Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Misteri Birahi Kampung Cilendir
Misteri Birahi Kampung Cilendir

Misteri Birahi Kampung Cilendir

5.0
5 Bab
298 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Misteri Birahi Kampung Cilendir adalah sebuah kisah yang menggali sisi gelap sebuah kampung yang tampak damai dan sejahtera di permukaan, namun menyimpan rahasia kelam di balik kehidupan sehari-hari warganya. Di balik senyum ramah penduduknya, tersembunyi konflik batin yang mengguncang jiwa, ketamakan, dan nafsu yang tanpa kendali. Cerita ini membawa pembaca ke dalam kehidupan para tokoh yang terjebak dalam dilema moral, di mana keinginan yang tak terungkap beradu dengan norma dan harapan yang dibebankan masyarakat. Ketegangan antara pengendalian diri dan dorongan syahwat yang tak terkontrol membentuk alur yang penuh gejolak, meruntuhkan segala harapan akan kehidupan yang sederhana dan tenang. Satu per satu rahasia kampung ini terungkap, membuka gambaran bahwa kadang, kehidupan yang tampak sempurna justru menyembunyikan kelicikan yang membahayakan

Bab 1 Pagi Di Cilendir

Pagi itu, udara di kampung Cilendir terasa sejuk, membawa embusan angin yang menenangkan. Meskipun matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, kehidupan di kampung sudah mulai menggeliat. Di setiap rumah, suara burung berkicau, alat dapur beradu dengan suara riuh tangisan anak-anak yang baru bangun. Namun, di rumah Bi Wati, suasana pagi hari berbeda.

Bi Wati berdiri di depan pintu, tangan menyilang, wajah merah padam, matanya tajam menatap suaminya, Mang Amsar, yang tampak terburu-buru dengan tubuh masih setengah terbangun. Dari luar, hanya terdengar suara televisi dan gesekan sandal jari-jari kakinya yang gemetar.

"Eh, Amsar, kamu masih bisa tidur saja? Ronda tiap malam di rumah Tante Amor, terus pagi begini bangunnya kesiangan!" Bi Wati mulai menggertak, nada suaranya makin meninggi. "Gimana sih, ya? Udah tahu, rumah tangga itu butuh biaya, kamu pikir anak-anakmu gak butuh makan apa!"

Mang Amsar yang baru selesai mencuci muka, terlihat kebingungan. "Bukan begitu, Wati. Ronda itu tugas, tugas! Biar nggak ada pencurian di kampung, kita?" jawabnya dengan terbata, matanya yang mengantuk berusaha menatap istrinya, meskipun masih belum sepenuhnya sadar.

"Tugas? Tugas?" Bi Wati hampir teriak, tangannya mengepal. "Aku lihat, kamu justru rondanya gak jauh-jauh dari rumah si Amor! Apa kamu kira aku nggak tahu? Punya istri di rumah nggak pernah dipedulikan, malah ke sana-sini!"

Mang Amsar menggelengkan kepala. "Nggak gitu, Wati, jangan su'udzon terus. Aku cuma jaga di rumah Tante Amor kan kalau ada tugas dari Pak RT. Om Alfi kan memang sering gak ada di rumahnya!" jawabnya sambil berusaha menenangkan.

Tetapi, Bi Wati sudah terbakar emosi. "Bantuin apa? Ngobrol sambil ketawa-tawa sampai pagi?! Mau jadi apa rumah tangga kita, Amsar?" Bi Wati mulai mondar-mandir di ruang depan, gelisah dan tak sabar. "Kalau kamu masih suka begadang terus, udah deh, tidur aja di luar, di situ..., gak usah pulang sekalian, cuma ngabisin nasi aja!"

Mang Amsar menahan napas, berusaha meredakan kepala yang pusing akibat kurang tidur. "Wati, kamu jangan kebawa perasaan... Aku cuma... cuma..."

"Jangan cuma-cuma! Coba pikir, anak-anak butuh kasih sayang kamu, masa kamu lebih sayang sama rumah orang lain! ingat usia udah mau punya cucu!" Bi Wati memotong, tak memberi kesempatan Mang Amsar berbicara lagi.

Pertengkaran itu semakin panas, dengan setiap kata yang keluar dari mulut Bi Wati semakin tajam, dan Mang Amsar yang hanya bisa diam, merasa tubuhnya seperti berfungsi setengah.

Pagi yang damai di Cilendir kini berubah menjadi tegang, dan dari luar, tetangga mulai memperhatikan, meski mereka mencoba terlihat biasa saja.

Sementara itu, suara langkah kaki kecil di luar rumah semakin banyak. Suara tawa riang anak-anak yang baru bangun tidur bertemu dengan suara cekcok dua orang tua yang menjadi saksi mata dari pergulatan perasaan yang tak terucap. Di balik keributan itu, hidup di kampung Cilendir tetap berlanjut, meski dengan sedikit kecemasan.

Di samping dapur, beberapa tetangga mulai bersuara pelan, mencoba mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Bi Wati dan Mang Amsar. Ada Mbak Darmi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan, lalu Pak Harun yang sibuk menyapu, serta Bi Edah yang berjalan dengan ember besar menuju sungai.

Mereka saling bertukar pandang, berusaha menangkap setiap detail pertengkaran yang tengah berlangsung di rumah Bi Wati.

"Eh, dengar-dengar, Mang Amsar semalam habis ronda di rumah Tante Amor ya?" bisik Mbak Darmi kepada Pak Harun sambil pura-pura sibuk memeriksa tanaman bunga.

Pak Harun mengangguk, matanya menyipit, "Iya, katanya sih, cuma ngobrol-ngobrol, tapi nggak tahu deh... Bi Wati pasti marah banget, kalau udah kayak gitu, ya kita semua kenal gimana mulut Bi Wati, gak ada remnya, hehehehe."

Sementara itu di area sekitar sungai, Bi Edah yang baru datang ikut bergabung, mengangkat ember dengan hati-hati, mencoba mendengarkan dengan seksama obrolan tetangganya yang ternyata sedang membahas topik yang sama.

"Nggak heran kalau Bi Wati mulai kebakar, siapa yang nggak panas kalau suaminya malah ke rumah tetangga terus begadang sampai pagi, ya kan?" Ia menambahkan dengan nada yang lebih rendah, sejatinya apa yang dialaminya sama persis dengan yang dialami Bi Wati, hanya dia tak berani protes.

"Jadi, Bi Wati itu marah besar, ya? Sampai ngomel-ngomel nggak karuan?" Bu Endang bertanya, sambil memeras pakaian yang basah.

"Iya, biar Mang Amsar bilang apa pun, tetap aja pasti nggak bisa ngeles," jawab Mbak Itar sambil menyentuhkan tangannya pada air sungai yang mengalir jernih. "Dia tuh suka lupa, kalau udah terlalu banyak begadang, jadi suami yang nggak peka."

Pak Harun yang kebetulan lewat tertawa kecil, "Suka-suka Mang Amsar aja, sih, kalau mau begadang. Tapi kalau udah nyampur dengan urusan rumah tangga, itu sih bukan urusan kita lagi, hehehe," ucapnya bijaksana.

'Iya, solanya kamu juga sama aja dengan Mang Amsar dan suamiku,' celetuk Bi Elah dalam hati, sambil memandang Pak Harun yang hendak ke pemandian laki-laki.

Suasana menjadi semakin hangat dengan tawa ringan mereka. Di tengah gemericik air sungai, cerita tentang rumah tangga Bi Wati dan Mang Amsar semakin berkembang. Mereka saling menambahkan cerita dari sudut pandang masing-masing, membuat obrolan itu tak hanya berputar pada satu peristiwa, tapi juga berujung pada cerita-cerita lain tentang kehidupan rumah tangga yang kadang tak seindah yang terlihat di luar.

"Pokoknya, kalau Mang Amsar nggak hati-hati, bisa makin runyam tuh, tahu sendiri Bi Wati!" kata Bu Endang dengan senyum lebar.

"Sebenarnya Bi Wati itu, walaupun galak, hatinya lembut kok. Tapi ya, cemburuannya itu, padahal belum tentu juga, lagian kita juga tahu siapa Tante Amor." timpal yang lain, yang baru datang tapi sepertinya sudah lama nguping.

Di sungai yang tenang itu, obrolan tentang kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak mengalir begitu saja. Terkadang, apa yang tampak di luar itu hanya topeng, sementara kehidupan sesungguhnya bersembunyi di dalam rumah-rumah kecil yang penuh dengan rahasia.

Nama Tante Amor memang telah menjadi pusat perhatian di kampung itu, dan para emak-emak seakan tak pernah berhenti memujinya. Di teras rumah sederhana mereka, di bawah teduhnya pohon rambutan, suara cekikikan dan obrolan santai ibu-ibu berkumpul. Sebagian besar tampak senang, wajah-wajah berseri-seri, berbicara dengan penuh kekaguman tentang penduduk baru di kampung mereka.

"Tante Amor tuh ya, luar biasa! Gak cuma cantik, tapi kayaknya dia juga pinter banget, ya? Bukan hanya soal urusan rumah tangga, eh, tahu aja dia soal semua yang ada di sini. Terus kalo ngobrol sama dia, rasanya nyaman banget!" ujar Bu Siti sambil menyuapi cucunya yang merengek.

"Ya ampun, bener! Apa nggak kebayang sih kalau jadi istrinya Om Alfi? Suaminya pengacara terkenal, punya rumah gede. Terus, lihat aja gaya berpakaiannya, kayak artis-artis itu, ya. Tapi tetep rendah hati, nggak sombong!" kata Bu Nia dengan senyum lebar, sambil mengusap rambutnya yang mulai memutih.

"Iya, ya, Bu. Dia tuh nggak pelit ilmu, nggak pelit perhatian. Makanya, semua warga juga pada suka sama dia. Sopan banget, walaupun bajunya modern, nggak ada yang nggak suka." Bi Ina mengangguk setuju, merasa cukup bangga dengan pujian-pujian yang diterima Tante Amor.

Namun di antara senyum manisnya mereka, ada satu hati yang berbeda.

"Kalau buat aku sih, si Amor itu cuma wanita gatel, tahu nggak? Pengen banget menggoda para lelaki kampung kita. Dia tuh sengaja lho, kayaknya sih pengen cari perhatian. Duh, kalau gitu kan keliatan levelnya rendahan banget!" celetuk Bi Wati sinis.

Seketika suasana berubah. Semua emak-emak yang sedang duduk santai langsung terdiam. Hening sejenak. Lalu, suara tawa pecah.

"Aduh, Bi Wati, ngaca dulu lah! Emang Mang Amsar seganteng apa sih?" Bu Nia langsung melontarkan sindiran.

"Ih, dasar Bi Wati! Jangan bilang orang gatel, deh! Om Alfi aja suaminya udah kaya bintang film, mana ada sih Tante Amor mau godain suami-suami kita yang penuh lumpur sawah?" tambah Bu Siti sambil tersenyum lebar, seolah ingin menambah beban kekalahan di hati Bi Wati.

Mendengar itu, Bi Wati hanya bisa menyeringai, meskipun dalam hatinya ada rasa panas yang kian membakar. Tak tahan lagi, ia pun berbalik, menanggalkan senyum manisnya yang mulai kaku, dan melangkah pulang.

Namun, tidak semudah itu dia bisa pergi dengan damai. Emak-emak tetangganya yang sedari tadi memuja-muji Tante Amor bersorak, bahkan yang pendiam pun ikut-ikutan.

'Dasar ternak si lonte Amor!" maki Bi Wati dalam hati.

Suasana yang semula terasa agak tegang, akhirnya kembali penuh tawa, dengan Bi Wati yang semakin menjauh, menggerutu sendiri sambil melangkah pulang.

Semua emak-emak yang tadi berdebat pun kembali larut dalam obrolan ringan yang ceria. Walau gas melon langka, mereka tak peduli karena kayu bakar di hutan masih tersedia banyak.

^*^

^*^Mohon kebijaksanaannya dalam memilih bacaan. Bab-bab tertentu yang terkunci memuat konten khusus dewasa dengan eksplorasi tema yang lebih mendalam dan eksplisit (21+ tanpa sensor.) *^*

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY