nding rasanya membuat hatiku berdesir. Bermesraan dengan pasangan layaknya pengantin baru lainn
an hati membuat diri ini tak tau harus berbuat apa melihat keadaan Uswa. Di sisi lain, aku masih saja berpikir kalau dia sebenarnya tak mengharapkan pernikaha
up tebal. Untunglah Bang Adam juga memberiku sebuah sarung. Mungkin ia tau, malam ini mas
lum percaya kejadian hari ini, bak takdir yang benar-benar tak bisa kuhindari. Aku berandai-andai, bila saja aku tak datang ke sini, apa yang akan terj
*
uk terbuka. Mungkin karna belum lama aku bisa terlelap. Tak lama berselang, adzan subuh terdengar bersahut-sah
erkata di balik pintu dengan memakai mukena. Ia pun langs
h dan yang lainnya menunggu lama, aku pun segera bergabung dengan mereka. Ternyata ma
menyenggol perut sampingku dengan sikutnya. Ia
ehku untuk keramas pagi ini. Semoga saja
_
ng saat kami selesai takzim. Dengan santai dan penuh keramahan, ia memintaku dan Ban
pin terima kasih sama kamu." Suaranya
dian kemarin, mungkin udah buat kamu
adalah murni keinginan Ilham sendiri. Bahka
Sedikit banyak aku paham, mungkin saja Abah t
, Bah." Bang A
ah gak mau, Zul, abah, dan Umi me
ah sedikitpun dari Abah Sulaiman. Ia masih seper
t Pak Suryo dan Ibu. Bilang juga kalau abah dan Umi tidak en
endiria
amu takut sendirian."
Uswa sekalian,
k saja kala
ungkin Uswa tak mau pergi ke rumah sa
*
engan memegang alquran kecil di tangannya. Rupanya ia baru saja m
eleng pe
duduk di samping Uswa dan berusah
u dan Ilham. Walaupun sampai sekarang aku gak ngerti kenapa Ilham milih kamu buat gantiin dia." Uswa menunduk. Jemari
ja bakal pergi, Zul." Uswa tiba-tiba saja men
tanganku pun bergetar hebat. Aku membuang pandangan seketika dan berulang kali menarik napas agar
Bang Adam datang dan langsung membuka pi
begitu saja. Belum sempat aku berucap, laki-l
a kembali menutup p
ia berkata lupa. Aku dan Usw
lam aja buat
ke
dam, tak lupa aku merapikan rambut dan men
ul
Uswa memanggil. "Hem." A
-hati
a menahan senyum sam
ambu