Harusnya Safira tidak menerima kesepakatan yang ditawarkan calon adik iparnya yang bernama Kai. Harusnya dia bisa menjaga hati dan cintanya hanya untuk sang calon suami-Arkana. Hingga tanpa sadar, Safira pun telah melanggar batas yang tidak seharusnya dia lewati. Membiarkan Kai-calon adik iparnya mengusik ketenangan hatinya dan membuatnya goyah. Dosa Termanis antara Safira dan Kai pun tak bisa terelakkan. Bahkan, sampai menumbuhkan benih di rahim sang gadis yang berstatus sebagai calon istri pria lain. Akankah Safira bahagia dengan kesalahan fatal yang sengaja dia lakukan? Siapakah di antara Kai dan Arkana, yang pada akhirnya akan menjadi pelabuhan terakhir Safira? Simak kisahnya di sini!
happy reading:")
***
Siang itu seorang gadis cantik berpenampilan sederhana terlihat sedang berbincang dengan seorang lelaki yang penampilannya berbanding terbalik. Tubuh proporsional dibalut dengan setelan jas warna hitam, wajah sangat tampan, dan senyuman yang menawan membuat para perempuan di sekitar curi-curi pandang.
Keduanya terlibat obrolan ringan sambil menikmati menu yang tersaji di meja Restoran, yang cukup terkenal. Di weekend seperti sekarang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pasangan serasi itu. Bertemu dua kali dalam seminggu merupakan salah satu cara agar hubungan mereka tetap terjaga.
Dan di setiap pertemuan, mereka akan membahas mengenai apa saja tak terkecuali masalah pekerjaan. Sang wanita terus tersenyum, kadang tersipu apabila mendapat perhatian kecil dari pujaannya. Namun senyuman itu seketika pudar ketika bunyi pesan masuk terdengar.
Wanita yang memakai jumpsuit dress warna maroon sebatas lutut itu melirik pada ponselnya, lalu mengejanya dalam hati.
Kai : [Ke sini sekarang! Gue tunggu! Gue duduk di deket pintu keluar restoran ini.]
Safira berdecak setelah membaca notifikasi pesan yang masuk lewat pop up layar ponselnya. Dia membiarkannya, tak berminat untuk membukanya. "Dia gak tau apa, kalo aku lagi sama Arkana?" cicitnya lirih yang hanya dapat didengar dirinya sendiri.
Kai selalu saja mengganggu di mana pun Safira berada. Bahkan tak segan untuk menerornya. Menyebalkan!
Pesan dari Kai, Safira abaikan, dan dia memutuskan kembali berbincang dengan Arkana. Namun, belum ada satu menit, bunyi notifikasi pesan masuk kembali berdenting. Manik Safira memejam sesaat, seraya mengontrol emosi agar tidak meledak, dan bisa membuat Arkana curiga.
Akan tetapi, Arkana tidak tuli, dan dia cukup peka.
"Siapa, Fir? Kayaknya dari tadi ada yang kirim chat? tanyanya, melirik ponsel Safira yang tergeletak di meja. Layarnya perlahan meredup sehingga Arkana belum sempat melihat notif pesan yang masuk.
Safira membeku seketika, otaknya mendadak blank, dan tidak bisa digunakan untuk berpikir cepat.
Pertanyaan Arkana jelas memaksa perempuan itu untuk menjawabnya, dan mengarang satu kebohongan lagi.
"Ah, eng ... gak, kok, Mas. Bukan siapa-siapa." Safira menampik dengan senyum terkesan kaku, dan sudut matanya terus melirik pada ponselnya. Beruntung Arkana mengangguk percaya pada jawaban yang diberikan Safira.
'Bener-bener si Kai!' umpatan itu terlontar dalam hati Safira.
Mau tidak mau, Safira harus menemui Kai, supaya dia berhenti mendapat teror dari lelaki itu. Ya, harus!
Berdeham singkat, sambil mengatur napas, dan degup jantung yang seperti habis dikejar-kejar setan, Safira pun beranjak dari duduknya dan berpamitan, "Mas, aku ke toilet bentar, ya?"
Arkana mengangguk tanpa menaruh curiga sedikit pun pada kekasihnya itu. "Iya, Fir. Jangan lama-lama. Habis dari sini kita harus ke butik buat fitting baju."
"Iya, Mas." Mendapat izin dari Arkana, Safira tak membuang-buang waktu lagi. Dia melenggang dengan cepat, sedikit berlari sambil menggerutu kesal. "Gara-gara si Kai, aku jadi bohong terus sama Arkana."
Sambil berjalan, Safira menghubungi Kai yang katanya berada di Restoran yang sama. Gadis itu memelankan langkah, ketika mengenali sosok berbaju lengan panjang hijau army melambai ke arahnya. Niat menghubungi pun dia tunda.
"Kai?" desis Safira dengan perasaan dongkol setengah hidup, meremas benda pipih di tangan, kemudian berjalan menghampiri Kai yang duduk agak jauh dari tempatnya berdiri.
Rupanya, Kai tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Buktinya, lelaki bertato dan bertindik di telinga itu benar-benar menyusulnya ke tempat ini.
Sial!
Hidup Safira selalu dirundung kesialan selama mengenal dan berurusan dengan makhluk bernama Arthur Barack Kai.
-
"Duduk!" Kai memerintah seenak jidat begitu gadis yang dia tunggu tiba di depan mata.
"Gak mau! Aku nyamperin kamu cuma bentar doang. Tadi aku alesan sama Mas Arkana cuma ke toilet," tolak Safira menyahut ketus, wajahnya masam sambil bersedekap dan mata memicing tajam ke arah Kai yang terlihat santai.
Benar-benar menyebalkan!
"Dia masih di sini?" Lelaki yang siang ini memakai topi hitam itu mendengkus, mendengar Safira menyebut nama Arkana dengan panggilan 'MAS'. Berbeda sekali dengan cara Safira memanggilnya.
Safira memutar bola matanya, "Masihlah! Habis dari sini aku sama dia mau ke butik."
Sepasang alis Kai terangkat tinggi, "Mau ngapain?" tanyanya, seraya melarikan pandangan ke arah Arkana yang duduk agak jauh memunggungi posisi keduanya. Agak jauh dan tentu saja Arkana tidak tahu jika tunangannya menghampiri pria lain di satu tempat yang sama. "Suruh dia pulang, Fir! Gue mau ngajak lu pergi."
"Eh?" Safira mengerjap heran mendengar Kai lagi-lagi memerintah. Menghela napasnya kasar, Safira tidak mengacuhkan pertanyaan Kai sebelumnya, dia justru melayangkan protes, "Ya ... Gak bisa, dong! Sekarang 'kan memang waktunya aku pergi sama dia. Ini weekend, Kai. Kamu gak bisa perintah aku seenaknya."
Perjanjian awal tidak seperti ini. Setiap weekend atau saat Safira off. Dia dan Arkana hanya sempat bertemu di hari tertentu. Sedangkan urusan Kai, kapan pun lelaki itu mau, Safira akan menuruti perintahnya. Dan hari ini Kai sudah melanggar perjanjian dengan datang diam-diam mengikuti Safira dan Arkana.
Apa-apaan, coba?
Satu sudut bibir Kai naik, lalu menanggapi protes Safira, "Gue tau ini weekend. Tapi gue maunya pergi sekarang sama lu, Fir."
"Kai, please ...." Raut Safira memelas, tatapannya terlihat memohon pada seorang Kai. "Kamu 'kan bisa pergi sama pacar kamu. Lagian, aku sama Mas Arkana cuma dua kali, loh, ketemuannya." Safira tidak berhenti mengingatkan si kepala batu di hadapannya ini.
"Gue gak peduli, Fir! Itu urusan lu sama dia! Yang jelas, gue mau perginya sama elu bukan sama Eve." Kai mengangkat bahu sekilas, menolak mentah-mentah rengekan Safira, dan berkata tidak sedang ingin pergi dengan pacarnya. "Cari alesan apa aja. Gue tunggu sepuluh menit di parkiran. Cepetan!" Pemuda itu lantas bangkit dan melenggang dari hadapan Safira tanpa menoleh lagi.
Safira menelan ludah, lalu berteriak memanggil pemuda sinting yang tidak mengacuhkannya. "Kai! Kai! Kai! Arrghh ...! Kai ngeselin!" Kakinya menghentak-hentak kesal di lantai, dan otomatis orang-orang di sekitar langsung memusatkan perhatian pada Safira.
Perempuan itu tidak peduli dengan tatapan nyalang orang-orang yang tidak tahu menahu masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Mungkin, sebagian besar dari mereka menganggap Safira wanita aneh.
"Hfft ... Aku mesti alesan apa, coba, sama Mas Arkana?" Kepala Safira terantuk lesu, seraya memutar tungkai untuk kembali ke tempat Arkana berada. Otaknya yang kecil sedang dipaksa berpikir, mencari alasan. "Kai sialan! Sialan!"
-
"Kenapa mendadak?" Arkana bertanya dengan nada bicara terdengar kecewa setelah Safira mengatakan hendak menggantikan salah satu temannya yang tidak bisa berangkat bekerja karena anaknya tiba-tiba jatuh sakit.
"Iya, Mas. Maaf ...." Yang hanya bisa dilakukan Safira adalah menundukkan kepala, menyembunyikan matanya dari tatapan Arkana yang bisa saja membaca kebohongannya. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dengan perasaan bersalah.
Arkana bisa apa, selain mengizinkan. "Ya udah. Enggak apa-apa, Fir. Kita ke butiknya Minggu depan," ucapnya, lalu menghela besar. "Sebenernya aku masih kangen sama kamu. Kita ketemu cuma seminggu dua kali. Ini aja belum ada sehari kita barengan, tapi kamu-"
"Makasih, Mas. Sekali lagi maafin, ya ...?" Safira menyela perkataan Arkana, mengangkat pandangannya, dan melihat sorot kekecewaan dari mata kekasihnya. Dia sungguh tidak bisa berbuat banyak.
"Iya." Dan, Arkanalah yang pada akhirnya mengalah.
-
Dalam diam, Safira dan Arkana berjalan menuju parkiran. Tak ada obrolan diantara mereka. Meskipun begitu, Arkana tetap menggenggam tangan Safira sampai tiba di mobilnya. Namun, kesialan sepertinya tak berhenti menghampiri Safira, sebab tiba-tiba saja Kai muncul di hadapannya.
"Kai?" Bukan Safira yang menyebut nama itu, melainkan Arkana. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya dengan alis menaut. Arkana hanya heran bertemu dengan Kai di tempat ini.
Manik Kai menatap sekilas wajah Safira yang memucat. Dia tahu pasti jika perempuan itu takut ketahuan oleh sang pacar. "Suka-suka guelah, mau ada di mana? Gue ada urusan di deket sini," jawabnya ketus.
"Ohh ..." Arkana percaya. "Ya udah silakan lanjutkan. Aku sama Fira pergi dulu. Ayo, Fir."
"Mas." Safira menahan tangan Arkana yang hendak membawanya masuk ke mobil.
"Ya?" Arkana berbalik menatap Safira.
Safira menelan ludah, berdeham singkat, lalu bicara, "Aku ... berangkat naik taksi aja. Mas gak perlu anterin."
Kening Arkana mengerut. "Kenapa? Kan, sekalian aku anter. Nanti pulangnya aku jemput."
Perkataan Arkana jelas membuat Safira serba salah. Tidak mungkin dia berangkat bekerja, sedangkan pada kenyataannya itu cuma alasannya agar bisa menuruti kemauan Kai.
"Hmm ... Aku gak pa-pa, kok, Mas, berangkat sendiri. Lagian, aku mau pulang ke rumah dulu, mau ambil seragam. Pasti itu bakalan ngerepotin kamu, kalo mesti bolak-balik." Safira melirik sekilas ke arah Kai yang tidak berniat beranjak dari tempatnya. Dan, sepertinya memang sengaja melakukan hal tersebut.
"Tapi, Fir-" Ponsel Arkana berdering. "Sebentar." Dia melepas tangan Safira, lalu mengambil ponsel dari saku celana. "Aku jawab ini dulu. Kamu tunggu di sini," pinta Arkana yang langsung dianggukki Safira, dia pun pergi menuju belakang mobil untuk menjawab panggilan telepon.
Merasa memiliki kesempatan, Safira lantas menegur Kai dengan raut geram. "Kamu apa-apaan, sih, Kai? Kamu sengaja, iya?" Suaranya pelan tetapi terdengar tegas.
"Menurut lu?" Kai malah bersedekap, kemudian mempersempit jarak dengan Safira. "Gue tunggu di mobil!" Setelah itu dia pergi dari hadapan Safira dengan seringai puas.
Tangan Safira sontak mengepal kuat di sisi tubuh, dia bergumam dengan rahang mengatup rapat "Sialan kamu, Kai."
"Fir." Arkana menghampiri setelah menyelesaikan percakapan di telepon.
"Iya, Mas." Raut Safira kembali normal. Lembut dan memasang senyum manis.
Arkana mencari keberadaan Kai. "Kai udah pergi?"
"Udah, Mas."
"Oh ..." Angguk Arkana tak banyak bertanya mengenai Kai. "Kayaknya, aku memang gak bisa anter kamu. Aku harus segera pergi. Di gudang ada barang datang, tapi agak bermasalah, dan aku diminta segera ke sana untuk ngecek."
Dalam hati, Safira bernapas lega. "Iya, Mas. Kan, tadi aku juga udah bilang. Aku bisa berangkat sendiri. Mas kalo mau pergi, pergi aja." Dia mengelus lengan Arkana seraya tersenyum lembut.
"Aku pergi dulu. Maaf, gak bisa cariin kamu taksi." Sebelum benar-benar pergi, Arkana memberi kecupan mesra di kening Safira serta usapan lembut di pipi kekasihnya.
Safira tak banyak protes, karena dia sendiri yang menjadi penyebab awal kencan mereka berantakan. Setelah memastikan mobil yang dikemudikan Arkana menghilang dari pandangan, Safira kemudian membuang napas kasar. Kaki jenjangnya terasa berat ketika melangkah menghampiri mobil warna hitam milik Kai.
Warning area dewasa (21+) Bijaklah memilih bacaan! ~~~ "Jika kau mau aku akan membantumu. Membiayai seluruh operasi ayahmu yang terkena kanker paru-paru. Setahuku, biaya pasien yang terkena kanker paru-paru itu tidak sedikit. Jumlahnya bahkan lebih dari lima puluh ribu dolar. Tentu, jika kau mau menerima tawaran dariku." Gwen bergeming. Mencerna semua pernyataan Nich barusan. Tetapi, belum selesai Gwen mencernanya, Nich kembali berkata, "Jadilah istriku, Gwen." "A-apa?" "Menikahlah denganku, Gwen. Aku mohon …." Gwen nampak berpikir sejenak, sambil menjilat sisa-sisa jejak bibir Nich. Beberapa saat kemudian dia mengangguk. "Aku mau menerima tawaranmu, asal kau juga mau menerima syarat dariku, Nich." Sebelah alis Nich terangkat. "Apa?" sambil mengusapkan ibu jari di bibir Gwen. "Kita menikah kontrak. Hanya sebatas itu, Nich." *** Gwen Florine terpaksa menerima tawaran mantan kekasih sekaligus pria yang telah menorehkan luka di hatinya sejak 10 tahun yang lalu, lantaran pergi tanpa pamit. Demi sang ayah yang membutuhkan biaya besar untuk operasi. Lantas, apakah Gwen akan terjerat oleh pesona seorang Nicholas Kennedy kembali, di saat hatinya telah membeku? Lalu, apa sebenarnya alasan Nicholas pergi meninggalkan Gwen 10 tahun yang lalu? ### Simak yuk!
Raffa Anggara (23 tahun) menjadi seorang lelaki penghibur paling dicari oleh para wanita kesepian yang haus belaian di sebuah klub malam ternama di Jakarta. Kelihaiannya dalam menyenangkan kliennya yang seksi, kaya, dan haus akan kepuasan, membuat Raffa jadi rebutan. Penawaran jadi suami simpanan sampai suami resmi selalu berdatangan ke Raffa. Namun, semua itu ditolak oleh sang Casanova yang tidak percaya cinta dan benci komitmen. Suatu hari, Raffa dipertemukan dengan klien baru yang benar-benar sangat berbeda dari yang lainnya. Sosok wanita kesepian itu berhasil membuat sang Casanova itu bertekuk lutut, hingga bersedia memberikan seluruh hidupnya bahkan nyawanya sekali pun. Siapakah dia?
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
just for 21++++...🙏 Carl Davidson pemuda kecil itu mempunyai kebiasaan suka mendudukkan Samantha Walker di atas meja tinggi agar gadis kecil itu berteriak ketakutan dan menangis sekeras-kerasnya , minta tolong diturunkan ke lantai. alhasil, akhirnya kebiasaan mereka dari kecil terbawa sampai dewasa.. Carl Davidson pengusaha sukses otomotif yang tampan dan milyuner itu mempunyai kebiasaan suka mendudukkan Samantha Walker gadis cantik di atas meja tinggi agar ia berteriak ketakutan dan menangis sekeras-kerasnya , minta tolong diturunkan ke lantai.. dengan sigap, Carl Davidson pun menurunkan Samantha Walker dari atas meja tinggi ke ranjangnya dan semua orang meresmikan titel GADIS SIMPANAN bagi Samantha Walker. apa bisa Samantha Walker di hargai semua orang dan bersama Carl Davidson melangkah dalam pernikahan .?
Selama dua tahun, Brian hanya melihat Evelyn sebagai asisten. Evelyn membutuhkan uang untuk perawatan ibunya, dan dia kira wanita tersebut tidak akan pernah pergi karena itu. Baginya, tampaknya adil untuk menawarkan bantuan keuangan dengan imbalan seks. Namun, Brian tidak menyangka akan jatuh cinta padanya. Evelyn mengonfrontasinya, "Kamu mencintai orang lain, tapi kamu selalu tidur denganku? Kamu tercela!" Saat Evelyn membanting perjanjian perceraian, Brian menyadari bahwa Evelyn adalah istri misterius yang dinikahinya enam tahun lalu. Bertekad untuk memenangkannya kembali, Brian melimpahinya dengan kasih sayang. Ketika orang lain mengejek asal-usul Evelyn, Brian memberinya semua kekayaannya, senang menjadi suami yang mendukung. Sekarang seorang CEO terkenal, Evelyn memiliki segalanya, tetapi Brian mendapati dirinya tersesat dalam angin puyuh lain ....
Setelah menyembunyikan identitas aslinya selama tiga tahun pernikahannya dengan Kristian, Arini telah berkomitmen sepenuh hati, hanya untuk mendapati dirinya diabaikan dan didorong ke arah perceraian. Karena kecewa, dia bertekad untuk menemukan kembali jati dirinya, seorang pembuat parfum berbakat, otak di balik badan intelijen terkenal, dan pewaris jaringan peretas rahasia. Sadar akan kesalahannya, Kristian mengungkapkan penyesalannya. "Aku tahu aku telah melakukan kesalahan. Tolong, beri aku kesempatan lagi." Namun, Kevin, seorang hartawan yang pernah mengalami cacat, berdiri dari kursi rodanya, meraih tangan Arini, dan mengejek dengan nada meremehkan, "Kamu pikir dia akan menerimamu kembali? Teruslah bermimpi."
Pelan tapi pasti Wiwik pun segera kupeluk dengan lembut dan ternyata hanya diam saja. "Di mana Om.. ?" Kembali dia bertanya "Di sini.." jawabku sambil terus mempererat pelukanku kepadanya. "Ahh.. Om.. nakal..!" Perlahan-lahan dia menikmati juga kehangatan pelukanku.. bahkan membalas dengan pelukan yang tak kalah erat. Peluk dan terus peluk.. kehangatan pun terus mengalir dan kuberanikan diri untuk mencium pipinya.. lalu mencium bibirnya. Dia ternyata menerima dan membalas ciumanku dengan hangat. "Oh.. Om.." desahnya pelan.