tel Dharma Roya
an gelas-gelas kristal setengah kosong yang belum dibereskan. Namun tidak semua tamu pulang. Sebagian ibu-ibu te
suasana berubah. Dunia di bawah terasa seperti panggung yang baru saja ditinggalkan, sementara di dalam lift, aroma parfum cendan
ga kamar super privat, masing-masing sudah dibooking dengan
rak beraksen biru laut dan emas, dengan pencahayaan temaram yang dibuat seperti matahari senja yang tidak pernah padam. Udara hangat dan l
mundur, senyumnya seperti rahas
si lanjutan. Ini hadiah selebrasi, buk
yang masih kencang meski usia tak lagi muda. Ia duduk di s
dua sentimeter ke atas, ya Siska. Kalau bisa yang a
k menyamping di sofa, memainkan jari kakinya di atas karpet bulu sepe
am, tapi tahan banting. Kalau bisa... du
rti gelembung sampanye yan
ikasi itu tidak ada di App Store, tidak bisa ditemukan di Google. Akses hanya lewat jaringan tertutup. Begitu terbuka, deretan nama dan foto muncul-seperti kata
sehatan, stamina, dan loyalitas. Mereka sudah di-brief, tahu
i di balik tiap katanya. Tablet di tangannya menampilkan barisan wajah yang siap
ang ramping berhiaskan berlian kuning sebesar kacang almond. Kilau batu itu memantul di bawah pencahayaan temar
rasanya kayak ulang tahun k
masih bermain di atas permukaan karpet bulu. Ia tak segera bicara, hanya tertawa kecil sebel
i dada. Tapi... ya, k
rtahan. Tawa yang lahir dari rasa bersalah yang terlalu nikmat untuk ditolak. Tawa p
t, Lantai 29
rlahan. Mereka mengenakan jubah satin hitam tipis yang hanya diikat longgar di pinggang. Saat mereka berjalan, kainnya bergerak m
ukan elite yang telah dilatih bukan untuk perang, tetapi untuk pengabdian yang jauh le
sebahu dan mata abu-abu pucat, memancarkan aura mahal dan santai, senyumannya terasa seperti parfum oud yang mewah-tenang, tapi menguasai. Di sampingnya, seorang mahasiswa teater dengan wajah bersih dan senyum malu-malu tampak seperti bunga segar di antara anggur tua-
dengan postur tinggi dan simetris tampak seperti dewa pemuja cermin; kulitnya mulus dan sorot matanya tajam, terbiasa disembah oleh kamera. Pemain basket profesional hadir dengan kulit mengilap, senyum hangat, dan tubuh luar biasa propo
Di sisi lain, hadir pula musisi underground dengan rambut ikal panjang, mata gelap, kuku dicat hitam, dan suara berat; ia tampak seperti puisi yang hanya bisa dibaca dalam cahaya lilin. Terakhir, seorang bartend
dalah koleksi. Dan malam itu, para
e Bu Siska, suaranya lebih mi
dua sekaligus,
lan punggung Bu Heni. "Tentu, darling. Kit
. Ia melirik dari atas ke bawah, lalu
kulit tanned, kumis tipis... kelihatan seperti
alu berdiri lebih tegap. Ta
nya Eddy. Ia menariknya pelan ke samping, lal
muanya selesai. Aku cuma minta
n jawabannya seperti mant
minyak lavender yang Ibu
ti lelang senyap. Tapi semua tahu, dalam ruangan ini, bukan tubuh yang dijual-melainkan kuasa atas f
Cara ia memandang. Cara jubahnya sedikit terbuka di sisi dada, memperlihatkan tekstur kulit, ker
k gelas kristal berisi white sangria, ia membaca semuanya-tatapan ib
ru saja