Tak kusangka, drama itu membuatku merasa hidup dalam kenyataan. Betapa perselingkuhan itu, kamu bungkus dengan begitu rapi!
Saat itu, jam di dinding sudah menunjukan waktu pukul sebelas malam. Sedangkan tubuhku masih saja berada di kantor. Maka segera kukirimkan semua laporan yang selesai dikerjakan ke Pak Freza. Besoknya, harus sudah siap dengan bos baru, yaitu kamu, Tiyo. Kurapikan semua barang di atas meja, menyiapkan tas, lalu bersiap agar bisa cepat pulang.
Teringat tentang kabar kedatanganmu. Mungkin saat itu, sebenarnya kamu sudah ada di rumah. Bibi Endah bilang kalau pesawat akan mendarat pukul delapan. Pasti beberapa jam sebelumnya, kamu sudah tertidur.
Kumatikan semua lampu sebelum pergi keluar kantor, lalu segera menuju lift. Meski semua karyawan sudah pulang, aku tidak merasa takut. Karena petugas keamanan di sana semuanya bersikap baik.
"Hati-hati di jalan ya, Bu Zahra!" Pak Ari menyapa ketika bertemu di pintu utama gedung. Senyumannya begitu ramah.
"Terima kasih ya, Pak Ari. Saya pulang duluan ya," jawabku seraya menjalankan mobil.
###
Sepanjang perjalanan pulang, masih teringat kata-kata Bi Endah di kantor-di depan meja kerjaku.
"Tiyo pulangnya besok."
"Begitukah?" Entah, tidak tahu kalimat apa yang harus kuucapkan.
Tidak peduli dengan apa pun yang akan mereka bicarakan, karena ibuku adalah kepala pelayan keluarga Pak Freza-bapakmu. Mereka mendidik dan membiarkanku tinggal di rumah, dengan gaji ibu sebagai gantinya. Setelah lulus, aku bekerja di perusahaan mereka sebagai sekretaris Pak Hasan.
Sebenarnya, kalau dihitung, sudah dua tahun bekerja di sana. Awalnya hanya magang, karena ketika itu masih tahun pertama kuliah; bekerja secara part time, dan setelah lulus menjadi karyawan resmi dan bekerja secara full time.
"Eh, dia mau ngegantiin posisi Pak Hasan loh. Lo harus bisa ngajarin dia dalam bisnis ini, karena lo adalah sekretaris Pak Hasan selama dua tahun!" ucap Bi Endah.
"Oke. Gak masalah Bi."
"Dia mulai masuk kantor hari Jumat. Nah, nanti hari Sabtu, lo ada acara gak? Shopping yuk, bareng gue!"
"Boleh, lagian saya juga udah selesai laporan kok bulan ini," jawabku.
Aku dekat dengan Bibi Endah. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik. Walau sebenarnya, dia dan suaminya menganggapku sebagai anaknya sendiri. Karena memang, mereka belum punya anak perempuan.
"Woy, Zahra! Gak usah terlalu gila kerja lah. Lo juga butuh kehidupan sosial. Gadis kayak lo harus ngabisin lebih banyak waktu malam di luar. Jangan di kantor terus! Makanya kan, lo gak punya pacar sampai sekarang!"
"Hehe. Bibi bisa aja."
"Nanti Tiyo datang, lo terpesona nanti. Haha." Komentar tawanya membuat pipiku seakan merona.
Andai saja kamu tahu, Tiyo. Ya, andai saja kamu tahu bahwa aku telah menyimpan rasa, dan menunggumu datang selama bertahun-tahun.
###
Saat klakson mobil terdengar begitu keras, pikiran kembali dari lamunan. Sinyal lampu berhenti mati. Untungnya, suasana lalu lintas begitu sepi hari itu. Jadi tidak tertabrak saat melamun.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya tiba di rumah keluargamu. Kuparkir mobil di belakang Toyota Vios, yang juga diparkir di garasi luas. Setelah itu turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi, lampu rumah tidak menyala, mungkin orang-orang sudah tertidur. Kujentikan saklar di dekat kusen pintu, lalu ....
Betapa terkejutnya saat melihat sosok yang kukenal, berbaring di sofa ruang tamu.
"Tiyo?" Aku bertanya-bertanya. Jantung yang sebelumnya tenang mulai berdegup kencang.
Mumpung kamu sedang tidur, aku menatap dan mencoba melihat perubahan yang ada di tubuhmu. Setelah lima tahun kita berpisah, ternyata banyak yang berubah pada penampilan fisikmu.
Lenganmu yang dulu cukup kurus, sudah berotot. Perawakanmu juga terlihat jelas. Wajah yang lembut kemudian terlihat nakal dan kasar. Bahkan dalam keadaan tidur, kamu terlihat kejam tapi lebih jantan.
"Jadi lo selalu pulang terlambat dari kantor, ya?"
Hampir saja aku melompat, panik, karena tiba-tiba saja kamu berbicara.
"Lo udah bangun?" aku bertanya, meskipun, seharusnya memang tak perlu. Kamu bangkit dari berbaring, lalu memberi isyarat agar aku duduk di sebelah. Aku pun patuh.
"Dasar jelek!" katanmu saat aku duduk, membuatku tersenyum lebar dan pasti.
"Apa? Yang bener? Jadi gue keliatan jelek, ya?" Rasanya pipiku memerah.
Saat itu, tiba-tiba saja tersadar, mengapa tidak terpikir untuk berdandan sebelum pulang?
"Cuma bercanda, Woy!" Kamu pun tertawa. Dulunya suka main-main dan ternyata masih saja suka main-main. Seharusnya aku sadar dari dulu, bahwa kamu akan bermain dengan hatiku juga.
"Gue kangen tauk! Lo gak kangen, ya, sama gue?" kamu menambahkan.
Aku tersenyum.
Empat tahun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selama kita tidak berkomunikasi. Wajar jika saat itu canggung bertemu denganmu. Terlepas apa pun yang telah kamu lakukan selama empat tahun itu. Yang jelas, aku memang rindu.
"Tidak," jawabku sebaliknya, "seharusnya lo tinggal di sana sepuluh tahun, itu baru bisa bikin gue rindu sama kamu. Empat tahun itu belum cukup!"
"Gue udah nungguin lo lebih dari dua jam, sekarang lo bilang gak kangen?" katamu sambil cemberut.
Oh, Tiyo. Please, jangan membuatku meleleh ....
Aku ingin bermanja padamu, ingin sekali berteriak. Namun, tetap takbisa, tidak mengerti apa yang harus kulakukan.
"Haha. Cuma bercanda kok. Iyalah gue kangen! Bukannya lo yang mau ketemu?" Kuubah topik pembicaraan.
Wajahmu pun menyala. "Ayo pergi ke kamar gue."
Aku kaget dengan apa yang kamu katakan. Itu bukan pertama kalinya aku masuk ke kamarmu, tetapi sudah hampir lima tahun tidak pernah masuk. Bukankah tidak baik, jika ada yang melihat kita hanya berdua di dalam sana?
"Aduh, gue ngantuk nih!" aku beralasan, "besok-besok ajalah! Masih banyak hari lain."
Kamu pun mengangguk, lalu berkata, "Oke. Apa lo sudah makan?"
Aku pun menjawab, "Sudah makan tadi di kantor. Lo juga sudah makan belom?"
Kamu hanya menghela napas, entah kenapa tidak menjawabku.
"Yaudah kalo sudah makan mah. Kalo gitu biar gue antar lo ke kamar ya!" katamu sebelum berdiri. Aku pun menurut.
"Good night, Zahra. Gue kangen banget sama lo. Ternyata lo udah berubah jadi secantik ini," katamu ketika kita sampai di pintu kamarku. Di seberangnya adalah kamarmu.
"Gue juga kangen sama lo, Tiyo. Lo juga udah beda banget. Sekarang lebih Six Pack!"
Tiba-tiba kamu pun menarik lenganku. Tanpa kusadari, lengan itu sudah melingkar pinggangku. Kemudian, kamu membenamkan wajah di leherku, menjilatinya sebentar, lalu berkata,
"Gue kangen banget sama lo sumpah. Mulai sekarang, jangan pernah biarkan jarak memisahkan kita ," bisikmu dengan suara tangis yang membelah dahiku, "lo pernah punya utang sama gue!"
Apa yang pernah kulakukan? Utang apa aku padamu? Bukankah kamu yang punya utang padaku!
Pada malam pesta kelulusan, Amelia tanpa sadar meniduri Handoko—lelaki yang dikenal tidak pernah berpacaran. Amelia pun hamil. Namun, dia tidak peduli dan menyembunyikannya dari Handoko. Siapa sangka, bahwa Handoko adalah ketua dari organisasi preman paling ditakuti saat ini. Apa yang akan terjadi pada mereka nanti? Akankah kepahitan, atau keberuntungan bagi Amelia yang membuat siapa pun cemburu!?
Karena sebuah kebohongan, JIngga Amelia berhasil membujuk Carlos Santana--seorang Fotografer terkenal, untuk berpura-pira menjadi pacarnya. Dia tidak berpikir panjang apakah Carlos adalah pria yang baik-baik saja. Namun, keesokan harinya Carlos menawarkan hubungan persahabatan padanya, tetapi bagi Jingga itu adalah hal yang tidak masuk akal. Bagi Jingga, tatapan Carlos mencerminkan omong kosong dalam dirinya. Dia tahu bahwa pria tampan itu tak pernah tertolak siapa pun dan di manapun. Dari yang awalnya hanya persahabatan, Carlos menawarkan diri untuk menjadi kekasihnya. Siapa Jingga jika menolak tawaran tersebut? Apalagi saat mereka sedang berada di tengah-tengah hubungan intim dan mereka sudah seperti layaknya sepasang kekasih. Jingga tidak menyangka bahwa hubungannya dengan Carlos menjadi semakin dalam. Bahkan, meski tanpa status dia tetap bahagia. Dia merasa memiliki ruang kosong dalam hatinya dan itu telah terisi selama berhubungan dengan Carlos. Namun, suatu hari penyakit Jingga kambuh dan itu membuatnya memutuskan untuk menjadi antagonis dalam kisah cinta mereka. Dia terpaksa pergi bersama Gin. Apa yang tidak terpikirkan olehnya, adalah kenangan saat bersama Carlos dan itu menjadi beban baginya, di kemudian hari. Pada akhirnya, Jingga kembali. Namun, apakah Carlos mampu membuktikan kebenaran pepatah yang mengatakan, "Hati melihat apa yang tidak dilihat mata"?
Hanya ada satu pria di hati Regina, dan itu adalah Malvin. Pada tahun kedua pernikahannya dengannya, dia hamil. Kegembiraan Regina tidak mengenal batas. Akan tetapi sebelum dia bisa menyampaikan berita itu pada suaminya, pria itu menyodorinya surat cerai karena ingin menikahi cinta pertamanya. Setelah kecelakaan, Regina terbaring di genangan darahnya sendiri dan memanggil Malvin untuk meminta bantuan. Sayangnya, dia pergi dengan cinta pertamanya di pelukannya. Regina lolos dari kematian dengan tipis. Setelah itu, dia memutuskan untuk mengembalikan hidupnya ke jalurnya. Namanya ada di mana-mana bertahun-tahun kemudian. Malvin menjadi sangat tidak nyaman. Untuk beberapa alasan, dia mulai merindukannya. Hatinya sakit ketika dia melihatnya tersenyum dengan pria lain. Dia melabrak pernikahannya dan berlutut saat Regina berada di altar. Dengan mata merah, dia bertanya, "Aku kira kamu mengatakan cintamu untukku tak terpatahkan? Kenapa kamu menikah dengan orang lain? Kembalilah padaku!"
Zain, seorang pengusaha terkenal yang terlihat muda di usianya yang mendekati empat puluh. Ia adalah seorang pria yang nyaris sempurna tanpa cela. Namun, tidak seorang pun yang tahu. Lima tahun yang lalu pasca menyaksikan pengkhianatan istrinya, Zain mengalami kecelakaan tragis. Dampak kecelakaan itu ia mengalami disfungsi seksual. Demi harga dirinya, Zain menjaga aib itu rapat-rapat. Namun, hal itu dimanfaatkan Bella untuk berbuat semena-mena. Kecewa karena Zain tidak mampu memberinya kepuasan, Bella bermain gila dengan banyak pria. Zain tidak berkutik, hanya bisa pasrah karena tidak ingin kekurangan dirinya diketahui oleh orang banyak. Namun, semuanya berubah saat Zain mengenal Yvone, gadis muda yang mabuk di kelab malam miliknya. Untuk pertama kalinya, Zain kembali bergairah dan memiliki hasrat kepada seorang wanita. Namun, Yvone bukanlah gadis sembarangan. Ia adalah kekasih Daniel, anak tirinya sendiri. Mampukah Zain mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Suasana malam itu membuat Aris terhanyut dalam kenikmatan.. ia mulai menjamah bagian tubuh perempuan lain yang saat ini menjadi selingkuhannya. Suara desah mengiringi deras hujan yang turun malam itu.. Kepergian Wilona menjadi kesempatan besar untuk Flo merebut lelaki yang selama ini ia idamkan..sudah sangat lama ia menginginkan Aris menjadi miliknya seutuhnya. Namun, semua keinginan itu adalah hasrat terlarangnya, karena pria yang menjadi idamannya saat ini bukan lain adalah iparnya sendiri..
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Pada hari ulang tahun pernikahan mereka, simpanan Jordan membius Alisha, dan dia berakhir di ranjang orang asing. Dalam satu malam, Alisha kehilangan kepolosannya, sementara wanita simpanan itu hamil. Patah hati dan terhina, Alisha menuntut cerai, tapi Jordan melihatnya sebagai amukan lain. Ketika mereka akhirnya berpisah, Alisha kemudian menjadi artis terkenal, dicari dan dikagumi oleh semua orang. Karena penuh penyesalan, Jordan menghampirinya dengan harapan akan rujuk, tetapi dia justru mendapati wanita itu berada di pelukan seorang taipan yang berkuasa. "Ayo, sapa kakak iparmu."