n
ua ekspektasiku tentang pria dan semakin kami dekat, semakin aku yaki
, dan sensasi aneh menyenangkan yang menggetarkan perutku. Bagaimana aku bisa lari darinya? Mengapa
ius sepenuhnya dan rasanya seperti baru saja mengucap
erasa menusuk-nusuk dan membakar kulitku. Aku hampir merosot ke lantai
ikan tanda asing itu muncul seperti jejak api yang merambat m
engan simbol yang ada di leher Xaverius. Setelah rasa sakitnya per
ena terkejut, dia mengklaimku. Aku tidak pern
t mata kakiku. "Apa masih nyeri? Biasanya ini
kitnya berangsu
ndangku. Dia pasti telah melewati kehidupan yang begitu sulit sebagai
menceritakannya padamu nanti." Xaverius sadar
aku meny
a ke wajahnya, dan membiarkan jariku menyentuh alis dan kelopak matanya. S
takjub. Aku ingin menyentuhnya lebih banyak. Melihat segenap
gelora, sementara Xaverius mulai memenuhi seluruh indraku dan aku tenggelam dalam genangannya. Aku juga menginginkan Xaverius, sungguh, ba
ganku yang kebas. Membuatku otomatis melupakan segalanya. Aku
apan. Persetan dengan tato atau rasa sakitnya. Xaverius
sa kerdil dengan perbandingan tingginya yang di atas rata-rata. Dia melepaskan kancing kemejan
ndangan paling sensual yang pernah kusaksikan. Aku mengamati otot-otot punggungnya menggelia
berbalik. Mata kami bertemu. Itu bukan biru yang k
ari, jauh dari dunia yang Xaverius tinggali. Namun, ak
bisikan yang terlalu jauh untuk dapat kudengar, aku gdari paru-paruku dengan menegakkan punggung dan duduk patuh. Sa
ng maskulin hingga daya tariknya yang meneriakkan kata seks deng
at yang keluar dari tenggorokanku ketika Xaverius meraup rakus bibirku dan men
ri-jarinya turun meluncur ke pinggulku dan belaian itu berubah jadi remasan kasar.
inci demi inci kulitku, bukti bahwa aku wanitanya. Kami mulai memasuki wilayah yan
rhenti sebentar untuk mengamati sebelum menyentuh payudaraku. Tangannya meng
i satu jari Xaverius sudah terselip ke balik celana dalamku ya
entuh tonjolan sensitif di bawah sana. Punggungku serentak membusur. M
celahku. Sensasinya membuatku kewalahan. Aku menggertakkan gigi, semen
kali," umpatnya dis
mempunyai sesuatu untuk dipegang. Membiarkan kukuku terbenam dan men
're so fu
alam perutku hingga dia menemukan titik terlemah dan aku m
, Xaverius, hentikan. Aku ingin kencing." Kelopak mataku bergetar, sementar
erius terkekeh. Dia menjilat telingaku dan
ah kekuasaan pria. Air mataku tumpah, tapi bulu matanya me
da di antara kegilaan dan kebahagiaan. Aku tersentak gemetaran, ked
ah menstimulasi saraf terlarangku dan membuatku terhempas ke ujung pelepasan. Ke
kkan jari-jarinya yang berkilauan dan mencicipinya s
, sementara aku berjuang mengumpulkan sisa tenagaku yang tercecer, Xaverius kembali berlutut meraih pinggulku.
, butterfly." Iris Xaverius be
*