tang ujian, tentang tugas-tugas yang tidak pernah selesai. Namun bagi Alina, semua itu terasa jauh, seperti dunia lain yang
okus pada sosok pria yang baru saja menghampirinya. Rayan Syahmir. Dia tidak asing di kampus ini-pria tampan dengan wajah yang sering muncul di media sosial dan a
enunjukkan kecemasannya. "Kue cubir," jawabny
olah-olah dia sedang menilai lebih dari sekadar kue i
n, tidak ada rasa ingin tahu. Hanya perasaan angkuh yang memancar dari dirinya. Alina merasa sedikit terganggu, ta
ini... payah," katanya dengan suara datar yang tidak mengandung belas kasihan. "Bisa dibilan
da yang bisa dia bayangkan. Mata Rayan tajam, penuh perhitungan, s
berusaha menahan air mata yang mulai men
i penderitaan kecil yang ia sebabkan. "Cobalah sesuatu yang lebih b
Apa yang sebenarnya dia harapkan? Perlakuan baik? Simpati? Semua itu seolah menjadi
t kecil. Namun, saat langkahnya semakin menjauh, ia mendengar suara tawa kecil di belakangnya. Tida
bih kuat dari sebelumnya. Kegagalan yang memalukan. Kehidupan yang seakan tidak pernah memberi
ari yang buruk, namun Alina merasakannya seperti kehancuran. Kekuatan dan h
dengan cara yang lebih dalam lagi, mengarah pada pertemuan tak terduga yang akan menghancurkan hidupnya lebih jauh,
ebuah pernikahan terpaksa akan menjadi harga yang harus dibayar, dan