ipegang, tak melulu dari makanan. Aku kembali bekerja di restoran milikku, memeriksa laporan harian, juga mengontrol keadaannya. Mulai dari pi
l siapa aku dan semua usahaku berbadan hukum resmi diurus oleh
bang-nimbang, karena usul ini juga sudah beberapa kali dilontarkan banyak orang. Kimchi buatan restoran ku memang beda, tastenya sudah di sesuaikan dengan selera lokal. Memang, target pasar ku bukan hanya warna Korea yang ada di Jakarta, tapi masyarakat lokal ya
gilkan kokinya ya, saya
tik beberapa makanan di sini." Dengan ragu, manajer restoran memberikan secarik kertas ke pad
litas baik. Juga, untuk kuah sup buntutnya, kurangi pemakaian ginseng, lidah lokal jarang mau cicipi sup rasa jamu.
rapa kali dalam satu hari, kadang aku menahan bahan baku supaya tak di masak semua. Karena sayang kalau terbuang karena tidak laku. Untuk daging,
t secarik kertas. Bukannya isi di kertas yang sudah disi
*
l em
ran depan tidak ada, kemudian berjalan ke arah samping restoran. Kedua mataku mendapati sosok pria dengan jaket kulit warna hi
pa basa-basi. Kelan, ia tersenyum la
Ia balik bertanya sambil t
suki ke kotak saran. Jangan kayak gini, nggak sopan." Aku
arusan kamu lakuin, e
angkat, menunjukkan sedikit keangkuhan yang kumiliki. Ia beranjak, me
di pencernaan, karena pakai gandum yang digiling sendiri. Titip, ya, Via," ujarnya. Aku mas
at, kan?" Ia memakai helmnya l
a juga bisa beli, Kelan?" Aku mulai kesal. Ia menoleh ke arahku, berjalan men
epalanya tertunduk karena tubuh tinggi dan aku
taku lagi, napasku sudah memburu,
n aja dulu. Aku pulang ya, sampai ketemu lagi, Mama Via cantik, terima kasih udah luangin waktu ketemu aku di sini, bye!" Ia menyalakan motor lalu menanca
sepuluh roti yang sangat menggiurkan. Bentuknya mirip croissant, tapi ini roti. Aku mengambil satu, menggigitnya untuk memastikan sebelum di makan oleh putraku. Aku memejamkan mata, rasanya enak... aku baru merasakan rasa
agi. Aku dibuat malu. Bahkan spirku merasa heran dengan pria itu. Pria? Tidak, bahkan
bis, aku turun untuk berbelanja buah. Sembari mendorong keranjang belanja, aku mulai memilih buah
erdengar. Aku menoleh, mendongak untuk menata
sembari ikut memasukan buah plum ke da
annya, jangan kasih nanas walau nanas madu, kasih
utku. Ia menggeleng
depannya Raja, maybe." Ia mengedikkan bahu
NG!" t
epanjang perjalanan ke rumah, aku dibuat uring-uringan dengan kata-katanya saat di supermarket, helaan napas pun tampak dari diriku, mendadak pikiran s