Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / DIBALIK CADAR ISTRIKU
DIBALIK CADAR ISTRIKU

DIBALIK CADAR ISTRIKU

5.0
21 Bab
15.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?

Bab 1 Pernikahan

Azizah Azzahra, gadis berumur 27 tahun yang aku nikahi tanpa cinta itu menatapku dengan kedua mata yang sembab. Wajahnya tertutup cadar, hingga aku hanya bisa menatap matanya.

"Maaf, aku tidak bermaksud lancang," ujarnya lirih sembari mengalihkan pandangan.

"Jangan berharap banyak dariku, Azizah."

Aku beranjak pergi dari meja makan meninggalkan dia sendirian di sana. Sungguh, meski aku telah menikahinya, hasrat untuk menggauli tak ada sama sekali. Alasannya hanya satu hal, tidak ada cinta. Ya, berbeda dengan pasangan suami istri lain, aku dan Azizah menikah karena Almarhum Ibu. Ibu sangat ingin melihatku menikah di saat ia kritis di atas ranjang pesakitan. Saat-saat genting itulah, aku setuju menikah dengan Azizah, mantan mahasisiwi kesayangan Ibu semasa kuliah dulu.

Kesedihan mendalam akibat kehilangan dua wanita yang kusayangi nyaris bersamaan, membuatku hilang akal bahkan nyaris gila. Lima belas hari lamanya aku mengurung diri di kamar Ibu. Aku hanya makan makanan yang diberikan Azizah setiap hari. Ya, mungkin ia menyadari akan kesedihanku ini sehingga ia tak pernah menuntut nafkah batin yang belum jua kuberikan.

Hari ini, sahabat lamaku menelepon dan ingin bertandang ke kediamanku, tapi kutolak. Aku belum siap memperkenalkan Azizah. Aku bilang, aku saja yang datang ke rumahnya karena juga ingin keluar menatap peradaban sekaligus memangkas habis rambut di sekitar wajah yang mulai memanjang.

Azizah terkejut ketika mendapatiku keluar kamar. Ia masih mengenakan cadar meski aku sudah menjadi mahromnya. Hal itu ia lakukan sebab aku belum siap menjalani hubungan ini. Aku memintanya agar tetap memakai cadar meski di dalam rumah.

Aku tak pernah tahu wajah Azizah dan tak ingin tahu sebenarnya karena sebagai laki-laki, aku memiliki pendirian teguh dan tidak mudah dekat dengan sembarang orang. Almarhumah Kiara, calon istriku saja harus menunggu lima tahun lamanya untuk mendapatkan hatiku.

***

"Kenapa sampai bisa begitu?" tanya Maulana Syarif. Teman sekolah jaman seragam putih abu-abu.

"Takdir. Siapa yang tahu akan jadi begini. Entahlah, aku pun sampai sekarang belum terima takdir yang begitu berat ini," pungkasku.

"Mana Malik yang aku kenal. Malik yang tegar dan tabah."

"Aku bukan Malik Afrizal yang dulu, Lan. Mentalku jatuh dan pecah berkeping-keping. Aku tak setegar dulu. Ketika Ayah meninggal pun, aku masih bisa tertawa setelah beberapa hari, tapi sekarang, aku mengurung diri 15 hari, bahkan sempat berpikir ingin bunuh diri. Andai saja, bunuh diri tidak berdosa, mungkin sekarang aku tidak di sini."

"Hust! Istighfar, Lik. Tidak seharusnya kamu bilang begitu."

Aku nyaris menangis sebelum seorang gadis muncul membawa dua cangkir minuman. Aku sempat dibuat heran karena seyumnya sungguh menentramkan hati ini.

"Diminum, Mas, tehnya." Dia menatapku. Sampai gadis itu kembali dan hilang dari pandangan, aku masih saja mengamatinya hingga tak sadar lawan bicara juga ikut lenyap.

"Siapa dia, Lan?" tanyaku saat Lana sudah kembali.

"Dia, Azkia. Adikku."

"Adik? Sejak kapan kamu punya adik perempuan?"

"Sejak dulu, dia anak kandung Papa tiriku. Dulu, dia ikut ibunya, tapi sejak ibunya jadi TKW, dia ikut dengan kami."

Ibu Lana memang menikah dengan duda. Namun, aku tak pernah mendengar dia bercerita mengenai adik tirinya itu.

Hingga beberapa saat kemudian, aku menumpang buang air kecil di rumah Lana, aku tak sengaja melihat Azkia duduk di ruang makan sendirian tanpa jilbab panjang yang ia kenakan semula.

Sekelebat, aku tak sengaja melihat kulit putih bersihnya. Meski memakai jilbab, tapi tak ada garis kontras berbeda warna di wajah mulus itu. Rambutnya panjang dan hitam tergerai indah melewati punggung kursi.

"Astaugfirullah, maaf." Jujur saja, melihat dia tanpa jilbab, jantung ini berdetak lebih cepat.

"Astaugfirullah," ucapnya lirih. Ia terburu-buru menutup kepala dengan jilbab yang bersandar pada bahunya.

Canggung sekali karena kamar kecil berada di dekat dapur sementara dia ada di sana.

'Aku ini kenapa? Baru kali ini aku lihat gadis dan langsung tertarik, tapi aku sudah menikah,' bisikku dalam hati.

Selesai menunaikan hajat, aku keluar setelah merapikan rambut yang baru aku cukur. Untung saja, aku tadi menyempatkan diri mencukur rambut, kumis, dan jenggot. Kalau sampai Azkia melihatku sebelum ini, aku yakin dia akan merasa jijik.

"Jadi, apa kamu udah ke rumah Kiara? Terus gimana dengan bapak, ibunya?" tanya Lana.

"Aku belum ke sana. Aku tak tahu apa aku kuat kalau harus melihat rumah calon istriku yang hangus terbakar."

Ya, tepat dua hari sebelum hari pentingku, rumah Kiara dilalap api. Ia terpanggang di dalamnya dan tak sempat menyelamatkan diri. Begitu juga dengan kedua orang tuanya yang mengalami luka bakar sangat hebat dan kemudian ikut berpulang beberapa hari setelah kejadian naas itu.

"Tenang, Lik. Kamu masih punya aku. Aku bersedia jadi tempat bersandar kalau kamu merasa lelah." Lana mengusap lenganku. Aku ingin bercerita mengenai Azizah, tapi entah kenapa aku menjadi ragu apalagi setelah melihat Azkia. Rasanya, penyesalan karena telah menikahi Azizah, begitu menggerogoti pikiran ini.

"Mas, minggu depan ada acara di kedai kue yang baru aku buka. Kalau berkenan, kamu bisa datang," pinta Azkia padaku. Tatapan matanya begitu intens dan seperti berharap aku mengiyakan ajakannya.

Sempat diam dan berpikir, aku pun mengiyakan dengan mengucap, "Insya Allah." Senyum manis pun terukir indah di sudut bibir merah muda tanpa gincu.

"Kenapa? Adikku cantik?" tanya Lana. Nada bicaranya terdengar menggoda dengan lirikan dan senyuman yang nampak sedikit aneh bagiku.

"Apaan, sih." Segera kutepis. Mungkin saja, teman baikku ini segera bisa menangkap signal-signal cinta dari wajahku karena memang, rasa itu mulai tumbuh dan bertunas meski baru kali ini kulihat gadis secantik dia.

"Dia itu pinter bikin kue, makanya Mama inisiatif buatkan dia kedai."

Lana bercerita banyak hal mengenai Azkia dan hubungannya dengan sang Ibu. Meski mereka tidak lahir dari rahim yang sama, bisa kutangkap kedekatan mereka terjalin baik.

Lana begitu mengelu-elukan Azkia di depanku. Apa mungkin dia berharap aku kelak bisa menjadi adik iparnya?

"Aku pamit, Lan. Udah sore." Sudah hampir lima jam aku di luar. Rasanya, tak enak juga karena aku hanya berpamitan pada Azizah ingin mencukur rambut saja.

"Kapan-kapan, kamu ke sini aja kalau suntuk di rumah," ujar Lana. Sirot matanya penuh simpati.

"Oke, tapi yakin kamu gak balik lagi ke Malay?" tanyaku.

"Enggak, Lik. Urusan aku di sana udah selesai."

Setelah mengucap salam, aku melangkah pulang. Sial, meski aku belum menunaikan kewajiban terhadap Azizah, tapi tanggung jawab sebagai suami tidak mudah aku lalaikan begitu saja. Tetap, aku memikirkan dia meski hatiku hampa dan belum ada rasa terhadapnya atau mungkin tak akan ada.

"Waalaikumussalam," Azizah menjawab salamku dari dalam rumah. Sebelum pulang, aku menyempatkan membeli makanan di pinggir jalan untuk kumakan sendiri, tapi lagi-lagi aku teringat Azizah.

"Ini, ada martabak manis. Aku nggak tau kamu suka apa. Kalau kamu nggak suka, kamu taruh aja di dalam kulkas. Biar kumakan besok," ujarku sembari menyerahkan sekotak martabak rasa keju padanya.

"Aku suka, kok, Mas. Makasih, ya. Oh, ya. Kamu cukur rambut ke luar kota, ya, Mas? Lama banget."

Aku berbalik badan dan sontak menatapnya.

"Apa setelah aku membelikan kamu makanan, kita bisa sedekat itu? Tolong, hormati aku sebagai anak dari Ibu Hamidah, mantan dosen kamu!"

"Iya, Mas. Maaf."

"Jangan sok akrab denganku, Azizah!"

bersambung.....

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY