mil
ngucapkan doa. Ternyata semua itu hanya kedok belaka. Malamnya Sinta mengeluh sakit perut, wajahnya berubah pucat dan tak lama ia menghembuskan nafas terakhir
mbara. Tak akan lekang dimakan usia. Itulah mengapa aku begitu gencar untuk menolongmu
a harus segera kita hentikan!"
, nanti malam kita laksanakan
*
sedikit was-was aku melangkah mengendap-endap menuju rumah Arini,
in semilir dingin menusuk hingga ke tulang. Kilatan cahaya di langit menambah suasan
datang dengan kepala dan ususnya. Aku masih sangat trauma melihat
Seperti tak ada aktifitas di sana. Ke
ulihat Arini sedang tertidur pulas. Tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Lam
dian berdiri di belakang pintu dan menghadap ke arahku. Beruntung sepertinya ia tak
lanya kemudian memutar dan bergerak ke kiri dan ke kanan. Ku
Kretek!
rah seperti darah, ia mengerang. Tubu
Wuzz
jeroannya. Di dekat hatinya nampak sinar sep
ala kepala Arini terbang melesat di atas kepalaku. Jantungku ras
langit malam. Ia terbang tinggi entah kemana. Tubuhny
kepala itu di depan mataku. Namun, sesuai pe
amar Arini. Perlahan namun pasti, jendela itu terbuka tanpa
i pintu. Kuperhatikan tubuh itu dengan seksama. Amat mengerikan. Tubuh
arik pelan-pelan agar ketika j
Bru
nimbulkan suara yang lumayan kuat. Darahku
ap-dra
amarku. Tak salah lagi. Ini pasti si Ibu. Terd
sampingku. Duduk diam dan terpaku. Sengaja aku membuka
Brak
hat dengan marah, seperti tau ada yang tidak beres dengan anaknya. Matan
iap sudut dan mengendus setiap benda. Ku perh
. Aku meringkuk di balik baju-baju Arini. Sempat ku lihat tatap
a hampir saja menyentuh rambutku. Beruntung
uh Arini yang diam terpaku. Ia menengadahkan tangan seperti seseorang yang
epalanya berputar dan bergerak ke kanan dan ke kiri
retek!
hhhh ...
sama seperti desisan yang kudengar dari
uzzz
anya. Matanya merah menyorot keluar kamar seperti mencari mangsa. Li
g. Tubuhku bergetar hebat melihat kengerian yang semakin sering kulihat. Ia pun melesat
Krek
lillah," ucapku merasa lega terbebas dari man
uhnya yang langsing. Ku seret hingga menuju bawah ranjang. Seperti titah Ibu pemilik warung , aku ha
u balik kan tubuh A
Brakk
da itu kemudian menggelinding dan jatuh ke
hingga tertelungkup. Aku kembali berbalik
Wuzz
uncul. Membuat suasana semakin mencekam untukku. Mataku mulai mengedar ke segala
menyeret kaki dan menahan ludah karena ketakutan yang luar biasa. Baru
gan sentuh