/0/21086/coverbig.jpg?v=20241114160630)
Saat hubungan mereka diuji oleh jarak dan waktu, seorang wanita tetap setia menunggu kekasihnya yang harus bekerja di luar negeri. Setiap tantangan yang mereka hadapi hanya memperkuat cinta mereka, meskipun banyak godaan yang datang menguji kesetiaannya.
Nisa duduk di bangku taman bandara, matanya menatap kosong ke arah pesawat yang terparkir di landasan. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat murung, dan perasaan berat menjalar di hatinya. Di sampingnya, Rian berdiri, sesekali melihat jam tangannya. Tak ada yang bisa menghilangkan rasa cemas di dadanya.
"Ini waktunya, Nis," kata Rian pelan, suaranya serak, seolah mencoba menahan perasaan yang menggelora. "Aku harus pergi sekarang."
Nisa menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia bisa merasakan bahwa ini adalah perpisahan yang tak akan mudah.
"Kenapa harus begitu jauh, Rian? Kenapa tak bisa mencari pekerjaan yang lebih dekat?" Nisa bertanya, suara nyaris tak terdengar.
Rian menatapnya dengan tatapan penuh kasih. "Aku juga nggak ingin pergi, Nis. Tapi ini kesempatan yang nggak bisa kutolak. Kamu tahu itu."
Nisa menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. "Aku tahu, tapi... kenapa sekarang? Kenapa kita harus diuji seperti ini?"
Rian menghela napas, duduk di samping Nisa dan meraih tangan Nisa dengan lembut. "Kita nggak bisa menghindari kenyataan, Nis. Tapi aku janji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Kita akan tetap berkomunikasi, kita akan tetap menjaga hubungan ini. Aku ingin kita tetap bersama, meski jarak memisahkan."
Nisa menatap mata Rian yang penuh keyakinan. "Tapi, bagaimana jika kita mulai berubah seiring berjalannya waktu? Apa jika aku merasa kesepian tanpa kamu?"
Rian tersenyum lembut, namun ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya. "Aku tahu ini akan sulit, Nis. Tapi percayalah padaku, percayalah pada kita. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku yakin kita bisa melewati ini."
"Apakah kamu yakin kita bisa tetap setia?" Nisa bertanya, matanya berkaca-kaca.
Rian mengangguk, mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku yakin, Nis. Kita sudah melalui banyak rintangan, dan jarak ini hanya akan membuat kita lebih kuat. Aku nggak akan pernah mengingkari janji kita."
Nisa menunduk, air matanya akhirnya jatuh. Ia merasa sangat bingung, takut, dan rindu pada saat yang bersamaan. "Aku takut, Rian. Aku takut kita nggak akan sama lagi setelah ini."
Rian menggenggam tangan Nisa lebih erat, mencoba memberikan kekuatan. "Kita akan tetap sama, Nis. Waktu dan jarak nggak akan mengubah apa yang kita miliki. Ini hanya sementara. Kamu dan aku, kita sudah janji, kan? Setia tanpa ragu."
"Setia tanpa ragu..." Nisa mengulangi kata-kata itu pelan, mencoba mengingatnya dalam hati. Meski hatinya penuh keraguan, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan menunggumu, Rian. Aku akan setia, apapun yang terjadi."
Rian menatapnya penuh kasih, dan perlahan menundukkan wajahnya untuk mencium kening Nisa. "Aku akan kembali, Nis. Dan kita akan lebih bahagia. Aku janji."
Nisa hanya mengangguk, sambil menghapus air matanya. Ia tahu bahwa keputusan ini bukanlah yang mudah, namun ia juga tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapinya.
Mereka berdua berdiri, dan dengan langkah berat, Rian mulai berjalan menuju pintu keberangkatan. Nisa menatapnya pergi, hati terasa seperti terkoyak, namun kata-kata Rian terus bergema di benaknya, "Setia tanpa ragu."
Setelah Rian melangkah menjauh, Nisa masih berdiri di tempatnya, menatap sosok pria yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Pesawat yang akan membawanya pergi sudah semakin dekat, dan detik-detik itu terasa begitu panjang. Suara langkah kaki Rian menghilang, digantikan oleh suara pesawat yang mulai terdengar di kejauhan.
Nisa mengalihkan pandangannya ke langit yang tampak kelabu. Hatinya terasa kosong, seolah seluruh dunia mendadak menjadi jauh dan sepi. Semua kenangan bersama Rian berputar-putar di pikirannya. Mereka pernah tertawa, menangis, dan berbagi mimpi-semua itu kini terancam lenyap oleh jarak yang tak bisa dijangkau.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, memecah keheningan. Nisa mengambil ponselnya dari tas, dan melihat nama Rian muncul di layar. Hatinya berdegup kencang.
"Nis..." suara Rian terdengar dari ujung telepon. "Kamu masih di sana?"
Nisa tersenyum tipis, mencoba menahan isakan tangis yang mulai mendesak keluar. "Aku di sini, Rian. Aku baru saja melihat kamu pergi..."
"Aku tahu ini berat, Nis. Tapi kamu harus tahu, aku nggak akan pernah jauh dari kamu. Apapun yang terjadi, kamu selalu ada di hati aku."
Nisa menutup mata, berusaha menenangkan diri. "Rian, aku takut. Takut kita akan berubah, takut kita nggak bisa menjaga janji kita."
"Kamu nggak perlu takut, Nis. Ini hanya sementara. Aku akan terus berusaha, dan kita akan berjuang bersama. Nggak ada yang bisa menghentikan kita, termasuk jarak."
Nisa menarik napas panjang, merasakan beratnya kata-kata yang terlontar. "Aku ingin percaya itu, Rian. Tapi... aku nggak tahu berapa lama aku bisa bertahan tanpa kamu di sini. Tanpa mendengar suaramu setiap hari, tanpa bisa melihat senyummu."
"Kamu akan selalu punya aku, Nis. Setiap detik, setiap menit, aku akan selalu di sini, menemanimu dalam hati. Kita akan melalui ini bersama."
Ada jeda sejenak sebelum Rian melanjutkan, suaranya lebih dalam dan penuh keyakinan. "Aku tahu kamu kuat, Nis. Kamu sudah selalu menguatkanku, dan sekarang giliran aku untuk menguatkan kamu."
Nisa memejamkan mata, merasakan ada sebuah kekuatan yang mengalir dari kata-kata Rian. Meskipun hatinya masih terasa sakit, ia tahu bahwa perasaan ini-perasaan saling mencintai dan saling menguatkan-akan menjadi dasar dari semuanya.
"Aku akan menunggumu, Rian," Nisa berbisik, suara penuh keyakinan meski air mata masih membasahi pipinya. "Setia tanpa ragu."
"Aku janji, Nis, aku akan kembali untukmu."
Rian mengakhiri panggilan dengan sebuah kata yang terasa menguatkan, "Aku cinta kamu."
Setelah menutup telepon, Nisa masih berdiri di luar terminal bandara, matanya menatap kosong ke arah jalan raya yang sibuk. Pikirannya kacau, hatinya terasa seperti terbelah. Meski kata-kata Rian memberikan sedikit ketenangan, rasa takut dan cemas tetap membayangi. Bagaimana jika waktu dan jarak mengubah segalanya?
Seiring berjalannya waktu, bandara mulai sepi, hanya beberapa orang yang masih lalu lalang, tetapi bagi Nisa, waktu seperti berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya.
"Tapi aku harus kuat," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia tahu, ini bukan perpisahan selamanya. Rian akan kembali, seperti yang dijanjikan. Tapi selama waktu itu, bagaimana ia bisa tetap setia?
Nisa merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas kecil yang sudah lama ia simpan. Itu adalah sebuah surat yang Rian tulis sebelum berangkat. Surat yang menjadi pengingat akan janji mereka. Dengan hati-hati, Nisa membuka lipatan surat itu dan mulai membaca dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Nisa, cintaku,
Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu dan untukku. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan aku percaya kita bisa melewati ini juga. Jarak akan membuat kita lebih kuat, waktu akan membuat kita lebih sabar. Aku akan selalu menantimu, menunggu saat kita bisa bertemu lagi.
Aku akan selalu mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini. Dan ketika aku kembali, aku ingin kita memulai semuanya dengan cara yang lebih baik. Jangan ragu untuk menunggu aku, karena aku akan kembali dan aku akan tetap setia pada kita.
Dengan cinta, Rian."
Surat itu mengingatkan Nisa akan segala yang mereka impikan, segala yang mereka perjuangkan bersama. Air matanya mulai menetes, namun kali ini ia tidak merasa seberat tadi. Ada sedikit kedamaian yang mulai meresap di hatinya. Rian tidak akan mengingkari janjinya. Ia tahu itu. Mereka sudah berjanji, dan janji itu lebih kuat daripada apapun yang bisa menghalangi mereka.
Saat itulah ponselnya bergetar lagi. Nisa melihat nama Rian muncul di layar. Seketika, sebuah senyum muncul di wajahnya.
"Halo?" jawabnya, suara sedikit tergetar namun mencoba terdengar tenang.
"Aku tahu kamu masih cemas, Nis," suara Rian terdengar begitu jelas dan penuh perhatian. "Aku hanya ingin kamu tahu, kamu nggak sendirian. Aku selalu ada di sini, meski kita terpisah."
Nisa menatap langit, dan kali ini ia merasa sedikit lebih ringan. "Aku tahu, Rian. Tapi kadang aku merasa kesepian, dan takut aku akan mulai melupakanmu."
"Jangan pernah takut seperti itu, Nis. Aku nggak akan pernah pergi dari hidupmu, meski aku jauh di sana. Kamu adalah bagian dari diriku, dan aku nggak akan lupa itu."
Nisa terdiam, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Rian. Perasaan ragu yang sempat mengganggu hatinya mulai mereda, digantikan dengan keyakinan bahwa cinta mereka akan selalu ada, meski jarak tak bisa dihindari.
"Aku janji, Nis. Aku akan terus berusaha, dan aku ingin kita tetap bersama. Satu tahun, dua tahun, sepuluh tahun pun kalau perlu, aku akan kembali. Menunggumu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan sekarang."
Nisa menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. "Aku akan menunggumu, Rian. Aku akan setia tanpa ragu. Itu janji aku."
Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan kedekatan meski tak berada di tempat yang sama. Tiba-tiba, suara pengumuman terdengar di seluruh terminal, mengingatkan para penumpang untuk segera menuju pintu keberangkatan.
"Aku harus pergi, Nis," kata Rian akhirnya, suara berat. "Tapi aku ingin kamu tahu satu hal."
"Apa itu?" Nisa bertanya dengan lembut, hatinya hampir pecah karena perpisahan ini.
"Aku akan kembali untukmu. Jangan pernah ragu akan itu. Aku akan kembali, Nis, dan kita akan menjalani hidup yang sudah kita impikan bersama. Setia tanpa ragu."
Nisa menarik napas panjang, merasakan sebuah keteguhan baru yang menguatkan dirinya. "Setia tanpa ragu," jawab Nisa dengan penuh keyakinan, meski ada rasa perih di dadanya.
"Aku cinta kamu, Nis," Rian berkata, suara penuh emosi.
"Aku juga cinta kamu, Rian. Selalu."
Dengan satu kalimat itu, telepon pun terputus. Nisa menatap layar ponselnya sejenak, merasa kehilangan namun juga merasakan kekuatan yang datang dari kata-kata mereka. Meskipun perpisahan ini sangat berat, ia tahu bahwa cinta mereka jauh lebih besar dari apapun. Setia tanpa ragu, itu adalah janji mereka. Dan Nisa bertekad untuk tetap menunggu, hingga Rian kembali ke pelukannya.
Bersambung...
Ketika seorang pria harus pindah ke kota lain untuk mengejar karier, ia dan kekasihnya menjalani hubungan jarak jauh. Meski sulit dan penuh tantangan, mereka berjanji untuk tetap setia hingga suatu hari mereka dapat bersatu kembali.
Seorang anak laki-laki yang suka menulis puisi membuatkan puisi cinta pertama untuk teman sekelasnya yang cantik. Namun, saat ia membacakannya di depan kelas sebagai tugas sekolah, ia tak menyangka teman-temannya akan tertawa. Kini ia harus memilih antara merasa malu atau mencoba lagi.
Sari, seorang wanita karier sukses, memiliki kehidupan pernikahan yang tampaknya sempurna. Namun, ketika ia mulai jatuh cinta pada koleganya, Fajar, rahasia kelam suaminya terungkap. Ternyata, suaminya juga berselingkuh. Dalam keputusasaan, Sari harus memutuskan apakah ia ingin menyelamatkan pernikahan atau meraih kebahagiaan dengan Fajar.
Lina, seorang wanita yang menikah bahagia selama 10 tahun, merasa suaminya, Ardi, mulai menjauh. Ketika ia bertemu dengan Ivan, teman masa kecilnya, api lama menyala kembali. Lina dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dalam pernikahan yang mulai dingin atau mengikuti hatinya yang kini bergejolak pada Ivan.
Seorang siswa yang berbakat dalam bermain piano bertemu dengan siswi baru yang memiliki suara indah. Mereka berdua bekerja sama untuk kompetisi musik sekolah, dan melalui melodi, perasaan cinta mulai tumbuh di antara mereka.
Seorang playboy kaya dan terkenal yang tidak pernah percaya pada cinta bertemu dengan seorang wanita yang berbeda dari yang lain. Saat mereka terlibat dalam hubungan yang menggairahkan, dia harus memilih antara kehidupan lamanya yang penuh kebebasan atau menerima cinta sejati.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Marsha terkejut saat mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Karena rencana putri asli, dia diusir dan menjadi bahan tertawaan. Dikira terlahir dari keluarga petani, Marsha terkejut saat mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah orang terkaya di kota, dan saudara laki-lakinya adalah tokoh terkenal di bidangnya masing-masing. Mereka menghujaninya dengan cinta, hanya untuk mengetahui bahwa Marsha memiliki bisnis yang berkembang pesat. “Berhentilah menggangguku!” kata mantan pacarnya. “Hatiku hanya milik Jenni.” “Beraninya kamu berpikir bahwa wanitaku memiliki perasaan padamu?” kata seorang tokoh besar misterius.