ni menjadi medan perang kenikmatan, diserang di tiga titik vital secara bersamaan. Bibirku, rakus dan penuh gairah, melumat lehernya yang jenjang, meninggalkan jejak
gan kananku menari dalam kehangatan basah, me
yang membuatnya menggeliat di bawahku. Desahannya semakin dalam, napasnya mulai tersengal. Puas menjajah lehernya, bibirku turun per
il itu mengeras di antara jemariku. Lidahku bermain-main di sekeliling puti
a tertahan, namanya lolos dar
h dalam pada bibirku. Ia menggeliat seperti ikan yang terdampar, tak berdaya di bawah dominasiku. Bi
itu nikmat, dinding-dindingnya mencengkeram erat, seolah tak ingin melepaskanku. Aku menggerakkan jemariku dengan ritme yang semakin cepat, me
ariku menyentuh titik sensitif itu. Aku tahu, dari pengalaman dan bacaanku, itulah klimaks d
aku menarik keluar jemariku yang basah dari lorong kenikmatannya. Jemariku yang tadi bermain di antara pahanya kini berp
as dan memilin kedua payudaranya yang montok. Getaran kenikmatan menjalar di seluruh tubuh Tante Namira. Ia men
Kulitnya terasa begitu halus, licin seperti sutra yang tersiram embun pagi.
celah itu. Celah tersembunyi di antara kedua pahany
te Namira
n imut dan menggemaskan yang berada di ujung kedua bibir. Sensasi asin dan man
te Namira merintih, suara
ang lebih dalam. Kedua tangannya yang tadi menggenggam sprei kini meremas-remas
ut. Aku bisa merasakan sesuatu yang asin dan manis di lidahku, rasa khas yang hanya bisa ditem
elah basah kuyup. Banjir kenikmatan tel
nya semakin meninggi, tanda bahwa ia s
Aku tak ingin terburu-buru, tak mau Tante Namira mencapai klimaks hanya karena ciumanku di sana. T
unjukkan tanda-tanda kelunakan. Padahal, jika menilik usianya, seharusnya sepasang payudara milik Tante Namira ini sudah mulai kehilangan ke
an untuk meningkatkan intensitas permainan. Dengan kedu
lutut. Dengan gerakan cepat dan efisien, aku menariknya
i tegak dan kokoh, kepalanya yang memerah seolah menantang langit-langit ruangan. Ya, sejak aku melihat Tante Namira membuka dasternya d
dela, kejantananku itu bebas merdeka, berdiri pongah dan siap menerka
sedikit basah. Tatapannya turun perlahan, menelusuri tubuhku yang telanjang, sebelum akhirnya berhenti di pusat perhatianku yang berdiri tegak, menantang, dan siap untuk memuaskan dahaganya. Ia menjilat bibirn
aan bisu yang langsung kupahami. Tante Namira ingin melihatku sepenuhnya. Ia ingin menyentuhku tanpa penghalang. Dengan geatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh. Kami seperti Adam dan Hawa di taman Eden, sebelum mengenal dosa, sebel
tatapannya yang panas, seolah membakar setiap inci kulitku. Ia menjilat bibirnya pelan, sebuah ger