasan, tempat di mana ia bisa menjadi diri sendiri tanpa bayang-bayang masa lalu yang selalu menghantui.
Pesawat mulai turun, dan Elena merasa dadanya bergemuruh. Perasaan campur aduk antara gugup dan antusias membuat tangannya berkeringat. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan yang terus memuncak. "Ini bukan sekadar liburan. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru," gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa saat, pesawat mendarat dengan mulus di bandara Charles de Gaulle. Elena melangkah keluar dengan koper kecilnya, dan udara Paris menyambutnya dengan lembut. Meskipun lelah secara fisik dan emosional, ada sesuatu dalam suasana Paris yang segera membangkitkan semangatnya. Jalanan kota yang ramai, arsitektur yang menakjubkan, dan kebisingan kota besar-semuanya terasa baru dan menggetarkan. Ia menatap sekeliling, berusaha menyerap semua yang ada di hadapannya.
Ia menuju apartemen kecil yang telah ia sewa di Montmartre, sebuah kawasan yang terkenal dengan seniman jalanan dan suasana bohemia. Apartemen itu berada di sebuah bangunan tua dengan balkon kecil yang menghadap ke jalanan berbatu. Saat Elena membuka pintu dan masuk, ia langsung merasakan kehangatan tempat itu. Dindingnya dihiasi foto-foto Paris dari masa lampau, dengan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari pagi masuk.
Elena duduk di sofa tua di dekat jendela, menatap keluar sambil menyesap secangkir kopi hangat yang ia buat dari dapur kecil apartemen itu. Dari balkon, ia bisa melihat hiruk-pikuk kota di bawahnya-orang-orang yang berjalan dengan ritme kehidupan mereka, tak peduli siapa yang datang atau pergi.
Namun, di tengah rasa kagum terhadap kota baru ini, Elena juga merasakan ketakutan. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar sendirian. Tidak ada Daniel, tidak ada teman-teman dekat, tidak ada keluarga di dekatnya. Ini adalah momen di mana ia harus menghadapi ketakutannya sendiri, menemukan kekuatan dari dalam dirinya yang selama ini terpendam.
Tapi, ia tahu bahwa inilah yang ia butuhkan-jeda dari semua yang pernah ia kenal, kesempatan untuk menemukan kembali jati dirinya. "Aku akan menemukan diriku di sini," bisik Elena, seakan meyakinkan dirinya sendiri.
Malam pertama di Paris dihabiskannya dengan merenung, menuliskan pikiran-pikiran dalam jurnal yang selalu ia bawa. Kata demi kata mengalir dengan cepat, seolah-olah ia sedang berdialog dengan dirinya sendiri. Ia menulis tentang rasa sakit, tentang harapan, tentang impian yang masih ingin ia kejar. Dan meskipun jalannya masih panjang, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Elena merasakan sebersit harapan di dadanya.
Paris, dengan segala keindahan dan kerumitannya, telah mulai membuka pintu baru dalam hidup Elena. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjangnya-petualangan yang akan mengubahnya, membawa dia ke tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Elena berbaring di atas sofa usang apartemennya, memandangi langit-langit yang tinggi dengan hiasan cetakan arsitektur klasik. Hening. Hanya suara samar dari lalu lintas Paris di kejauhan yang menemaninya. Tiba-tiba, ponselnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama Claire, sahabatnya dari kampung halaman, muncul di layar.
"Elena? Kamu sudah di Paris?" suara Claire terdengar ceria, meskipun sedikit serak karena jarak waktu yang berbeda.
"Iya, baru tiba beberapa jam yang lalu," jawab Elena sambil tersenyum, meski perasaan campur aduk masih mendominasi. "Aku masih berusaha membiasakan diri dengan... semuanya."
Claire tertawa kecil. "Aku bisa bayangkan. Paris itu besar, dan kamu sendirian di sana. Tapi ini yang kamu inginkan, kan?"
Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya... aku rasa begitu. Hanya saja, semuanya terasa berbeda dari apa yang kubayangkan. Mungkin aku terlalu idealis tentang kota ini."
"Hei, jangan keras pada dirimu sendiri. Kamu baru sampai beberapa jam, tentu saja butuh waktu. Lagipula, Paris kan punya cara unik untuk memperkenalkan dirinya pada setiap orang. Mungkin besok pagi kamu akan merasa lebih baik."
Elena tersenyum tipis, meskipun Claire tak bisa melihatnya. "Mungkin. Aku cuma... merasa kosong. Aku ingin mulai lagi, tapi rasanya seperti aku sedang berlari tanpa arah. Daniel, perceraian ini... semuanya begitu sulit."
"Perceraian memang bukan hal yang mudah, El. Tapi ingat, kamu ke Paris bukan hanya untuk lari. Kamu ke sana untuk menemukan dirimu sendiri lagi. Untuk memulai bab baru dalam hidupmu," jawab Claire dengan nada lembut tapi tegas.
Elena terdiam sejenak, meresapi kata-kata Claire. "Ya, kau benar. Ini hanya... Aku pikir aku akan merasa lebih baik begitu tiba di sini, tapi ternyata... perasaan itu masih ada."
"Kamu kuat, El. Ini butuh waktu, tapi kamu akan baik-baik saja. Coba mulai dengan hal-hal kecil. Besok, pergi ke kafe yang ada di sekitar apartemenmu, lihat-lihat tempat baru. Paris itu kota yang penuh inspirasi."
"Aku akan mencoba," jawab Elena dengan senyum kecil di wajahnya, merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Claire.
Setelah mengakhiri panggilan, Elena melemparkan ponselnya ke samping dan menatap ke luar jendela. Langit Paris mulai berwarna jingga, tanda matahari terbenam. Ia berdiri, berjalan ke balkon kecil yang hanya cukup untuk dua orang berdiri berdampingan. Udara sore terasa sejuk, dan dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur. Orang-orang berjalan dengan cepat di jalanan di bawahnya, sesekali terdengar suara tawa atau klakson kendaraan.
Saat Elena menatap jauh ke depan, ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku di sini sekarang. Ini adalah hidup baruku. Entah bagaimana, aku akan menemukan jalanku."
Setelah beberapa saat, rasa lapar mulai menggoda perutnya. Elena memutuskan untuk keluar, mencari makan malam. Ia mengganti pakaiannya dengan mantel cokelat panjang, mengambil tas kecilnya, dan turun ke jalan. Begitu melangkah keluar dari apartemennya, suasana Paris malam hari langsung menyergapnya-lampu-lampu kota mulai menyala, aroma roti panggang dari toko roti lokal memenuhi udara, dan orang-orang berlalu lalang dengan ritme mereka sendiri.
Ketika ia sedang berjalan menyusuri jalanan kecil Montmartre, sebuah kafe kecil dengan lampu kuning temaram menarik perhatiannya. Jendela besar kafe itu memamerkan suasana hangat di dalam, dengan beberapa orang yang duduk membaca atau berbincang sambil menyeruput kopi. Elena memutuskan untuk masuk.
Di dalam, suara denting sendok dan cangkir kopi, serta obrolan santai, membuat suasana terasa nyaman. Ia memesan secangkir teh herbal dan sepotong croissant dari pelayan yang ramah, kemudian memilih duduk di sudut ruangan dekat jendela.
Saat ia menunggu pesanannya, pintu kafe terbuka, dan seorang pria tinggi dengan rambut gelap yang berantakan masuk. Dia mengenakan mantel panjang dengan selendang di lehernya, terlihat seperti salah satu seniman yang sering digambarkan di film-film. Pria itu melirik sekeliling, kemudian berjalan ke arah meja di sebelah Elena. Tanpa sengaja, ia menabrak kursi Elena dan teh yang baru saja dihidangkan tumpah.
"Oh, maaf! Saya tidak sengaja!" pria itu berkata dengan nada penuh penyesalan, cepat-cepat mengeluarkan sapu tangan dari saku mantelnya dan mencoba membersihkan teh yang tumpah di meja.
Elena terkejut, tetapi senyum kecil muncul di bibirnya. "Tidak apa-apa, sungguh. Aku bisa memesan yang baru."
Pria itu menatapnya dengan wajah bersalah. "Tidak, biarkan aku yang menggantinya. Aku benar-benar ceroboh." Dengan cepat ia melambai ke pelayan, meminta pesanan baru untuk Elena.
Setelah beberapa saat, pria itu duduk di meja sebelah, dan suasana hening sejenak. Namun, pria itu menoleh ke arah Elena dengan senyuman ramah. "Kamu orang asing di sini, ya?"
Elena sedikit terkejut dengan pertanyaannya, tetapi kemudian mengangguk. "Ya, baru datang beberapa jam yang lalu."
"Ah, aku bisa menebaknya. Ada sesuatu dari caramu memandang kota ini. Paris sering memberikan kesan pertama yang... campur aduk. Namaku Julien, by the way."
Elena tersenyum kecil dan memperkenalkan dirinya. "Aku Elena."
Mereka berdua saling bertukar senyum, dan tanpa disadari, percakapan kecil tentang Paris dan seni mulai mengalir di antara mereka, menandai awal dari petualangan yang lebih besar yang tak pernah Elena duga.
Bersambung...
Seorang istri yang curiga terhadap suaminya mulai mencari tahu tentang hubungan rahasia yang suaminya jalani. Perselingkuhan ini mengarah pada pengkhianatan yang lebih dalam, memaksanya mengambil langkah drastis untuk melindungi dirinya sendiri.
Seorang pria yang merasa kehilangan gairah dalam pernikahannya menemukan kembali cinta lama yang tak pernah benar-benar pudar. Namun, di balik tatapan penuh cinta itu, ia juga menemukan rahasia yang mengancam kehidupannya yang nyaman.
Seorang wanita terjebak dalam pernikahan tanpa cinta memutuskan untuk mencari kebahagiaan dari masa lalunya. Namun, ketika perselingkuhannya terungkap, ia harus menghadapi pilihan untuk memperbaiki atau meninggalkan hidupnya yang sudah dibangun.
Seorang pria yang merasa terjebak dalam rutinitas rumah tangganya mulai menjalin hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini membawanya ke dalam dunia yang penuh gairah, namun juga rasa bersalah yang semakin menghancurkan dirinya.
Seorang istri yang selalu setia tiba-tiba menemukan bukti perselingkuhan suaminya. Ketika ia berusaha mengungkap kebenaran, ia justru menemukan lebih banyak kebohongan yang suaminya simpan selama ini.
Seorang pria mulai menerima surat-surat dari dirinya sendiri yang tertanggal 10 tahun di masa depan, memperingatkannya tentang kejahatan yang belum terjadi. Dia harus menggunakan informasi tersebut untuk mencegah pembunuhan, sambil mencari tahu siapa sebenarnya yang mengirim surat-surat itu.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
"Sekarang aku sudah memikirkannya. Dia telah memperlakukanku sebagai sampah, dan sekarang aku juga akan memperlakukannya sebagai tumpukan kotoran." "Setidaknya sampah bisa didaur ulang. Tapi kotoran tidak bisa didaur ulang." "Kamu berani mengatakan bahwa aku Kotoran?" Tiba-tiba, suara dingin melayang. Begitu suara itu turun, suhu di ruang makan turun beberapa derajat. "Tuan Muda!" Kimmy terkejut. Ada sedikit kemarahan di dalamnya. "Adeline, kamu semakin berani." Devon mencubit dagunya dan menatapnya dengan mata terbakar. "Sebaiknya kamu tidak memainkan trik apa pun."
Andres dikenal sebagai orang yang tidak berperasaan dan kejam sampai dia bertemu Corinna, wanita yang satu tindakan heroiknya mencairkan hatinya yang dingin. Karena tipu muslihat ayah dan ibu tirinya, Corinna hampir kehilangan nyawanya. Untungnya, nasib campur tangan ketika dia menyelamatkan Andres, pewaris keluarga yang paling berpengaruh di Kota Driyver. Ketika insiden itu mendorong mereka untuk bekerja sama, bantuan timbal balik mereka dengan cepat berkembang menjadi romansa yang tak terduga, membuat seluruh kota tidak percaya. Bagaimana mungkin bujangan yang terkenal menyendiri itu berubah menjadi pria yang dilanda cinta ini?
BERISI ADEGAN HOT++ Seorang duda sekaligus seorang guru, demi menyalurkan hasratnya pak Bowo merayu murid-muridnya yang cantik dan menurutnya menggoda, untuk bisa menjadi budak seksual. Jangan lama-lama lagi. BACA SAMPAI SELESAI!!
Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.