sangat santai dia melempar beberapa lembar hasil ujian ke atas meja di ruangan tengah. Masih t
n, membentak sembari mengambil semua lembar hasil ujian milik Ana. Kedua mata
ih sengaja membuat ulah. Pen yang berusaha menahan amarah, tetap
ni bukan lelucon!" lanjutnya dengan tegas. "Apa ini ... karena pemuda itu? Pantas nilaimu jelek," imbuhnya kemudian membayangkan pemuda beramb
Dia duduk sambil mengangkat salah satu kakinya di kurs
yang terus berusaha membuat sang anak menurut, tetap saja gagal. Semua sudah dia lakukan m
na memakai celana pendek yang sangat ketat. "Kalau nilai ujian itu tidak kamu perb
perlihatkan gigi ratanya yang dipenuhi sisa
a merebahkan tubuh di kursi sofa, sambil menatap Ana y
engan tatapan sangat menusuk. Pen mengerutkan kedua alisnya sangat da
a?" ucap Pen pelan. Sala
buat sang ibu akan mengatakan rahasia tentang
nan lebih. Kedua matanya menyipit. Menyorot tajam
opan," balas Pen semb
anggilnya dengan sebutan nama. Hal itu dilakukan Ana agar sang i
kalau kau mengatakan siapa aya
eperti itu. Apalagi yang harus I
dah membuatnya terpuruk. Dia selalu saja mengatakan kebohongan agar Ana bisa mempercayai semua p
i sambil berkacak pinggang. "Mana surat kematiannya?"
u berikan kepadamu. Apa itu tidak cukup?" Pen menampis tangan Ana,
embohong." Ana mendorong pu
nahan amarah ketika An
tergolong jenius. Bahkan mengalahkan semua teman satu sekolahnya. Ana hanya ingin kebenaran. Hingga dia selalu melakukan hal buruk di sekolah. S
buhnya kembali ke kursi sofa. "Paling tidak, inisialnya saja.
, kemudian menundukkan kepala. "Apakah mem
menatap ibunya. "Tapi, kau tidak pernah merasakan menjadi diriku di sekolah. Kau tak tahu bagaimana r
ri, kemudian mendekati anaknya. Jarak mereka sangat dek
hu anaknya selalu saja bikin ulah? Kau tidak akan pernah tahu. Karen
entakkan pintu sangat keras. Pen semakin tak percaya An
kamar. Hingga mereka menatap jendela kamar dan sangat terkejut ketika melihat bintang
diriku dan tahu perasaanku,
nderitanya diriku saat ini," batin
makin melanda mereka, membuat kedua mata yang ingin terbuka
IN
ekakkan telinganya. "Aduh, aku bisa terlambat bekerja,"
alarm yang biasanya dia nyalakan di kamar. Tan
ndi. Dia tak melihat sang ibu yang sudah berdiri di depan wastafel. Tentu saja
"Apa ini? Kok aku melihat diriku?" lanjutnya
a pun menunjuk dirinya se
Kedua mata mereka melotot tajam, tak percaya dengan pengliha
jadi Ibu?!"
jadi Ana?!"
GH