Sang Pemuas
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu.
“Umurmu berapa ?” tanya Mamih
“Sembilanbelas, “ sahutku.
“Sudah punya pengalaman dalam sex ?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.
“Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... “
“Dengan perempuan nakal ?”
“Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. “
“Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?”
“Dengan ... dengan saudara sepupu, “ sahutku jujur.
Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. “Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?”
“Iya, saya berminat. “
“Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?”
“Pertama karena saya butuh uang. “
“Kedua ?”
“Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. “
“Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. “
“Saya siap Mam. “
“Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. “
Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.