Seorang gadis yang terlatih untuk membunuh kini ia diperintah untuk melindungi seorang pria. Pria tersebut adalah seorang ilmuwan. Penemuan dia menyebabkan dirinya dalam bahaya. Dan pertemuan dia dengan gadis pembunuh bayaran meyebabkan bahaya lain di hatinya karena perasaan lain yang berkembang menjadi cinta.
Satu
Namaku Nila Fariska. Semua menjulukiku sebagai Snow Queen. Mungkin mereka memang benar. Hatiku telah membeku tanpa pernah mengenal perasaan. Saat banyak yang membicarakan tentang cinta, aku tidak pernah tahu seperti apa itu cinta.
Aku hanya seorang anak yatim-piatu. Dibesarkan dan dilatih khusus hanya untuk membunuh, bukan untuk mencintai. Cinta? Kurasa aku tidak akan pernah mengenal rasa itu dan sama sekali tidak peduli. Karena dari yang selama ini kupelajari, dalam hidup, perasaan adalah kelemahan. Cinta hanya akan membuat kita terpuruk dalam ketidakberdayaan. Akal kita dilemahkan dan kita tidak bisa lagi berpikir jernih. Semua itu karena kita memiliki hati untuk mencintai. Dan aku beruntung karena tidak memiliki hati.
***
Sore hari, halaman luas dengan tumbuhan gersang dan sedikit pepohonan menjadi tempat yang kusukai. Kuambil sebilah pedang yang tertata di pinggir lapangan. Mengayunkan kesana-kemari dengan berbagai jurus yang kukuasai. Sesekali aku melompat, berguling, dan menendang. Selain itu, juga melakukan salto dengan cepat. Semua itu sangat mudah kulakukan, karena semenjak kecil aku telah berlatih keras.
Masih teringat jelas bagaimana orang yang kupanggil guru melatihku. Dia bahkan membawa tongkat atau cambuk saat merasa aku bermalasan atau melakukan kesalahan dalam melakukan gerakan. Hingga akhirnya, aku berlatih dengan sungguh-sungguh dan menjadi orang yang bisa diandalkan. Beliau pula yang mengatakan padaku bahwa tidak perlu cinta dalam hidup.
Benar, tandasku. Aku tidak butuh siapa pun. Aku bisa menjalani hidupku sendiri. Cinta adalah kelemahan. Lagipula saat orang tuaku yang bodoh bunuh diri demi cinta tanpa memikirkan diriku, aku tahu cinta hanyalah petaka.
Aku masih terus berlatih saat terdengar suara tepuk-tangan yang cukup keras. Akupun sontak menoleh.
"Untuk apa kau di sini?"
Pemuda di hadapanku tersenyum tipis sebelum menjawab. Nama dia Vano Revaldi. Dia juga salah satu yang terbaik dalam kelompok kami. Dalam melakukan misi, aku senang bekerja sama dengan orang terlatih seperti dia karena aku tidak pernah suka menerima kegagalan.
"Nila, apa kau tidak lelah berlatih begitu keras?" ucapnya sambil berjalan mendekat. Tangan kanannya yang memegang handuk terulur. Kelihatannya ia berniat hendak menyeka peluh di wajahku. Aku segera mencekal dan memuntir tangannya dan mengambil handuk tersebut.
"Jangan macam-macam!" desisku dengan nada mengancam.
"Baiklah, lepaskan aku sekarang," ucapnya. Kulonggarkan cekalan pada tangannya dan kuambil handuk tersebut. Vano berbalik dan menatapku sambil tersenyum. Aku tidak menanggapi tingkahnya itu.
"Ada masalah apa? Apa terjadi sesuatu yang penting?" tanyaku.
"Tentu saja sangat penting. Kurasa aku semakin jatuh hati padamu," ucapnya dengan nada menggoda. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar kata-katanya. Vano tertarik padaku bukanlah hal yang tidak kuketahui. Meski dia menaruh perhatian, tetapi aku tidak pernah peduli. Lama-lama dia juga pasti bosan dan beralih pada gadis lain. Vano sangat suka bermain cinta. Begitu banyak hati yang luluh oleh wajah tampannya dan dipatahkan begitu saja olehnya.
Sosok Vano yang tegap dengan sorot mata tajam seperti elang serta hidung mancung tentu menjadi daya tarik tersendiri. Kemampuan ia berkelahi tentu membuat sosok wanita yang memimpikan kehadiran seorang pahlawan menjadi terbuai dan jatuh dalam pesona seorang Vano.
"Aku tidak ada waktu dengan permainanmu. Kalau kamu tidak ada kepentingan terkait misi, sebaiknya segera pergi dari sini!"
"Ck, ck, ck" Vano berdecak keras.
"Kamu benar-benar kasar, Nila. Apa untuk bisa bertemu denganmu semua harus terkait dengan misi?"
"Kalau tidak ada apa-apa, sebaiknya kau segera pergi dari sini!"
Aku kembali berjalan menjauh dan mengayunkan pedang. Vano masih berada di sana.
"Nila ...," panggilnya.
Aku kesal. Dia benar-benar mengganggu. Kuhunus pedang yang berada dalam genggaman ke lehernya.
Dia segera mengangkat tangan.
"Nila, aku tidak kemari untuk bertengkar atau berkelahi denganmu, tapi Pak Yan ingin bertemu denganmu."
Kuturunkan pedang meski begitu kekesalan yang membuncah masih belum hilang. Mataku masih menatap tajam padanya.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Pak Yan adalah pemimpin tempat kami bernaung. Jika beliau memanggil, pastilah ada misi penting yang harus dilaksanakan. Dia pula orang yang dulu membawaku pulang dari jalanan.
Aku segera bergegas untuk menemui pria paruh baya yang kuhormati tersebut.
***
Aku membersihkan diri dan berganti pakaian. Atasan biru tua dan celana kain hitam yang kukenakan membungkus tubuh mungilku. Aku lalu segera bergegas menuju ruang pusat tempat Pak Yan tengah menungguku. Dalam perjalanan menuju tempat beliau, aku melihat Vano berdiri bersidekap dan menatapku sambil tersenyum.
"Ck, kau begitu cantik dan manis, Nila, tapi kenapa kau selalu memasang wajah jutek, tapi tidak apa, itu semua membuatmu semakin terlihat sangat menarik," ucapnya.
Aku kembali menatap tajam padanya. Jujur rasa kesal di hatiku belum juga hilang, tetapi akhirnya kuputuskan untuk kembali berjalan dan tidak peduli lagi padanya.
"Kau begitu dingin padaku, Nila, tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti bisa menaklukkan hatimu," ucapnya dari belakangku.
Aku berhenti melangkah dan berbalik. Senyuman miring muncul di bibirku.
"Jangan bermimpi," ucapku dengan dengan suara rendah.
"Sebelum itu terjadi, aku akan membunuhmu lebih dulu."
Aku kemudian kembali berbalik dan melangkah tanpa peduli lagi. Kata-kataku memang terdengar kejam, tetapi aku tidak peduli. Aku lebih suka mereka mati daripada mencoba mengusik hatiku.
***
Kuketuk pelan pintu ruang utama yang berwarna coklat muda.
"Masuklah," ucap suara serak di dalam. Aku membuka pintu dan berjalan masuk. Ruangan berdinding putih itu tidak terlalu luas. Ada lukisan bercorak merah darah yang menjadi satu-satunya pemberi warna di ruangan tersebut. Akan tetapi, mungkin itu sebenarnya adalah motto dari kelompok kami bahwa kami tidak segan untuk membuat darah orang lain keluar dan berujung kematian.
Pak Yan seperti biasa duduk di balik meja. Beliau tidak sendiri. Seorang pria berambut kelabu yang tidak kukenal duduk di hadapannya. Aku tidak terlalu terkejut. Mungkin dia klien kami yang baru, meski teramat jarang seorang klien datang langsung ke tempat kami. Biasanya mereka enggan menunjukkan identitas asli dan hanya menghubungi kami lewat situs online.
"Duduklah," perintah Pak Yan sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya. Aku segera menurut dan duduk di samping tamu kami tersebut.
"Beliau adalah Pak Hari. Dia klien baru kita," ujar Pak Yan tanpa diminta. Aku mengangguk. Aku tidak pernah berminat untuk mengetahui tentang klien kami. Yang terpenting bagiku, hanyalah menuntaskan misi yang diberikan padaku.
"Siapa yang harus kubunuh?" tanyaku langsung karena tidak ingin membuang waktu dengan kata-kata bertele-tele.
Pak Yan tersenyum tipis sambil menggeleng.
"Kau begitu bersemangat ingin membunuh orang, tapi kali ini misimu berbeda. Misimu adalah melindungi orang, bukan membunuh orang."
Aku menatap Pak Yan lama. Ingin tahu apa dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Saat melihat dia begitu serius, aku segera bangkit berdiri.
"Aku menolak!" ucapku tegas.
Karin dan Vian, seorang idol, terpaksa menikah karena perjodohan,padahal mereka tengah berseteru karena Vian menganggap Karin sebagai pembawa sial bagi karirnya.
Karena sebuah kesalahan, Liz memiliki anak dengan Caden, pria yang bahkan nyaris tidak ia kenal. Caden sendiri tidak tahu hal tersebut. Ia membenci Liz yang dianggap memang sengaja menjebak dirinya. Hingga Liz dan Caden kemudian kembali bertemu bertahun kemudian
Raina adalah gadis yang terpilih menjadi pengantin vampir. Para pemburu vampir kemudian melindungi dia, tetapi sebenarnya mereka bermaksud menggunakan dia untuk menjebak para vampire yang mengincar dirinya.
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Dia adalah seorang dokter luar biasa yang terkenal di dunia, CEO dari sebuah perusahaan publik, tentara bayaran wanita yang paling tangguh, dan seorang jenius teknologi papan atas. Marsha, seorang wanita dengan sejumlah besar identitas rahasia, telah menyembunyikan identitasnya yang sebenarnya untuk menikah dengan seorang pria muda yang tampaknya miskin. Namun, pada malam pernikahan mereka, tunangannya, yang sebenarnya adalah pewaris yang hilang dari keluarga kaya, membatalkan pertunangan dan membuatnya mengalami hinaan dan ejekan. Setelah pengungkapan identitasnya yang tersembunyi, mantan tunangannya tertegun dan dengan putus asa memohon pengampunannya. Berdiri dengan protektif di hadapan Marsha, seorang tokoh terkemuka yang sangat berpengaruh dan menakutkan menyatakan, "Ini istriku. Siapa yang berani merebutnya dariku?"
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.