ghindar. Karenanya, meskipun dengan penuh ker
bicara dengan s
ukas Bu Hajjah Maemunah berapi-api. "Kamu
kulan beserta jerigen-jerigennya. Lalu, deng
malam itu saya beli beras satu l
Hajjah Maemunah, wanita paru
m. "Mana berani saya ngutang," tambahnya. Sampai di sini
Bary semakin cemas. Entah kenapa, Ba
wajah Bary, Bu Hajjah Maemunah menggerutu t
jauh di jalan raya sana, bar
nya seseorang yang tiba-tib
ga puluhan yang juga salah seorang pengrajin batu ba
ga, Mbak," sa
perempuan itu,
, Mbak," ucap
!" Risma bersikukuh,
anya Risma kemudian. Nada bicara Risma sudah mulai
. Bary pun sudah sedikit
perem
Mbak," jaw
engan dua orang anak yang masih balita
asana batin tidak menentu, hanya me
perekonomian Risma ini hanya beberapa tingkat di atas Bary, t
tah apa penyebabnya, sebagaimana dirinya dan Rima, Risma ju
iba Risma mengucap, "Sudah dulu, y
redar. Saat Bary menoleh, Bu Hajjah Maemuna
u
penuh amarah di wajah Bu Hajjah Maemunah. Mimiknya sangat menyeramkan. Sorot mata mendelik ta
guasai diri, Bu Hajjah Maemunah sudah
eli atau minta?" cecar penu
ry tergagap. Di sini, j
h dengan begitu sengitnya. "Mau sa
y sudah tidak ubahnya seekor anak ayam
ng Bary risaukan sejak tadi malam
ni Bary dengan berbagai macam cercaan, menikam
purna, pada akhirnya hanya bisa diam, meng
is bisa menyelesaikan masalah, sudah barang
ang seperti tengah ditusuk-tusukkan lembing api, telah memb
nganiaya Bary secara moral, ia mengus
ada di sini," caci Bu Hajjah Maemunah. "Mulai har
, saya masih
sampai saya masih lihat muka kamu di sini, saya suruh orang-orang supaya mereka seret ka
tnah, B
h Maemunah sambil melempar ja
ah su
is tumpah, usai meraih jerigen-jerigen ter
Bary, sedangkan Bary, terus saja melangkah
udah berada
n jati, tempat dimana biasa dia mengambil air. Sampai di sini, air
an, Bary mula
erlahan Bary merapat ke bibir sumur, men
, bayangan wajah manusia yang tengah
tu adalah wajah si miskin, yang ti
tkan murka dari Ilahi, maka sudah pasti Bary akan
pada permukaan air sumur. "Bary!" lirih Bary. "Sebenarn
bagaimana cara merangkai tetanyaannya. Akan tetapi, Bary tahu
si fakir
h semata. Tangis Bary menggurita, itu dikarenakan ad
a tak lagi bekerja, kelak,
banyak air mata lagi untuk bekal d
paran semakin pekat menjelagai pik
kami sedang butuh-butuhnya uang justru saya kehilangan pekerjaan
gisnya. "Kata orang, Kau Maha Adil. Benarkah?
ntuk berdiri. Lunglai, ia mundur beberapa langkah, menjauh dari sumu
erpekur. Hingga tanpa sadar, ia pun t
Bary saat terj
kan diri memindai sekel
a teringat akan Rima. Karenanya, gegas Bary bangkit
dah melangkah satu, membelah kegela
edihan yang tadi sempat teduh, tiba-tib
mana reaksi Rima saat tahu apa ya
anya yang fakir, kembali ke ladang. Tiba di sini, Bar
idak ada suara apa pun yang t
ary meletakkan pikulan beserta jerigen-jerigen berisi air yang ia bawa pulang. Men
h mengembara ke mana-mana, akhirnya terjeda
makan dulu. Sudah malam
am di kolong gubuk. Tak ada tanggap
h Bary menyahut. "I
ru Rima lagi. "Kak
ut Bary. Sedetik kemudia
ujar Rima saat Bary s
p Rima. "Kenapa Ka
minta maaf saja," jawab Rima. Rima tahu, Bary
ngan ucapan Rima. Bahkan, Bary sampai meri
itkah?" selidik Bary saat men
. "Kalau mau makan, nasi jagungnya ada dalam lesung. Kak
Bary. "Terima kasi
a, Dek,"
Rima di malam ini. Hanya saja, Bary tidak tahu, apa dan kenapa. Akan tetapi
Bary sadari, jatu
rlelap. Sedangkan Bary yang duduk beberapa jengkal dari
salahan apa pun? Memikirkan hal itu, Bary semakin tidak mampu m
Bary mencuci pakaian kotor yang ada. Usai menjemurnya, Bary meraih pikulan b
an suntuk ia duduk diam, dan terkadang mondar-mandir dalam
-baik saja di hadapan Rima, seolah-olah rutinitas
oleh Bu Hajjah Maemunah, Rima m
imana Rima, jika sudah seperti in
ng kita tinggal dua literan. Kata orang, pamali kal
njawab. Sedangkan ujung l
skan air mata, sont
sedih begini." Rima yang sangat menyayang
jjah, Kak! Saya tidak lagi bikin bat
ya. Perih, Rima pun tak kuasa menahan air mata.
eratap
umpah-tumpahnya air mata, ianya tiad
Bary yang ter