a
ita seperti itu. Bram menepikan mobilnya tepat di depan halte. Bram
ah" uca
nggu. Ia tadi sulit untuk mencerna ucapan Bram, dan ia tidak sempat untuk memperotes, karena sambungan telfon itu suda
bersama Bram. Agni memasang sabuk pengaman. Bram menutup kaca
Agni lalu melirik Bram, yang masih fokus dengan setirnya. Laki-laki itu
Tanya Bram seketika,
enjak pulang dari kampus ia
pa be
saya langsung ke tempat kerja. Saya juga selalu
merah menyala. Bram menoleh kearah Agni. "Begitu setiap hari?"
sakan buatan ibu p
di dunia ini. Terlihat mereka selalu bersama, dan saling menjaga satu sama lain. Berbanding terbalik dengan dirinya, ayah dan ibunya selalu sibuk dengan urusan ma
ya belum makan" ucap Bram seketika, ia tidak ing
Y
kan dimana?"
ingin sekali makan sate kambin
sate kambing" uc
kamb
ngantri membelinya. Letaknya tidak jauh dari lampu merah di
hijau menyala, Bram mel
alan?" Tanya
ai orang yang mengantri. Kamu past
an seperti itu. Ia tidak bisa membayangkan makan di pinggir jalan, penuh debu dan asap. Lihatlah disana saj
tu? Misalnya restoran mungkin, saya yakin masih
cara jelas wajah tampan itu terlihat tidak s
kan pernah makan di
mu belum mencobanya, bagaimana serunya makan di tempat terbuka, d
hanya untuk kamu" Bram
ucapan itu. Bram tahu bahwa makanan di tepi jalan itu sangatlah kotor, karena debu dan polusi udara. Bram ti
a, agar Agni jatuh di tangannya. Bram tidak merasa tenang jika rasa sakitnya belum terealisasik
am, laki-laki itu mengikuti apa yang ia inginkan. Bram memang tidak cocok makan di pinggir jalan seperti ini, lih
itulah tempat kosong tersisa. Bram mengikutinya dan duduk di kursi plastik itu. Agni i
kambing yang gurih tercium di hidungnya. Sate itu terlihat sangat menggu
i tidak kalah enak dari pada sate yang berada di hotel berbintang y
menaikkan lengan jaket kulitnya, agar ia bisa memakan sate itu d
***