eri sedikit cahaya. Di sebuah kafe kecil yang mereka sukai, Nisa dan Rian duduk berseberangan di meja yang sama, saling menatap dengan t
ski wajahnya tampak tegang. "Ini hanya sementara. Ak
uar. "Aku nggak tahu bagaimana harus bertahan tanpa kamu di sini, Rian," jawab Nisa, suaranya hampir serak, menahan tangis yang
ini berat, Nis. Aku juga ngerasa hal yang sama. Tapi ingat, kita sudah
takut. Aku takut aku nggak bisa menghadapinya. Aku takut kita
an aku, Nis. Aku akan terus berusaha untuk tetap ada dalam hidup kamu, walau jarak dan waktu ber
ncoba tersenyum. "Aku ingin percaya itu. Aku ingin mempercayai kita.
Rindu itu akan datang, dan kadang itu akan sangat menyakitkan. Tapi itu artinya kamu masih mencintaiku, dan aku pun merasakannya. Aku
elimuti hatinya seperti kabut yang sulit dihilangkan. "Rian, aku nggak tahu berapa
Nis. Aku tahu kamu bisa bertahan. Kita cuma butuh waktu, dan aku akan berusaha membuat waktu it
n selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih baik, meski jarak di depan mata tak pe
mbali untukmu. Ingat, aku nggak akan pernah jauh. Kita punya hati yang sama. Setiap detik, setiap
, karena keduanya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Mereka berdua tahu bahwa perpisahan ini hanya sementara. Meskipun Nisa merasa be
perti ingin menyimpan seluruh kenangan mereka dalam pelukanny
meski hatinya terasa hancur. "Aku tahu,
rnah tergoyahkan oleh jarak atau waktu. Malam itu adalah malam terakhir mereka bersama sebelum Rian berangkat. Namun, mala
pu jalan yang remang. Udara malam itu terasa dingin, meskipun hatinya terasa begitu panas karena perasaan yang bergemuruh. Nisa m
yumannya tampak sedikit terpaksa. "Kamu pasti merasa berat, kan?
ngan air mata yang menunggu untuk jatuh. "Aku takut, Rian... Aku t
"Kita akan kuat. Kita cuma perlu saling ingatkan kalau kita punya janji
ak bisa berhenti berair. "Tapi rasanya sulit. Bag
n. "Kamu nggak akan berubah, Nis. Aku percaya sama kamu. Dan aku akan selalu kembali ke
capkannya. Meski hatinya bergejolak, ia tahu bahwa Rian benar-benar berusaha me
a berdua masuk ke dalamnya. Suasana dalam mobil terasa hening. Radio yang biasanya mengiringi
h cahaya lampu, namun setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin berat di hatinya. Ia ingin
u, Nis, apa yang membuat aku bertahan sejauh ini? Kamu. Setiap kali aku merasa lelah, ka
erasa begitu, Rian. Setiap kali aku merasa takut, aku berpikir tentang
u ini akan berlalu, dan kita akan kembali bersama. Aku akan sel
ampir berhenti berdetak. Rian keluar terlebih dahulu, lalu membuka pintu untuk Nisa. Mereka berd
ap," kata Nisa pelan
uga nggak siap, Nis. Tapi kita nggak punya pilihan
ya penuh kasih. "Aku cinta kamu, Nis. Lebih dari
mata yang belum sempat ia tangisi. "Aku j
a sedikit kekhawatiran di matanya. "Aku ngg
in mengumpulkan semua kenangan mereka dalam satu momen. Tak ada kata-kata lagi yang keluar, hanya pelukan d
itu dan memberi Nisa satu ciuman
menahan isak tangis. "Selamat j
ngkatan. Nisa berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatinya sakit, namun di dalam dirinya,
matanya. "Setia tanpa ragu," bisiknya, mengulang janji yang mereka buat. Dan meskipun air mata
ambu