/0/23912/coverbig.jpg?v=1efd8159f03502b1b7fd6269b3c5d87c)
21+ Bu Siska, istri seorang Dirjen, hidup di balik tirai gemerlap kekuasaan dan kehormatan. Namun di balik senyum anggunnya, tersembunyi kehidupan liar yang tak pernah diketahui publik. Ia berselingkuh dengan pelatih gym pribadinya, Raka, membagi ranjang dengan ajudan muda suaminya, Fadly dan Heri, bahkan menjalin hubungan terlarang dengan sahabat anaknya sendiri, Calvin. Di tengah pesta rahasia, bisnis terselubung, dan politik kamar hotel yang digerakkan oleh para ibu pejabat, Bu Siska memegang kendali atas permainan yang membaurkan kekuasaan, tubuh, dan strategi. Sementara itu, Pak Budi, sang suami, tampak tenang di puncak jabatan, padahal dialah dalang dari segalanya. Apa yang terjadi ketika selimut kebohongan mulai terbuka? Ketika ajudan saling membongkar, anak mengintip ibunya sendiri, dan masa lalu menuntut balas? Di dunia para wanita dalam tirai, cinta hanyalah alat, dan kesetiaan hanya untuk mereka yang mampu bertahan di balik skandal.
Ballroom Privat, Lantai 15 – Hotel Dharma Royale
Lampu kristal berkilau seperti permata yang menggantung di langit-langit tinggi ballroom, memantulkan cahaya lembut ke dinding-dinding marmer berwarna champagne. Ballroom itu dirancang bukan untuk keramaian vulgar, melainkan untuk eksklusivitas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang hidup dalam lapisan tipis antara kekuasaan dan kenikmatan tersembunyi.
Di tengah ruangan, seorang wanita berdiri anggun. Tubuhnya tegak seperti lukisan Renaisans dalam balutan gaun navy off-shoulder rancangan Elie Saab yang jatuh pas di bahu dan membentuk lekuk tubuh bak pahatan. Kulitnya putih mulus, dipoles sempurna dengan foundation ringan beraroma mawar. Bu Siska - 45 tahun, cantik, tinggi, dan dikenal sebagai istri dari Pak Budi, pejabat yang baru saja diangkat sebagai Dirjen. Tapi malam ini, gelar itu terasa sekunder. Malam ini, dia adalah pusat orbit sosial, sang dewi selebrasi.
Di ujung ballroom, meja panjang dibalut satin putih gading menampilkan jamuan kelas dunia: foie gras di atas brioche hangat, tiram segar dengan perasan lemon Amalfi, kaviar Beluga di atas mentega truffle, mini wagyu sliders dengan saus chimichurri, serta menara macarons berwarna pastel. Para pelayan dalam seragam hitam-putih berdiri diam, hanya bergerak saat mata salah satu tamu memanggil.
Lalu pintu lift terbuka. Aroma bunga mawar tua dan vanila lembut mendahului langkah wanita elegan berselendang bulu rubah.
Bu Livia. Istri Wakil Menteri. Usianya 50 tahun, tapi kulitnya tetap kencang dan terawat dengan bantuan klinik estetika langganan para istri menteri. Gaunnya hitam berpotongan A-line dengan leher tinggi, tapi berbelahan paha yang hampir menyentuh langit. Sepatu Louboutin merah darah mengkilap, dan di tangannya, segelas sampanye rose dari Bollinger sudah menanti.
Bu Livia (senyum miring): "Aduh, Siska sayang... akhirnya ya, dari istri Eselon II ke Eselon I. Aura kekuasaanmu makin seksi. Kayak anggur Burgundy, makin tua makin bahaya."
Tak lama, terdengar suara langkah cepat namun ringan.
Bu Heni muncul di balik pilar. Istri Dirjen di Kementrian yang sama, berusia 46 tahun. Kulit sawo matang eksotis, wajah oval dengan senyum licik yang selalu menggoda. Gaunnya penuh payet emas, berkedip setiap kali dia melangkah, dan belahan lehernya rendah - sangat rendah, seolah mengundang siapa saja untuk menebak bentuk sesungguhnya.
Bu Heni (menyenggol Bu Siska): "Lihat nih, Siska. Makin bersinar. Makin menggoda. Pantesan Raka makin betah ya?
Bu Siska hanya tertawa pelan, tawanya dalam seperti madu yang menetes lambat. Tak ada penyangkalan, hanya tatapan yang tidak menyangkal kebenaran.
Raka. 22 tahun. Pelatih privat gym. Kulit coklat, tubuh berotot, dan sorot mata yang tak tahu malu. Dia melatih Bu Sika dua kali seminggu - membawa dumbbell dan aroma testosteron, tapi yang dibentuk bukan hanya otot.
Bu Livia (mengangkat gelas): "Aku ganti pelatih gym minggu lalu. Yang lama kayak... kurang greget. Sekarang ambil mahasiswa hukum. Skripsi-nya tentang kriminalitas, jadi dia cukup paham kapan harus diam."
Bu Heni (ikut tertawa): "Anak SMA juga ada yang berbakat, asal sabar... Harus dibimbing. Kayak bunga, jangan langsung dipetik. Dikasih air dulu... biar mekar pelan-pelan."
Tawa para wanita menggelitik ruang, seperti aroma parfum yang menyusup ke balik kerah dan menyentuh kulit.
Satu per satu wanita masuk ke ruangan. Istri para pejabat, pengusaha, bahkan janda pensiunan jenderal yang masih tajir dan haus kuasa. Mereka mengenakan gaun-gaun dari label Paris, mengenakan berlian sebesar kelereng, dan menyembunyikan rasa lapar di balik senyum manis.
Ada jamuan rahasia di balik jamuan resmi. Obrolan mereka bukan tentang tender atau rapat kabinet, melainkan siapa yang sedang "dipelihara", siapa yang sedang "dilatih", dan siapa yang diam-diam menjadi topik arisan berikutnya.
Bu Livia (berbisik tajam): "Eh, kalian udah lihat ajudan baru? Yang nemenin Pak Wamen ke Kalimantan minggu lalu?"
Bu Heni (memutar mata): "Yang tinggi gelap itu? Kulitnya kayak kopi robusta. Tapi pahanya... aduh, kayak suka squat. Tebal, kencang. Bisa dihantam hujan badai pun tetap berdiri."
Bu Livia (melirik Bu Siska): "Siska, kamu yang paling update. Apa koleksi terbarumu minggu ini?"
Bu Siska tersenyum tipis. Ia mengambil satu potongan tiram, memeras lemon, lalu menyuapkannya ke bibir merah hati. Tatapannya menusuk.
Bu Siska (lembut): "James. 23 tahun. Kuliah di kampus seni. Ada tattoo kecil di pinggul. Gambar ranting sakura. Katanya, stamina-nya bisa dua jam tanpa jeda. Tangannya kuat, tapi tahu cara menyentuh tanpa menyakiti. Pelan, dalam, dan... konsisten."
Bu Heni (membelalak nakal): "James? Ya ampun, itu yang pernah nyangkut di arisan Kemang? Temenku sempat coba. Katanya, sekali aja nggak cukup. Minta di-booking seminggu langsung."
Bu Livia (sambil menyentuh lehernya dengan punggung tangan): "Ah, suami kita itu... cukup tahu kalau kita bahagia di rumah. Sisanya? Kita yang atur sendiri."
Jam berdentang pelan di pojok ballroom - sebuah jam antik dari Prancis, warisan keluarga salah satu pengusaha properti. Angka romawinya berkilau keemasan. Waktu seolah membeku di tempat ini, karena malam seperti ini tidak hidup di dalam logika, tapi dalam bisikan dan rahasia.
Pelayan datang membawa piring baru - carpaccio scallop dengan saus yuzu, disajikan di atas piring kaca dingin. Lalu datang minuman manis: dessert wine dari Prancis selatan, dikombinasikan dengan mousse cokelat Valrhona dan buah beri hitam.
Seorang wanita muda datang - bukan istri pejabat, tapi pengusaha parfum niche. Namanya Mia. Tubuh mungil, gaun hijau toska satin dengan punggung terbuka. Ia menyapa Bu Siska sambil mencium udara di dekat pipinya.
Mia: "Bu, congratulations... saya dapat kabar dari seseorang, suami ibu akan dapat akses langsung ke jaringan baru itu ya? Yang Asia–Afrika?"
Bu Siska (senyum tanpa menjawab): "Di dunia ini, yang penting bukan siapa yang tahu... tapi siapa yang bisa membuat orang lain diam."
Dan tawa kembali mengalir.
Bu Siska mengangkat gelas anggurnya, menatap dua tamu di depannya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri.
Bu Siska: "Terima kasih sudah datang. Ini malam yang penting buat saya."
Bu Livia: "Selamat ya, Siska. Naiknya Pak Budi bukan hal kecil. Banyak yang iri sekarang."
Bu Heni: "Bukan cuma iri. Ada yang merasa terancam. Kamu tahu sendiri, posisi Dirjen bukan jabatan biasa."
Bu Siska: "Saya siap. Sudah cukup lama saya menunggu momen seperti ini."
Seorang pelayan datang, menuangkan anggur. Mereka diam sejenak, menikmati suasana.
Bu Livia: "Dulu, waktu suami saya naik jadi Wamen, saya juga seperti kamu. Semua orang mulai memandang berbeda. Tapi itu baru awal."
Bu Siska: "Saya sadar. Justru itu sebabnya saya lebih hati-hati sekarang."
Bu Heni: "Kamu cukup pintar untuk tahu siapa teman, siapa lawan. Tapi ingat, kadang teman juga bisa berubah."
Bu Siska: "Saya tidak lupa. Dunia ini kecil. Semua orang saling mengamati."
Bu Livia: "Heni kemarin sempat cerita ke saya, katanya kamu cepat menyesuaikan diri. Banyak yang belum lama di lingkaran ini, tapi sudah kelihatan ambisinya."
Bu Siska: "Saya tidak terburu-buru. Saya cuma main sesuai aturan."
Pelayan datang lagi, menawarkan makanan ringan. Mereka mengambil tanpa bicara, sejenak fokus pada piring masing-masing.
Bu Heni: "Kamu sekarang pusat perhatian, Siska. Tapi perhatian itu bisa berubah jadi tekanan. Kamu siap?"
Bu Siska: "Selama saya tidak keluar jalur, tidak ada yang perlu saya khawatirkan."
Bu Livia: "Kamu sudah tahu cara bicara yang tepat. Itu penting. Banyak istri pejabat gagal karena terlalu sering salah omong."
Bu Siska: "Saya belajar dari orang-orang seperti kalian."
Bu Heni: "Jangan terlalu percaya siapa pun. Bahkan pada orang terdekat."
Bu Siska: "Saya sudah melewati hal-hal yang membuat saya mengerti siapa yang bisa saya percaya."
Pelayan kembali mengganti bunga di tengah meja. Bu Siska memperhatikan bunga itu, lalu bicara pelan.
Bu Siska: "Banyak hal di dunia ini cuma untuk dilihat, bukan untuk terlalu lama dipegang."
Bu Livia: "Itu pelajaran yang mahal. Tapi kalau kamu sudah tahu, artinya kamu memang sudah sampai di tahap berikutnya."
Bu Heni: "Kamu pintar, Siska. Tapi jangan cuma bergantung pada kecantikan. Kekuatanmu ada di cara kamu membaca situasi."
Bu Siska: "Terima kasih. Saya tidak akan sia-siakan kepercayaan ini."
Jam berdentang lagi. Sudah hampir tengah malam. Ruangan mulai sepi, tapi mereka bertiga masih duduk di meja sudut itu, tenang.
Bu Livia: "Besok ada pertemuan istri pejabat di Cikini. Kamu datang?"
Bu Siska: "Kalau tidak ada hal mendesak, saya hadir."
Bu Heni: "Bagus. Di sana kamu bisa lihat siapa saja yang sedang 'bergerak'. Jangan sampai kamu cuma jadi penonton."
Bu Siska: "Saya tidak pernah niat jadi penonton."
Mereka tersenyum tipis. Tidak ada tawa, tidak ada basa-basi. Hanya saling mengukur dan saling menghormati. Malam itu bukan sekadar perayaan jabatan - tapi peneguhan posisi dalam jaringan kekuasaan yang lebih dalam.
Warning !! Cerita Dewasa 21+.. Akan banyak hal tak terduga yang membuatmu hanyut dalam suasana di dalam cerita cerita ini. Bersiaplah untuk mendapatkan fantasi yang luar biasa..
Cerita ini hanya fiksi belaka. Karanga author Semata. Dan yang paling penting, BUKAN UNTUK ANAK2. HANYA UNTUK DEWASA. Cinta memang tak pandang tempat. Itulah yang sedang Clara rasakan. Ia jatuh cinta dengan ayah tirinya sendiri bernama Mark. Mark adalah bule yang ibunya kenal saat ibunya sedang dinas ke Amerika. Dan sekarang, ia justru ingin merebut Mark dari ibunya. Gila? Tentu saja. Anak mana yang mau merebut suami ibunya sendiri. Tapi itulah yang sekarang ia lakukan. Seperti gayung bersambut, Niat Clara yang ingin mendekati Mark diterima baik oleh pria tersebut, apalagi Clara juga bisa memuaskan urusan ranjang Mark. Akankah Clara berhasil menjadikan Mark kekasihnya? Atau lebih dari itu?
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?