Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan menggantikan mempelai laki-laki untuk menikah dengan Uswa, mantan pacarku saat masih berseragam putih abu-abu. Ilham, teman sekaligus calon suami Uswa ternyata kritis saat acara ijab qobul mereka akan berlangsung. Dalam keadaan genting, Bang Adam beserta keluarga besar Uswa, memintaku untuk menggantikan Ilham. Terkejut, tak percaya, tak siap sama sekali akhirnya aku menikah dengan gadis manis itu. Lalu, bagaimana kehidupan kami setelah menikah?
"S-saya terima nikah d-an kawinnya Uswatun Khasanah binti Sulaiman d-engan mas kawin tersebut d-dibayar tunai." Aku melihat beberapa orang menggeleng pelan.
"Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu.
"Coba diulangi lagi. Tolong lebih lancar pengucapannya," jawab salah satu saksi yang duduk di belakang penghulu. Sementara saksi lainnya tampak mengiyakan.
Down. Mentalku benar-benar jatuh. Perkataan salah satu saksi itu semakin membuatku tak percaya diri. Rupanya, datang ke pesta pernikahan sahabatku bukanlah pilihan yang baik. Aku yang awalnya hanya berniat datang sebagai tamu undangan, kini jisyru harus duduk menghadap menghulu.
Menikah merupakan suatu hal yang selama ini aku idam-idamkan. Apalagi, bapak dan emak sudah sering menanyakan kapan aku pulang dan membawa calon istri. Namun, bila dalam keadaan terdesak seperti ini, rasa hikmat dan kebahagiaan bahkan lenyap oleh banyak pertanyaan yang timbul. Aku pun merasa heran, mengapa aku mau menggantikan Ilham untuk duduk sebagai mempelai pria.
Perlahan, aku meraih kertas kecil bertuliskan kalimat ijab kabul yang sengaja ditulis oleh Bang Adam. Tangan yang berkeringat serta bergetar hebat kini kurasakan. Cucuran keringat pun menghiasi kening hingga jatuh satu persatu membasahi pipi dan wajahku. Entahlah, apa ini suatu keberuntungan atau kemalangan untukku.
Setelah beberapa menit mengatur napas dan mencoba kembali membaca ijab kabul, akhirnya aku bisa menyelesaikannya dengan lancar tanpa harus mengulang kembali.
Pengantin wanita akhirnya datang dan bersanding denganku. Rasanya, seperti mimpi. Aku bingung harus bahagia atau sedih. Melihat cantiknya Uswa dengan berbalut hijab putih serta riasan yang menarik, tapi sederhana, ada kebahagiaan terselip di hatiku. Namun, bila teringat mengapa aku bisa duduk di sini dan menjadi pempelai pengganti, ada rasa perih beradu di relung hati ini.
_____
Rasa gerogi dengan jantung yang berdetak cepat, membuat kesadaranku belum utuh sepenuhnya. Sembari menatap gadis di samping yang sudah sah menjadi istriku, kucoba mengingat-ingat kejadian sebelum bisa duduk di pelaminan ini. Sore itu selepas pulang bekerja, aku menemukan sepucuk surat beramplop biru muda tergeletak di bawah pintu.
Sebelum memutar kunci, kuraih kertas amplop itu dan membawanya masuk. Aku meletakkan benda itu di atas meja sementara aku mengambil air di dapur. Perlahan, kubuka isi amplop setelah segelas air putih melewati kerongkongan. Aku membacanya saksama sambil melepas dasi dan kancing baju atas.
Cukup terkejut aku dibuatnya. Seuntai senyum lantas menghiasi wajahku. Ternyata amplop berwarna biru muda ini berisi undangan pernikahan Ilham, sahabatku saat masa sekolah dulu. Mataku tertuju pada nama calon mempelai wanita. Uswatun Khasanah. Ia adalah teman dekatku pada saat kami masih sekolah di MAN dulu. Entah kenapa, dia menjauh dan mulai dekat dengan Ilham, sahabatku. Ternyata mereka masih menjalin hubungan hingga kini akan lanjut ke jenjang pernikahan.
_____
Hal yang tak terduga tiba-tiba terjadi saat aku datang ke kediaman mempelai wanita. Ilham dikabarkan tak sadarkan diri dan koma di rumah sakit. Ia jatuh pingsan sesaat sebelum bersiap datang ke sini.
Keadaan sempat ricuh. Seluruh keluarga kebingungan mendengar kabar ini. Beberapa diantaranya bahkan menangis histeris termasuk ibu mempelai wanita. Aku yang baru saja keluar dari toilet merasa terkejut saat lelaki yang tak asing berdiri di depan pintu.
"Zul, lu mau gak nikah ama Uswa?" tanyanya. Terkejut bukan kepalang aku dibuatnya. Dalam hati langsung bertanya, kenapa harus aku?
"Maksud lu, apa, Bang?" Tentu saja aku bertanya balik padanya. Mungkin saja telingaku ini kemasukan kotoran hingga salah mendengar. Tanpa menjawab, kakak kandung Uswa ini lantas meraih lenganku dan berjalaj menyusuri rumah.
Berpuluh langkah kami susuri ruangan demi ruangan, sampailah kami di sebuah kamar. Semerbak bau wangi sudah tercium meski hanya di luar saja. Perlahan, Bang Adam membuka pintu kamar. Tampak di dalam ada seorang gadis tengah memegang tangan lelaki paruh baya yang tergeletak di atas ranjang. Hatiku mulai tak karuan. Kesedihan begitu terasa di sini. Gadis berhijab abu-abu itu menangis terisak.
"Abah gue kena serangan jantung, Zul. Beliau gak kuat denger berita ini," jelas Bang Adam.
Seketika itu juga, aku teringat bapak di kampung. Umur Abah Sulaiman dan bapak tak berbeda jauh. Terlebih, aku sempat dekat dengan keluarga ini saat masa sekolah dulu. Rasa kekeluargaan masih kental terasa. Tiba-tiba saja, mataku ikut berembun. Tak tega rasanya melihat sosok bapak tergeletak lemah di atas ranjang.
"Us, kamu tahu kalau Ilham selama ini sakit?" tanya Bang Adam saat kami bertiga sudah beranjak ke kamar pengantin.
Uswa hanya diam dan tertunduk. Bahunya kadang bergetar tanda bahwa ia masih terisak. Hatiku semakin tak karuan rasanya. Di sini, aku bukan siapa-siapa, tapi seolah-olah aku ikut merasakan masalah yang mereka hadapi.
"Jawab, Us." Nada bicara Bang Adam mulai meninggi.
"Aku tahu, Bang." Sesekali ia usap air mata yang membanjiri wajah ayunya.
"Kamu dan Ilham sama-sama egois. Bertahun-tahun kalian dekat, gak ada sama sekali kalian cerita soal penyakit Ilham." Bang Adam mengusap kening dengan kedua telapak tangan. Ia juga tampak menahan kekesalan yang tengah melanda.
Semakin Bang Adam berbicara, tangis Uswa semakin menjadi. Hal ini membuatku tak betah berlama-lama di kamar itu. Segera kulangkahkan kaki keluar kamar disusul Bang Adam.
Dalam keadaan seperti ini, Bang Adam terus meyakinkanku untuk mau menggantikan Ilham dan mencegah batalnya acara pernikahan hari ini. Semakin kalut aku dibuatnya. Meski bukan aku yang mengalami langsung kejadian tak menyenangkan ini, nyatanya aku juga ikut terkena imbasnya.
Melihat ayah dan anak gadis itu sungguh kasihan, namun, dalam hal ini aku harus merelakan diriku berkoban. Mengambil keputusan ini bukanlah perkara mudah. Selain ketidaksiapan, keadaan, dan waktu yang sedemikian sempit membuat kepala dan hatiku sama sekali tak bersatu. Selain itu, tamu yang berdatangan, menuntut diri ini harus cepat mengambil tindakan. Hingga otak ini sampai pada puncaknya, aku memutuskan untuk pergi ke toilet dan membasuh wajah. Berwudhu kemudian salat dua rakaat di musholah rumah. Dalam titik terendah ini aku berharap Yang Maha Kuasa segera memberiku jawaban atas keputusan apa yang harus aku ambil.
Kutatap langit-langit rumah ini dengan saksama. Kulipat sajah perlahan sambil menunggu kemantapan hati sekaligus berdoa agar keputusan yang kuambil tak membawa penyesalan baik untukku dan untuk yang lain.
Saat beranjak keluar, betapa terkejutnya diriku mendapati beberapa orang tengah berdiri di ambang pintu. Salah satu sosok yang mirip Haji Sulaiman berjalan mendekat dan memelukku. Ia juga menepuk pelan bahu dengan raut wajah penuh harap.
"Kami sangat bersyukur bila, Nak Zul mau menjadi mempelai pria." Satu dentuman keras begitu terasa di rongga dada. Mungkin memang inilah yang bisa aku lakukan. Semoga saja dengan merelakan hatiku, aku akan mendapatkan hadiah besar di kemudian hari.
Kubalas dengan senyuman. Tak kusangka, beberapa di antara mereka pun bersorak gembira dan mengucap syukur.
"Makasih, Zul. Gue yakin lu mau ngelakuin ini. Lu emang baik." Bang Adam menepuk bahu sambil tersenyum bahagia.
Persiapan pun dilanjutkan, pengantin wanita segera dirias. Bang Adam membawaku ke kamar miliknya. Dia pun mengambil toksedo yang cukup bagus dan memberikannya padaku. Badan kami yang tak begitu jauh berbeda membuat pakaiannya muat di badanku.
Aku duduk cemas di ruang keluarga. Telapak tanganku berulang kali berkeringat sedangkan Bang Adam masih sibuk menulis sesuatu.
"Ayo, Mas. Pakai pelembab dulu mukanya biar gak kering." Juru rias menghampiriku. Aku diam sejenak lalu mengikutinya berjalan ke kamar pengantin.
Aku terperangah ketika melangkahkan kakiku masuk ke kamar. Rupanya Uswa sudah hampir siap. Tampak perias lainnya tengah memakaikan lipstik di bibirnya. Pandanganku sibuk menatap mempelai wanita itu sampai diri ini tak sadar beberapa gadis lain tengah cekikikan.
"Jangan lupa kedip, Bang Zul," goda seorang gadis. Sontak aku mengalihkan pandangan dengan cepat. Segera aku beranjak keluar sebelum wajahku berubah menjadi stoberi karena malu.
Aku melirik kembali Uswa, tapi ia sama sekali tak merespon. Jangankan tersenyum, meluhatku saja tidak. Sempat terpikir olehku, apakah sosok Ilham benat-benar tak tergantikan?
Bersambung.....
Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?
Keluarga Gunawan yang dikira miskin ileh orang tuanya hanya karena berpenampilan sederhana. Namun siapa sangka, ia adalah seorang milyarder
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
(Cerita mengandung FULL adegan dewasa tiap Babnya Rated 21++) Bertemu di kapal pesiar membuat dua pasangan muda mudi memiliki ketertarikan satu sama lain. Marc dan Valerie menemukan sosok yang berbeda pada pasangan suami istri yang mereka temui secara tidak sengaja di kapal pesiar. Begitu pula dengan Dylan dan Laura merasakan hal yang sama kepada Marc dan Valerie. Hingga sebuah ide tercetus di pikiran mereka karena rasa penasaran yang begitu besar. “Sayang, hanya satu hari, haruskah kita bertukar pasangan dengan Valerie dan Marc?” ucap Dylan menatap sang istri. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Apakah perselingkuhan ini akan berakhir atau membawa sebuah misteri kehidupan baru bagi kedua pasangan ini...
Nafas Dokter Mirza kian memburu saat aku mulai memainkan bagian bawah. Ya, aku sudah berhasil melepaskan rok sekalian dengan celana dalam yang juga berwarna hitam itu. Aku sedikit tak menyangka dengan bentuk vaginanya. Tembem dan dipenuhi bulu yang cukup lebat, meski tertata rapi. Seringkali aku berhasil membuat istriku orgasme dengan keahlihanku memainkan vaginanya. Semoga saja ini juga berhasil pada Dokter Mirza. Vagina ini basah sekali. Aku memainkan lidahku dengan hati-hati, mencari di mana letak klitorisnya. Karena bentuknya tadi, aku cukup kesulitan. Dan, ah. Aku berhasil. Ia mengerang saat kusentuh bagian itu. "Ahhhh..." Suara erangan yang cukup panjang. Ia mulai membekap kepalaku makin dalam. Parahnya, aku akan kesulitan bernafas dengan posisi seperti ini. Kalau ini kuhentikan atau mengubah posisi akan mengganggu kenikmatan yang Ia dapatkan. Maka pilihannya adalah segera selesaikan. Kupacu kecepatan lidahku dalam memainkan klitorisnya. Jilat ke atas, sapu ke bawah, lalu putar. Dan aku mulai memainkan jari-jariku untuk mengerjai vaginanya. Cara ini cukup efektif. Ia makin meronta, bukan mendesah lagi. "Mas Bayuu, oh,"
Usia terkadang tidak menjadi patokan buat seseorang bisa berbuat lebih dewasa. Banyak faktor yang memperngaruhinya, termasuk salah pergaulan. Khusus pembaca yang pernah mengalami gejolak hasrat cinta dan birahi masa remajanya, tentu kisahku ini akan sedikit memberikan kesan dan nostalgia terindah masa-masa remajanya. Sengaja disajikan utuh memotret masa beberapa tahun yang lalu, agar siapapun yang pernah merasakan bangku SMA dan dunia perkuliahan, bisa lebih menghayatinya. Namun demikian pada beberpa bab kisah ini hanya cocok buat dewasa karena mengandung adegan dewasa, mohon bijak dalam memilih bab-bab tertentu
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. “Lihat Om sini, yang deket.” Suradi mendekat dan membungkuk. “Gemes ga Om?” Suradi mengangguk. “Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?” “Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?” “Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.
Tania kembali ke Indonesia setelah 10 tahun Ia menetap di Malaysia. Tujuannya hanya satu yaitu ingin mencari cinta pertamanya yang ia temukan 10 tahun yang lalu. Laki-laki itu bernama Rian. Namun saat ia sampai di Indonesia, Ia mendapati kenyataan jika Rian yang selama ini ia cari tak mengenalnya sama sekali. Bahkan Tania sudah menunjukkan salah satu benda yang dulu Rian buatkan untuknya namun tetap Rian Tak mengenal benda tersebut. Sampai Tania bertemu dengan om dari Rian bernama Bian. Siapa sangka pertemuan Tania dengan Bian, membuka sebuah luka yang pernah membuat hidup Bian berantakan. Dan siapa yang menyangka juga ternyata Rian yang Tania cari, ternyata Bian yang berpura-pura menjadi Rian.