Keluarga Gunawan yang dikira miskin ileh orang tuanya hanya karena berpenampilan sederhana. Namun siapa sangka, ia adalah seorang milyarder
"Mobil Mas kenapa jelek? Kecil lagi. Coba lihat mobilku. Besar, bagus, kinclong. Mobil Mas pasti gak ada AC-nya?" tanya Eva pada Gunawan.
"Iya, gak ada, Va. Cuma AC alami aja." Gunawan mengakhiri obrolan dengan tersenyum sembari meninggalkan adiknya yang berdiri di ambang pintu menyambut kedatangan sang kakak.
"Mbak. Gimana kabarnya?" tanya Eva pada Riska. Kakak iparnya.
"Baik, Va."
Pandangan Eva pada kakak ipar sedikit aneh. Ia menaikkan sedikit bibirnya karena memandang Riska yang datang ke rumah mertua hanya memakai sendal jepit berlapis kaus kaki.
"Mbak gak malu ke sini cuma pakai sendal jepit?" Sontak pertanyaan Eva membuat semua orang yang ada di ruang tamu memandang ke arah kaki Riska. Ibu Gunawan, Ayahnya, dan suami Eva sangat terkejut. Sang ibu mertua bahkan sampai menggelengkan kepala melihat penampilan Riska.
Eva beranjak masuk setelah menyapa kedua keponakannya.
"Mas katanya di Jakarta punya usaha, tapi kok mobilnya jelek gitu? Kayaknya bisa jalan aja sukur." Mobil taft tahun 90'an masih diamatinya. Rasa jijik tampak pada wajah Eva.
"Mas suka sama mobil itu, Va. Udah lama jadi inceran mas."
"Gun. Apa kamu gak kasihan sama anak-anak? Beli mobil kok gak ada AC-nya. Katanya istri kamu juga kerja, mana hasilnya? Pulang kampung bawa mobil bobrok gitu." Sang ibu menimpali.
"Coba lihat adikmu. Baru tiga tahun nikah, mobilnya bagus, rumahnya mewah. La kamu, mobil aja butut gitu. Coba ibu lihat foto rumah yang katanya baru kamu beli kaya gimana? Pasti cuma lantai satu, ya?"
Riska dan Gunawan diam mendengarkan sang ibu berbicara.
"Sudahlah, Bu. Toh, Gunawan sama Riska sehat. Cucu-cucu kita juga sehat. Mau rumah mereka besar atau enggak, ya emangnya kenapa?"
"Pak, lihat Riana sama Gilang. Bajunya kumel gitu. Mana apek. Lagian beli mobil gak ada AC-nya kasian lho Pak, anak-anak kegerahan."
"Gak apek, Bu. Jangan ngada-ngada. Orang bapak udah cium mereka, kok. Pada wangi-wangi."
"Ah, Bapak ini. Mampet, ya, hidungnya."
Riska beranjak setelah berpamitan ke kamar. Ia berniat membereskan baju dan beristirahat.
"Kamu mau ke mana? Orang tua lagi ngomong itu jangan minggat."
"Bu. Riska itu mau istirahat. Kasian perjalanan jauh."
"Gunawan juga mau istirahat, Bu. Capek nyetir seharian."
"Makanya, beli mobil bagus yang gak bikin capek kalo lama-lama nyetir, Mas."
Gunawan, Riska, dan kedua anak mereka masuk ke kamar.
Sedari mereka menikah, cacian sudah biasa diterima oleh Gunawan dan Riska. Terlebih oleh sang ibu. Gunawan yang hanya lulusan STM menjadi bahan olok-olok keluarga ibunya. Sedari muda, ia merantau di kota Metropolitan dan membiayai sekolah adiknya, Eva. Tak hanya itu, ia juga mengajari adik sepupunya bernama Sundari untuk bekerja.
Eva berhasil lulus sarjana karena bantuan kakaknya hingga ia bisa mencari pekerjaan di sebuah bank swasta. Posisi yang cukup bagus di bank itu hingga bisa mengangkat derajat kedua orang tua. Sedangkan Sundari, yang hanya bisa lulus di bangku SMA, kini memiliki usaha cake sendiri di rumah.
Gunawan yang keluar dari rumah ketika berumur enam belas tahun, mencoba keberuntungan di kota. Berpindah-pindah kota sering dilakukannya. Hingga pernah terusir dari kos-kosan karena terlambat membayar. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Riska dan bekerja padanya.
Riska, anak pengusaha kaya yang jatuh hati pada seorang bawahan ayahnya. Riska terdidik sebagai pribadi yang mandiri, sopan, sederhana, baik, dan tidak suka bermewah-mewah. Sedari kecil, didikan ayahnya tak mengijinkan ia diantar memakai mobil ke sekolah. Membeli alat tulis mewah dan bermanja-manja dengan asisten rumah tangga.
Wanita dua puluh delapan tahun itu terbiasa melakukan pekerjaan rumah meski ia memiliki rumah tiga lantai. Berteman dengan siapa saja tanpa terkecuali anak-anak asisten rumah tangga ayahnya.
Kesederhanaan Riska bahkan sempat menjadi bahan olok-olok teman-temannya di sekolah. Sebagai orang mampu, ia masuk di SMA favorit yang cukup terkenal di Jakarta.
"Lo gak tahu ini sekolah elit? Lo pasti anak babu yang disekolahin ama majikan, ya?" ejek Dinda. Gadis cantik nan modis dengan dandanan tak wajar sebagai siswi sekolah.
"Kenapa? Ini tas sama sepatu juga gue beli pakai duet gue sendiri. Walaupun murah, seenggaknya gue gak ngemis sama orang tua."
"Dasar anak babu! Awas aja, ya, lo ketemu lagi ama gue."
"Yuk, gaes. Gue gak tahan di sini lama-lama. Entar ketularan miskin lagi." Dinda dan teman-temannya meninggalkan koridor sekolah.
Siang itu, ketika sepulang sekolah, Dinda dan teman-temannya yang berada tepat di belakang Riska berjalan dan hampir menempel pada gadis sederhana itu.
Salah satu teman Dinda, menanyakan tugas yang diberikan guru pada saat jam pelajaran hampir usai. Beberapa menit ia mengajaknya mengobrol. Tanpa disadari, Dinda dengan teman yang lain, mengiris tas Riska dengan cutter. Tak berselang lama, beberapa barang berjatuhan dari sana.
"Hah, apaan tuh?" teriak Dinda seketika. Ia berpura-pura terkejut dan segera menyembunyikan benda tajam itu dibalik sakunya.
Riska segera berbalik badan dan ikut terkejut. Alat tulis, juga beberapa benda lain miliknya jatuh berantakan. Dilihatnya, tas yang ia pakai sudah sobek.
"Eh, anak babu. Tas udah sobek masih aja dipakai. Bener-bener gak punya duit, ya? Ahahahaha." Dinda dan teman-teman lainnya menertawakan Riska yang tampak kesal. Murid yang lain hanya melihat ke arah Riska. Tanpa menjawab, gadis itu segera berlari keluar sekolah. Ia tak menangis, hanya saja teramat kesal. Tas yang baru ia beli saat berganti semester, kini sudah rusak. Ia tahu, Dinda sengaja merobek tasnya karena Riska ingat betul tas itu semula baik-baik saja.
Baru sampai di rumah dan belum berganti seragam, Riska mendengar papanya berbicara ditelepon. Nada yang cukup mengkhawatirkan sehingga membuat Riska berlari menghampiri sang papa.
"Kenapa, Pa?"
"Sopir operational kantor kecelakaan, Sayang. Sekarang lagi ada di rumah sakit."
"Sopir operational? Pak Mukti, Pa?" tanya Riska.
"Iya. Pak Mukti."
"Kasian, Pa. Dia dulu pernah nolongin Riska pas mau jatuh dari tangga."
"Kamu masih ingat, Riska?"
"Iya. Riska ikut, ya, Pa."
Selain baik, rasa empati Riska juga tinggi. Terlebih kepada orang yang selama ini setia bekerja pada sang papa. Saat Riska kecil, ia hafal betul dengan sosok Pak Mukti. Lelaki paruh baya yang rendah hati dan murah senyum juga giat bekerja.
Sesampainya Riska di rumah sakit, ia terkejut. Ada gadis seumuran dirinya menangis di depan ruang rawat Pak Mukti.
"Dinda?" Gadis itu menoleh.
"Riska?"
"Apa lo anak Pak Mukti?" tanya Riska.
Dinda mengangguk disertai isakan tangis.
"Jadi, lo anak Pak Suryo?" tanya Dinda setelah melihat Riska datang dengan sang papa.
"Iya."
Dinda beranjak dan memeluk Riska dengan erat. Dipelukan gadis yang selama ini ia hina, ia menangis kencang.
"Maafin gue, Ris. Gue udah hina lo. Gue udah keterlaluan sama lo. Gue gak tahu kalo lo anak Pak Suryo."
"Jadi lo takut sama Papa gue?"
"Iya, Ris. Jangan pecat Papa gue, ya. Gue janji, apa yang lo minta gue turutin. Asal jangan pecat Papa gue."
"Din. Semua manusia itu sama. Lo gak boleh beda-bedain anak siapa dia, kaya atau enggak. Harta itu cuma hiasan aja. Semua manusia lahir gak bawa apa-apa. Jadi, gue minta sama lo, hargai manusia entah siapa pun dia. Gue gak sakit hati, Din, lo ejek. Gue mau lo hargai gue apa adanya gue, sebagai diri gue, bukan anak dari Suryo Utomo. Ngerti."
Dinda mengangguk pelan. Ternyata, gadis yang selama ini ia hina dan sempat ia kerjai itu adalah anak dari bos tempat ayahnya bekerja.
Semenjak saat itu, berita begitu cepat tersebar. Semua murid di sekolah begitu menghargai dan menghormati Riska. Mereka kini tak mempermasalahkan kesederhanaannya meski pulang pergi, ia masih menaiki angkot atau bajaj.
Kejadian itu masih ia ingat hingga kini. Dinda pun bekerja di kantor Riska. Kantor yang ia dirikan dari nol tanpa bantuan nama besar papanya.
"Kenapa kamu gak ijinin Ayah bawa Alpart, Bun? Seenggaknya, Eva gak akan ejek kita seperti ini."
Riska tersenyum dan berkata, "Buat apa, Yah. Pamer? Apa harta itu untuk dipamerkan? Toh, dari dulu Ibu sama Eva juga udah ejek kita dari awal kita mulai usaha."
"Kamu gak sakit hati, Bun? Tiap kita ke sini, lho mereka begitu?"
"Sama sekali gak, Yah. Aku ingin mereka itu hargai kita dengan apa adanya, bukan karena harta."
"Sulit, Bun. Ibu memang seperti itu dari dulu."
"Bunda gak masalah, Yah. Dari dulu, sejak bunda masih sekolah juga sering diejek cuma karena pake tas jelek, sepatu jelek."
"Ayah bangga punya istri seperti Bunda."
*****
Tak berapa lama Gunawan dan keluarga beristirahat di kamar, Eva tiba-tiba masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
"Mas. Bisa pindahin mobilnya gak? Mobil aku mau lewat. Takut kegores, soalnya baru beli seminggu yang lalu."
Gunawan pun beranjak tanpa menjawab adiknya.
"Eh, Mas. Mobil Mas udah lunas belum? Gak mungkin dong mobil butut belum lunas. Mobil aku yang bagus aja udah lunas."
Gunawan menarik napas dan melihat ke arah Eva. Ia masih berusaha menahan emosi terhadap sang adik. Andai bukan mulut adiknya yang berbicara, mungkin emosi Gunawan sudah meluap sejak pertama ia datang.
Bersambung......
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan menggantikan mempelai laki-laki untuk menikah dengan Uswa, mantan pacarku saat masih berseragam putih abu-abu. Ilham, teman sekaligus calon suami Uswa ternyata kritis saat acara ijab qobul mereka akan berlangsung. Dalam keadaan genting, Bang Adam beserta keluarga besar Uswa, memintaku untuk menggantikan Ilham. Terkejut, tak percaya, tak siap sama sekali akhirnya aku menikah dengan gadis manis itu. Lalu, bagaimana kehidupan kami setelah menikah?
Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Memiliki wajak cantik dan tubuh sempurna justru mengundang bencana. Sherly, Livy dan Hanny adalah kakak beradik yang memiliki wajah cantik jelita. Masing-masing dari mereka sudah berkeluarga. Tapi sayangnya pernikahan mereka tak semulus wajah yang dimilikinya. Masalah demi masalah kerap muncul di dalam hubungan mereka. Kecantikan dan kesempurnaan tubuh mereka justru menjadi awal dari semua masalah. Dapatkah mereka melewati masalah itu semua ?
Pada hari ulang tahun pernikahan mereka, simpanan Jordan membius Alisha, dan dia berakhir di ranjang orang asing. Dalam satu malam, Alisha kehilangan kepolosannya, sementara wanita simpanan itu hamil. Patah hati dan terhina, Alisha menuntut cerai, tapi Jordan melihatnya sebagai amukan lain. Ketika mereka akhirnya berpisah, Alisha kemudian menjadi artis terkenal, dicari dan dikagumi oleh semua orang. Karena penuh penyesalan, Jordan menghampirinya dengan harapan akan rujuk, tetapi dia justru mendapati wanita itu berada di pelukan seorang taipan yang berkuasa. "Ayo, sapa kakak iparmu."
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?
Kehidupan Leanna penuh dengan kesulitan sampai Paman Nate-nya, yang tidak memiliki hubungan kerabat dengannya, menawarinya sebuah tempat tinggal. Dia sangat jatuh cinta pada Nate, tetapi karena Nate akan menikah, pria itu dengan kejam mengirimnya ke luar negeri. Sebagai tanggapan, Leanna membenamkan dirinya dalam studi andrologi. Ketika dia kembali, dia terkenal karena karyanya dalam memecahkan masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan infertilitas. Suatu hari, Nate menjebaknya di kamar tidurnya. "Melihat berbagai pria setiap hari, ya? Bagaimana kalau kamu memeriksaku dan melihat apakah aku memiliki masalah?" Leanna tertawa licik dan dengan cepat melepaskan ikat pinggangnya. "Itukah sebabnya kamu bertunangan tapi belum menikah? Mengalami masalah di kamar tidur?" "Ingin mencobanya sendiri?" "Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik bereksperimen denganmu."