Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Terjebak Gairah Terlarang
Terjebak Gairah Terlarang

Terjebak Gairah Terlarang

5.0
5 Bab
843 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?

Bab 1 Rental PS Tante Namira

Namaku Julian Dewantara, tapi teman-teman lebih suka memanggilku Jul. Aku siswa kelas 11, dan sejak kecil, dunia basket telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Sejak usia dini, aku sudah terbiasa dengan pelatihan yang intensif, mendorong batas kemampuanku hingga tubuhku tumbuh lebih tinggi dari anak seusia-175 cm, dengan otot-otot yang terbentuk dari kerja keras, bukan sekadar genetik.

Soal wajah, kurasa biasa saja. Tapi entah kenapa, orang-orang sering bilang aku punya sedikit 'bule' di sana, Mata cokelatku, hidung yang sedikit lebih mancung dari rata-rata, dan kulit yang lebih cerah memang memberikan kesan itu. Mungkin karena ibuku pernah menikah dengan pria Italia, dan dari pernikahan itulah akhirnya lahirlah aku. Aku adalah buah dari cinta yang pernah mereka miliki, meski hubungan itu akhirnya tak bertahan lama. Setelah perceraiannya, ibuku membesarkanku sendirian, dengan kasih sayang yang tak pernah berkurang sedikit pun.

Ibuku, seorang wanita tangguh, sekarang membesarkanku sendirian. Dia menjalankan perusahaannya yang berkembang pesat, sering bepergian ke luar kota atau bahkan luar negeri. Meski begitu, komunikasi kami tetap terjaga. Aku belajar banyak darinya tentang kemandirian dan bagaimana menghadapi dunia dengan kepala tegak. Dalam kesibukannya, dia selalu memastikan bahwa aku adalah prioritasnya, dan itu memberiku kekuatan untuk menjadi lebih mandiri. Aku tidak ingin hanya dikenal karena penampilanku. Aku ingin orang melihatku sebagai seseorang yang memiliki nilai, seseorang yang bisa diandalkan, baik di lapangan maupun di luar lapangan.

Dan mungkin itulah yang membuat kehidupanku semakin menarik, di tengah segala tekanan untuk berprestasi dan menjaga keseimbangan antara menjadi diri sendiri dan memenuhi ekspektasi orang lain. Di tengah hiruk-pikuk itu, aku menemukan pelarian kecilku di rental PlayStation milik Tante Namira. Rental PS itu sudah berdiri sekitar dua setengah tahun yang lalu, saat suami Tante Namira, Om Hendi, masih di Indonesia. Enam bulan setelah rental itu buka, Om Hendi mendapat pekerjaan di Australia, dan sejak itu Tante Namira mengelola bisnisnya sendirian. Mungkin itu yang membuatku lebih sering datang ke sana-sesuatu yang membuat jantungku berdegup lebih kencang setiap kali melangkah masuk.

Tante Namira... ada aura yang sulit diabaikan darinya. Setiap gerakannya mengalir dengan anggun, seperti tarian yang tak terucap. Wajahnya selalu menyambut dengan senyum yang lembut, tetapi ada kilatan di matanya yang seolah menyimpan rahasia yang hanya bisa ditebak oleh mereka yang cukup berani untuk mencarinya. Rambut hitam legamnya yang tergerai hingga ke punggung seperti sutra yang mengundang sentuhan, dan ketika dia mengikatnya dengan gaya santai, leher jenjangnya terbuka, mengungkapkan kulit yang begitu halus, menggelitik imajinasi.

Tubuhnya, meski hanya setinggi sekitar 155 cm,tubuhnya adalah perpaduan sempurna antara kelembutan dan daya tarik yang menghipnotis. Pinggang rampingnya melengkung dengan cara yang membingkai pinggul berisinya, setiap langkahnya memancarkan feminitas yang menggoda. Dadanya yang kencang selalu terlihat jelas di balik blus sederhana yang dia kenakan, menciptakan siluet yang sulit untuk diabaikan.

Setiap kali aku duduk di sofa rental itu, berpura-pura sibuk memilih permainan, mataku sering kali tertarik pada sosoknya yang sedang menata koleksi CD atau memeriksa daftar pelanggan. Ketika dia membungkuk sedikit untuk merapikan sesuatu di meja, pandangan mataku dengan sendirinya tertuju pada belahan dadanya yang sedikit mengintip, dan aku harus menahan napas, menahan diri dari membayangkan hal-hal yang seharusnya tidak kupikirkan.

Percakapan sederhana dengannya pun kadang terasa seperti permainan berbahaya. Suaranya lembut, hampir berbisik, tetapi setiap kata yang keluar dari bibirnya membawa getaran yang memicu desir di dada. Ketika dia mendekat, aroma parfumnya yang lembut-campuran melati dan vanila-menggoda hidungku, mengisi ruangan dengan sensasi yang membuat pikiranku melayang.

Namun, sebuah siang yang biasa berubah menjadi awal dari sesuatu yang tidak biasa.

Siang itu, aku sedang merasa bosan. Tanpa rencana, aku memutuskan untuk pergi ke rental PlayStation, mencari hiburan karena ibuku sedang ada urusan perjalanan bisnis ke luar negri. Saat tiba, Tante Namira menyambutku seperti biasa dengan senyumnya yang lembut, senyum yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang.

"Mau main PS? Langsung aja, Jul," katanya dengan nada ramah.

"Kok sepi, Tan?" tanyaku, mencoba memulai obrolan.

Tante Namira mengusap rambutnya yang tergerai, menguncirnya cepat dengan gerakan yang terasa begitu alami. "Tante baru buka, tadi ada urusan sebentar. Makanya agak telat."

"Oh, gitu..." jawabku sambil mengangguk. Aku masuk ke lorong kecil menuju ruang rental, tempat itu seperti biasa beraroma campuran khas: debu halus, sedikit bau keringat pemain lama, dan aroma manis parfum yang selalu melekat padanya.

Aku memilih konsol di sudut ruangan dan mulai bermain. Tak lama setelah itu, Tante Namira masuk. Dia mengenakan daster cokelat selutut yang sederhana tapi entah bagaimana terlihat begitu memukau saat melekat di tubuhnya. Rambutnya kembali tergerai, melambai ringan saat dia berjalan mendekati sofa usang di sudut ruangan.

"Julian," panggilnya lembut, membuatku menoleh. Ada nada berbeda dalam suaranya, lebih santai, bahkan sedikit manja.

"Iya, Tan?" tanyaku, meletakkan stik PS untuk menatapnya.

Tante Namira duduk dengan gerakan anggun, menyilangkan kakinya perlahan. Dia mengusap punggungnya dengan tangan, lalu menatapku dengan mata teduhnya yang membuatku merasa sedikit salah tingkah.

"Tante mau minta tolong, boleh?"

Permintaannya mengejutkanku. Tante Namira jarang, atau bahkan hampir tidak pernah meminta bantuan padaku. Biasanya dia mengurus semuanya sendiri.

"Apa yang bisa aku bantu, Tante?" tanyaku. Ada rasa penasaran bercampur debar di dadaku.

Dia tersenyum kecil, agak ragu, sebelum akhirnya bicara. "Udah beberapa hari ini punggung Tante pegal banget. Kalau gak keberatan, bisa gak kamu pijitin sebentar?"

Permintaannya membuatku terdiam sesaat. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih hangat, atau mungkin hanya perasaanku.

"Boleh, Tante," jawabku akhirnya, mencoba terdengar santai meskipun dalam hati pikiranku berkecamuk.

Aku mengangguk dan menghampirinya. Saat itu, Tante Namira mengenakan daster berwarna cokelat dengan motif batik yang elegan. Daster itu panjang, sedikit di bawah lutut. Guna memudahkan, Tante Namira telah menggulung rambutnya yang panjang ke atas, memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus. Aroma parfumnya semakin terasa dekat, manis dan memabukkan.

Dia berbalik, memberikan punggungnya padaku. Rambutnya yang panjang jatuh ke samping, memperlihatkan kulit leher dan punggungnya yang halus. Aku mendekat, duduk di belakangnya, tangan bergetar ringan saat menyentuh bahunya.

"Pelan-pelan aja, ya," katanya, nadanya hampir seperti bisikan.

Perlahan, dengan sedikit ragu, aku meletakkan tanganku di punggungnya. Kain daster itu terasa lembut di bawah telapak tanganku. Aku mulai memijat dengan gerakan memutar yang lembut, berusaha meniru gerakan pijat yang pernah kulihat di televisi.

"Enak, Jul," desahnya pelan. "Agak ke bawah sedikit, di bagian pinggang."

Aku menurutinya. Sentuhan tanganku di pinggangnya yang ramping membuat aliran darahku terasa sedikit menghangat. Lekuk tubuhnya terasa jelas di balik kain daster. Aku bisa merasakan setiap gerakannya, setiap tarikan napasnya.

"Agak tekan sedikit, Jul. Di situ pas banget," pintanya lagi, dengan suara yang sedikit bergetar.

Aku menambah tekanan pada pijatanku. Otot-otot di punggungnya terasa tegang. Aku terus memijat, perlahan namun pasti. Semakin lama, sentuhanku semakin berani. Tanganku tidak hanya fokus pada titik-titik yang dia sebutkan, tapi juga menjelajahi lekuk punggungnya, merasakan kehalusan kulitnya di balik kain daster.

Tiba-tiba, Tante Namira sedikit menarik dasternya ke atas, tepat di bagian pinggangnya. "Di sini nih, Jul, yang paling sakit."

Jantungku berdegup kencang. Kulit punggungnya yang putih mulus kini terpampang jelas di depan mataku. Tanpa sadar, jemariku menyentuh kulitnya, merasakan kehangatannya. Sentuhan itu terasa begitu lembut, seperti sutra.

"Pelan-pelan aja, Jul," bisiknya, hampir tak terdengar.

Aku terus memijat, kali ini langsung di kulitnya. Sentuhan kulit ke kulit ini mengirimkan gelombang kejut ke seluruh tubuhku. Aku bisa merasakan panas tubuhnya menjalar ke tanganku. Aroma parfumnya semakin kuat, bercampur dengan aroma khas tubuhnya yang membuatku semakin tegang.

Tante Namira sedikit menggeliat, membuat dadanya yang berisi semakin menonjol di balik dasternya. Pemandangan itu membuat tenggorokanku tercekat. Aku tahu ini salah, sangat salah. Tapi godaan itu terlalu kuat untuk kulawan.

Tanpa sadar, tanganku turun sedikit lebih rendah, menyentuh lekuk pinggulnya yang menggoda. Tante Namira tidak menyentak atau menegurku. Malah, dia sedikit melebarkan kakinya, seolah memberi ruang lebih untuk gerakanku.

Keberanianku semakin bertambah. Jemariku mulai bermain-main di pinggulnya, merasakan setiap lekukan dan konturnya. Kulitnya terasa halus dan lembut di bawah sentuhanku.

"Jul..." desisnya pelan, seperti sebuah erangan tertahan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY