mil
"Isteriku
pa
tna Dewi
i setiap jalan di Kota yang baru saja ku datangi. Ya, kota
al banyak cerita misteri di baliknya. Menurutku Kota ini tak seseram yang banyak orang
cantik dan mempesona, memanjakan mata para pria d
dengan tersenyum manis ke setiap wanita yang berpapasan denganku. Ah, mereka rata-rata
*
ng terbilang elit dan bergaji lumayan besar. Dalam jangka waktu beberapa bulan saja, mobil sudah terp
baru saja magang di Kantorku. Wajahnya bukan hanya cantik, putih, bersih dan bersinar, tapi ketika berpapasan den
ngan tubuh yang lumayan tinggi itu pun selalu membalas tatapa
. Walaupun antara aku dan Arini belum ada ikatan apapun, dan akupun belu
menyambut kedatanganku. Begitupun kedua orang tuanya yang begitu ramah kepadaku. Yang aku heran, wajah Ibu Arini
ia sepuluh tahun. Bocah laki-laki itu p
esan asri dengan pepohonan rindang di sisi kanan dan kiri membuatku
mati suasana sore di sekitar tempat tinggalnya. Di pinggie sawah, ketika matahari mulai terbenam
tangan yang sedikit gemetar ketika kusentuh. Aku tak mampu menyembunyikan rasa bahagiaku. Dan dengan se
engan syarat ia ingin tetap tinggal dengan kedua orang tuanya. Ia ingin berbakti dan merawat kedua or
*
cantik menggunakan pakaian adat kebanggaannya. Keluargaku pun terpe
tamu pulang, keluargaku pun ikut
ah Arini. Aku heran ketika keluarga masih berkumpul dan mengobrol dengan
sambil memukul kentongan. Mereka berteriak menyebut kata kuy
Bu
rini seperti tidak mendengar apa yang barusan ku dengar. Aku berusaha ban
ang! biasa itu di daer
heran. Ya, aku memang tidak tau apa
suka mencari buah, kalau di daerah A
r ...," jawabku deng
dah sepi ni," ujar Arini
g Arini menuju kamar pengantin. Melewati kamar Ibu Arini yang terbu
kapan Ibu berada
u segera hilang berganti dengan kebahagiaan bisa
hitam panjang terurai , kusibak rambut nya dan kukecup mesra lehernya. Mataku terpe
tanyaku hati-hati takut m
ng?" Arini me
enunjuk bekas luka di lehernya.
il, Bang, cukup berbekas karena lumayan dalam lukanya. Ber
yang tertunda!" ajakku dengan mendekatkan wajahku ke wajahnya yang bersemu me
*
tu sigap menyiapkan keperluanku dan dirinya. Deng
Kata- kata yang sempat kudengar dari mulut Arini ketika tak sengaja
ka sangat ceria dan kegirangan. Seperti melihat makanan enak. Hatiku jadi deg-deg ser
erlalu begitu saja. Arini sempat menutup mulut
ngan senyuman lebar di wajahnya. Ia membuka pintu mobil dan wajah cantikny
anget, Dek," uc
gia nikah sama Abang," ucapnya manja
u semakin merasa bersalah berpikir yan
lan. Desa tempat Arini tinggal memang masih sangat sayup dan rumah masih sangat jarang. Tiba-tiba timbul perasaan takut. Sebelum pergi keluargaku sempat berpamitan un
*
ah sangat lelah. Ku lihat istriku sudah tertidur di sam
yengat tulang. Tidak ada lampu penerangan. Cahaya hanya dari lampu mobi
emakin lama semakin nampak jelas sekumpulan orang dari jalan setapak tak jauh dari mobil. Orang-orang itu membawa obor dan m
uyang. Sebenarny
h satu dari mereka mendekat dan mengetuk kaca mobilku, memb
Tok! T
mobilku . Pria paruh baya itu
ia mengucapkan itu, ia pun berpamitan dan berlalu bersama rombongannya
menatapku sayu. Kasihan ia,
?" Ia nampak sangat heran melihat mo
ya perjalanan kita, kasihan kamu pasti sangat l
upun mobil kupacu cepat, tapi entah mengapa rasa
ampu mobil menerpa bayangan hitam yang melesat cepat. Nampak seperti kepala dengan rambut terurai panjang di la
Cki
tanpa sadar. Tanganku mengelu
, Bang?" ia me
perjalanan yang sebentar lagi sampai. Lelah, letih dan takut menyergap diriku
cekam di malam hari. Kulihat ponsel, baru jam sembilan malam. Namun, siswa nya di desa ini sangat
ggandeng Arini. Tak nampak ibu dan ayah serta adik Arini. Mung
ju peraduan . Lelah dan letih yang menyerang sedari tadi memaksaku
*
ka mataku pelan, rasanya sangat mendesak dan tidak bisa ditahan lagi. Tanganku bergrilya me
harap Arini ada di kamarku . Namu
nuju toilet yang letaknya di luar rumah. Dingin menyergap ketika ku
ambu