/0/16079/coverbig.jpg?v=20240306140843)
Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
"Penghuluin orang mulu, Pak. Kapan nih, menghuluin diri sendiri?" tanyaku membuat semua orang di sini terkekeh.
"Mana bisa menghuluin diri sendiri, Ayu. Aneh kamu," kata Teh Rianti. Dia pengantin yang siap menikah.
Aku hanya diam dan tersenyum sembari mencuri pendangan ke arah penghulu muda dihadapan.
"Pak, manis banget, sih. Waktu diproduksi dulu, pake berapa kilo gula?" Bisikanku tidak keras tapi terdengar oleh semua orang yang berada di ruang tengah. Ibu yang ada di sebelahku sampai harus mencubit lengan ini tetapi gombalan barusan berhasil membuat mereka tertawa. Termasuk ibu yang sudah mencubit lenganku.
"Bisa kita mulai acaranya?" tanya Penghulu.
Huh, dia biasa aja bahkan gak senyum sama sekali dari tadi. Apa dia ini aktor drakor yang lagi cosplay jadi penghulu?
Acara ijab qobul pun dilaksanakan setelah sambutan singkat oleh calon suamiku. Eh, penghulu itu maksudnya.
"Pak, Pak Suami, eh. Pak penghulu siapa sih, namanya?" Kini Lia, tetangga sekaligus teman masa kecilku menggeleng pelan. Untung ibu sudah keluar duluan. Kalo enggak, entah aku akan dia apakan.
"Nama saya Jibril Mubarak," jawabnya.
"Wah, namanya seperti malaikat penyampai wahyu. Berarti bisa, dong, Pak sampein ke calon suami saya kapan dia datang?"
"Apa kamu belum menikah?" tanya dia lagi. Sekarang penghulu itu mendekat ke arahku.
"Belum." Aku memasang wajah memelas. Ya, siapa tahu dia mau menyumbangkan diri untuk menjadi imamku.
"Kasian, deh, loe."
Sontak aku membulatkan bibir. Hampir kuangkat kepalan tangan padanya, tetapi kutahan kuat-kuat. Untung ganteng.
"Kena mental, kan, makanya jangan ganjen." Kini Lia yang tengah sibuk membereskan ruangan bekas ijab qobul kakak perempuanku ini ikut bicara.
"Diam kau, Markonah. Aku tidak butuh pendapatmu."
Masih belum menyerah, aku mengikuti penghulu itu keluar ruangan. Wajah yang tersorot cahaya, benar-benar membuatku meleleh.
"Pak, Pak," panggilku. Dia pun seketika menoleh.
"Kenapa lagi?"
"Boleh minta nomer HP-nya nggak?"
"Buat apa?"
"Buat temen chating. Ya, siapa tau Bapak butuh temen chating yang cerewet kaya aku."
"Yang ada HP-ku nanti panas kalo setiap hari dengar suara kamu." Dia pun pergi begitu saja setelah memakai sepatu.
Tak menyerah, aku pun mengikutinya ketika melangkah ke meja prasmanan. Aku berlari kecil dengan mengangkat sedikit rok kebaya coklat. Aku pun beridri tepat di belakangnya.
"Ayolah, Pak. Boleh, ya. Itung-itung, sodakoh sama orang yang tidak mampu seperti saya."
"Dari tampilan kamu, saya nggak yakin kalau kamu tidak mampu."
Pak Jibril menoleh kembali dan memandangku sekelebat. Ece-ece yang melayani tamu di meja prasmanan, nampak keheranan melihatku.
"Tidak mampu menemukan tambatan hati, Pak." Dari belakang, ia nampak menghela napas.
"Nih." Tiba-tiba, dia memberikan HP-nya padaku. Uwaa, senangnya hati ini.
Tak menunggu lama, aku menggeser layar dan mengetik nomer HP-ku. Lalu, kutelpon nomerku dengan HP-nya.
"Makasih, Pak," ujarku sembari mengembalikan HP miliknya.
"Ada lagi?" tanyanya.
"Udah punya calon belum, Pak?"
Kali ini dia diam dan memilih menghindar. Ya, sudahlah. Tidak masalah. Toh, aku sudah mendapat nomer HP-nya. Berarti mulai besok, aku bisa meneror dia dengan gangombalan ampuh.
"Loh, Yu kok cemberut?" Aku berjalan menuju meja amplop.
"Aku dapet nomer HP-nya."
Aku berhasil nge-prank si Lia. Dia kira aku ini siapa, Ayu Mahesti. Kang gombal seantero kampung. Aku emang nggak jelek-jelek amat, tapi entah kenapa aku belum laku juga.
"Yu, itu ada penggemar beratmu," ucap Lia.
Di sana. Tepat di depan kami berdua ada laki-laki bernama Umar. Ya, dia tetanggaku juga, tapi rumahnya agak jauh.
"Neng Ayu. Aduh tambah cantik aja."
Aku cuma senyum dikit. Itu pun karena terpaksa.
"Iya, Kang."
Aku diam-diam melirik Pak Penghulu yang masih duduk di dekat prasmanan. Dia sibuk mengobrol dengan Mang Juki.
"Udah, Kang. Minggir sana. Merusak pemandangan." Aku mengusir Kang Umar supaya dia cepat pergi. Nggak enak juga kalau sampai Pak Penghulu tampan itu liat kami.
"Minta nomer WA kamu dulu atuh, Neng."
"Nggak ah, nggak ada!" jawabku judes. Aiss, dia itu nggak mau pergi juga.
Kang Umar akhirnya pergi setelah meletakkan amplop uang kepada Lia. Sebelum pergi, tiba-tiba dia memberiku sebuah amplop juga. Berwarna pink.
"Cie, Ayu dapet surat cinta," ledek Lia.
Iuhhh, laki-laki itu benar-benar menyebalkan.
Tanpa kusadari, Pak Penghulu sudah berada di depan meja kami. Ia menatapku sejenak sebelum meletakkan amplop miliknya. Dengan cepat aku menyambar amplop pink di atas meja dan menaruhnya di pangkuan. Nggak enak kalau dia sampai lihat. Takutnya, dia salah paham.
Eh, ternyata dia nelonyor pergi gitu aja. Nggak pamit dulu gitu sama calon istri, eh.
_____
"Yu, kapan kamu mau nikah?" tanya Ibu ketika kami duduk berdua di ruang tamu.
"Kapan-kapan, Bu."
"Umur kamu kan udah mau 25. Masa nggak kepikiran mau nikah?"
"Bu. Teh Rianti aja baru sebulan nikah. Masa sekarang Ibu nyuruh aku cepet nikah? Emang nggak pusing mikirin acara?"
Jengah juga. Semenjak Teh Rianti kenalin Kang Rohman yang sekarang jadi kakak ipraku, ibu terus tanya kapan aku mau kenalin calon suamiku. Beliau juga berharap siapa tahu aku dan Teh Rianti bisa nikah bareng. Jadi, bisa ngirit biaya resepsi.
"Tuh, Umar kan, suka sama kamu. Kenapa nggak kamu tanggepin?"
Aku bergidik. Masa iya, sama laki begitu? Emang iya, sih dia itu nggak jelek-jelek amat. Tapi, masa iya. Belum laku juga kan, aku pilih-pilih kalo soal laki-laki.
"Masa iya aku nikah sama si Umar itu? Sama ulat aja takut. Ibu inget nggak, waktu dulu kita lewat di depan rumahnya pas mau ke sawah. Dia jerit-jerit karena di bajunya ada ulat."
Aku dan ibu terkekeh bersama ketika mengingat saat itu.
"Iya, sih. Tapi, ibu pengen kamu cepet nikah, Yu. Kamu tau nggak. Umur kamu sekarang kalo waktu ibu dulu belum nikah, udah dibawa ke orang pinter."
"Kenapa, Bu?"
"Ya, biar cepet dapet jodoh."
Aku menghela napas kemudian bangkit. Kakiku berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kupakai alas kaki dan berjalan ke halaman. Pandanganku sejenak tersita ke arah deretan pot tenaman bunga mawar milikku.
"Ibu, bunga mawar putihku ke mana?"
"Dibawa Rianti ke rumah mertuanya."
Aishh. Perempuan satu itu sangat menyebalkan. Padahal susah payah aku merawat bunga itu. Seenaknya dia bawa ke rumah mertuanya tanpa ngomong dulu. Awas kamu Teh Ria!
Aku duduk berjongkok di depan pot-pot bunga mawarku hingga beberapa saat kemudian, ada sebuah mobil truk lewat. Jendela depan terbuka lebar sehingga aku bisa melihat siapa yang duduk di sana.
"Loh, itu kan ... ."
Bersambung.......
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan menggantikan mempelai laki-laki untuk menikah dengan Uswa, mantan pacarku saat masih berseragam putih abu-abu. Ilham, teman sekaligus calon suami Uswa ternyata kritis saat acara ijab qobul mereka akan berlangsung. Dalam keadaan genting, Bang Adam beserta keluarga besar Uswa, memintaku untuk menggantikan Ilham. Terkejut, tak percaya, tak siap sama sekali akhirnya aku menikah dengan gadis manis itu. Lalu, bagaimana kehidupan kami setelah menikah?
Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?
Keluarga Gunawan yang dikira miskin ileh orang tuanya hanya karena berpenampilan sederhana. Namun siapa sangka, ia adalah seorang milyarder
21++ Bocil dilarang mampir Kumpululan Kisah Panas Nan Nakal, dengan berbagai Cerita yang membuat pembaca panas dingin
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
WARNING 21+ HARAP BIJAK DALAM MEMILIH BACAAN! AREA DEWASA! *** Saat kencan buta, Maia Vandini dijebak. Pria teman kencan butanya memberikan obat perangsang pada minuman Maia. Gadis yang baru lulus SMA ini berusaha untuk melarikan diri. Hingga ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata seorang CEO. "Akh... panas! Tolong aku, Om.... " "Jangan salahkan aku! Kau yang memulai menggodaku!"
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
Zara adalah wanita dengan pesona luar biasa yang menyimpan hasrat membara di balik kecantikannya. Sebagai istri yang terperangkap dalam gelora gairah yang tak tertahankan, Zara terseret ke dalam pusaran hubungan terlarang yang menggoda dan penuh rahasia. Dimulai dengan Pak Haris, bos suaminya yang memikat, kemudian berlanjut ke Dr. Zein yang berkarisma. Setiap perselingkuhan menambah bara dalam kehidupan Zara yang sudah menyala dengan keinginan. Pertemuan-pertemuan memabukkan ini membawa Zara ke dalam dunia di mana batas moral menjadi kabur dan kesetiaan hanya sekadar kata tanpa makna. Ketegangan antara kehidupannya yang tersembunyi dan perasaan bersalah yang menghantuinya membuat Zara merenung tentang harga yang harus dibayar untuk memenuhi hasratnya yang tak terbendung. Akankah Zara mampu menguasai dorongan naluriahnya, atau akankah dia terus terjerat dalam jaring keinginan yang bisa menghancurkan segalanya?