"Kenapa kamu tidak mau tidur dengan saya, padahal sekarang saya sudah resmi menjadi istri kamu? Apakah kamu tidak mencintai saya?" Rima, gadis 18 tahun itu bertanya dengan nada yang sangat terukur. Bary, remaja pria yang lebih muda tiga tahun dari Rima, menjawab, "Maaf, saya tidak bisa." Bary menolak keinginan Rima yang notabene adalah istrinya. Kenapa? Temukan jawabannya dalam kisah 'Lentera Rindu' ini. Dear insan, kelak, rindu itu akan menjelma syair tanpa kata, yang duduk bersebelahan dengan kesunyian batinmu. Lalu, ia akan memaksa untuk disandingkan dengan bintang-bintang di langit-langit ingatanmu. 'Pabila ia menjelma jelaga, engkau butuh LENTERA agar RINDU tersebut tetap ada dan sederhana. Ketahuilah, mayapada ini fana, kitalah yang baka. Yang sementara pertemuan, kerinduan dalam rengkuhan batinlah yang abadi. *** Pict by Canva (free)
"Kamu mau tidur dengan saya?" tanya Rima.
"Kenapa Kakak bicara begitu?" jawab Bary balas bertanya.
"Kenapa? Bukankah siang tadi di depan Penghulu, kamu sudah berikrar menjadikan saya sebagai istri kamu?" tegas Rima.
Meskipun Rima cukup lugas dalam menyampaikan argumennya, tetapi pada saat yang bersamaan, Bary masih bisa menangkap dengan jelas ada lara dalam gaung suara Rima.
"Iya, Kakak memang betul," ucap Bary juga pada akhirnya. "Tapi sampai kapan pun, Kakak tetaplah kakakku. Kakak yang saya hormati, yang akan saya cintai dengan sepenuh jiwa."
"Apakah kamu tidak mencintai saya?"
Kembali Rima melaungkan sendunya. Bary semakin mudah membaca, barusan Rima hanya coba berkamuflase tentang rasanya.
"Sangat, Kak, sangat," timpal Bary, remaja pria lima belas tahun ini dengan penuh keyakinan. "Sumpah demi Allah, saya sangat mencintai Kakak. Apakah Kakak mulai meragukan saya?"
"Lalu, kenapa kamu tidak mau tidur dengan saya?" Rima masih bersikeras, tetapi nada bicaranya semakin landai.
"Karena Kakak adalah kakakku. Mana mungkin saya berani kurang ajar sama Kakak? Saya ini adik kamu, Kak! Kenapa Kakak memaksa saya untuk melakukan itu? Apakah Kakak sudah tidak menginginkan saya untuk menemani hidup Kakak lagi? Kenapa, Kak? Apa salah saya ... ?" lirih Bary.
Bary sudah berusaha keras, tetapi pada akhirnya ia mulai kesulitan meredam rasa perih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Mendapati itu, sedetik kemudian, Rima yang tengah hamil dengan usia kandungan jelang enam bulanan ini, sigap menabrakkan tubuhnya ke tubuh Bary, lalu memeluk Bary dengan begitu eratnya.
"Maafkan Kakak, Dek!" desis Rima dengan tidak kalah lirihnya.
Sampai di sini, bak dam jebol, Rima yang sejak tadi juga memperjuangkan tangisnya agar tidak sampai tumpah, pada akhirnya tak terbendungkan lagi.
"Karena Kakak, kamu juga ikut terlunta-lunta seperti ini," tambah Rima di antara derai isak tangisnya.
"Tidak, Kak, tidak!" balas Bary cepat. "Kakak tidak boleh bicara seperti itu. Ini mungkin sudah takdir kita. Saya ikhlas, Kak, sangat ikhlas. Kakak tidak perlu meragukan saya. Bisa hidup bersama Kakak saja, itu sudah lebih dari segalanya bagi saya. Percaya sama saya, Kak!"
Rima tak mampu lagi berkata-kata. Rima tahu, keikhlasan Bary tak mungkin dapat ia pungkiri. Akan tetapi, karena keikhlasan itu jugalah Rima semakin sukar menyembunyikan perih pada lahir dan batinnya.
Tiga bulanan hidup bersama di 'pembuangan' ini, Rima semakin letih berpura-pura tegar di hadapan Bary, adik angkatnya yang hanya dilabeli 'anak pungut' oleh Bu Lija, ibu Rima.
Sedangkan Bary, semakin ke sini, dia semakin hapal dengan sikap Rima, wanita yang menjadi korban dari kebejatan orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi Rima sendiri.
Bary rela pasang badan, dan mengorbankan banyak hal, hanya demi mengembalikan senyum yang terenggut dari wajah Rima. Padahal, Bary tidak punya hubungan apa pun dengan Rima kecuali sebatas kakak angkat tersebut.
Empat bulan kemudian.
"Mana bidannya?" Rima menyambut Bary dengan mimik resah.
"Dia tidak mau datang, Kak!" sahut Bary dengan nada yang sangat terukur.
"Ya Tuhan ...," lirih Rima. "Kenapa, Dek?" tambah Rima.
"Mama Yohana minta kita bayar uang muka, lima ratus. Uang kita tidak cukup," terang Bary.
"Mama Yohana bilang begitu?" tanya Rima lagi.
"Iya, Kak," sahut Bary.
"Ya, Allah ...," gumam Rima pelan seolah-olah menggumam untuk dirinya sendiri.
Bary terdiam. Bary yang baru saja kembali dari rumah Mama Yohana, meminta Bidan Kampung tersebut untuk membantu persalinan Rima, tetapi ditolak mentah-mentah dikarenakan Bary tidak punya cukup uang untuk membayar uang muka persalinan, kian terpuruk saat mendapati mimik perih di wajah Rima.
Ingin rasanya Bary saja yang menangis menggantikan Rima. Rima yang malang ini, semenjak dia dibuang oleh ibu kandungnya sendiri, ia sudah terlalu letih menangis.
"Tolong, Dek! Cepat cepat! Uh ... uh!" Rima membuyarkan lamunan Bary sesaat barusan.
"Iya, iya, Kak," sahut Bary dengan begitu paniknya. "Bantu apa, Kak?" tambahnya sembari menghampiri Rima.
"Cepat ambilkan sarung!" seru Rima dengan nada yang memburu.
"Iya, iya!" sahut Bary dan langsung meraih sarung yang tersusun rapi di atas tikar. "Mau diapakan sarungnya, Kak?" tanya Bary kemudian.
"Cepat lipat tiga baru taruh di bawah paha kakak!" Nada Rima semakin melaju.
Secepat itu juga Bary melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Rima. Sesaat kemudian, Bary sudah melipat kain sarungnya menjadi tiga bagian sebagaimana yang diinginkan oleh Rima. Akan tetapi, untuk menaruh kain sarung tersebut di bawah paha Rima, yang tengah rebahan terlentang dengan kedua lutut ditegakkan, Bary sungkan, Bary tidak berani.
Apalagi, Rima tengah dalam kondisi hendak bersalin, yang mana, otomatis dia tidak mengenakan pakaian dalam.
Bary sangat menghormati Rima. Meskipun dalam keadaan darurat seperti saat ini, tetap saja Bary merasa risih jika harus menatap bagian-bagian privat di tubuh Rima.
"Sudah?" tanya Rima.
"I-iya, Kak, sudah," sahut Bary sambil menyodorkan kain tersebut kepada Rima, tanpa menolehinya.
Rima menyambutnya, tetapi jika hanya satu helai kain sarung, Rima merasa belum cukup. "Masih ada sarung kita, 'kan? Tambah satu lagi!" seru Rima.
Rima semakin panik, begitupula dengan Bary. Bersamaan dengan itu, tanpa menunggu diperintah dua kali, secepat itu juga Bary melakukan seperti apa yang Rima minta. Kini Bary sudah memegang kain sarung yang lain.
"Taruh di mana ini?" tanya Bary.
"Pegang, pegang!" seru Rima. "Pegang! Taruh di bawah 'anu' kakak. Sambut bayinya pakai itu!"
"Ta-tapi, Kak?" Kondisinya semakin darurat, tetapi Bary belum bisa melakukan begitu saja apa yang diperintahkan oleh Rima.
"Tidak apa-apa, Dek, tidak apa-apa! Tolong bantu, kakak! Aduh, Ma ... tolo-ng!" lirih Rima dengan napas yang kian memburu.
Rima menyebut 'Ma', Ma yang mana? Bary merasa Rima tidak punya Ma lagi. Ma-nya sudah membuang Rima. Sedih, Bary benar-benar pilu.
Bary risih, Bary sungkan, Bary cemas. Akan tetapi, Bary harus melakukannya. Meskipun Bary tidak tahu kenapa Rima memintanya untuk melakukan hal tersebut, tetapi ia lakukan saja seperti apa yang Rima perintahkan.
Lalu, dengan kain sarung di genggaman, ragu-ragu Bary menengadahkan tangan di 'jalan keluar', di bawah pangkal paha Rima.
"Kak ... !" desis Bary. Bary sudah melihat adanya separuh kehidupan baru yang tersembul dari sesuatu Rima.
"Uh ... ! Uh ... !" Deru napas Rima. Ia tengah mengejan sekuat tenaga.
Pada saat yang bersamaan, Rima yang kesulitan bernapas, Bary yang ketakutan. Rima yang bertarung melawan hidup atau mati, separuh nyawa Bary yang serasa telah lebih dulu melayang.
"Sudah keliatan? Uh ... ! Uh ... !" Kembali terdengar napas memburu dari Rima.
"Apa, Kak?" jawab Bary balas bertanya.
"Bayinya!" imbuh Rima.
"O, iya iya! Kepalanya sudah keliatan!" Jawab Bary.
Samar-samar, memang Bary sudah melihat kepala bayi Rima sejak beberapa saat barusan tadi. Itulah kenapa Bary sampai keringat dingin.
"Pasang tangan! Sambut kalau dia keluar! Jangan sampai dia jatuh ke lantai! Uh ... ! Uh ... !" Kali ini napas Rima lebih berat, dan lebih panjang.
Sesaat kemudian.
"Uh ... ! Ah ... !"
Bayi Rima pada akhirnya terlahir ke dunia. Tangkas pula sepasang tangan Bary yang beralaskan kain sarung terlipat menyambut bayi tersebut.
"Ngek ... !"
Ada jeda sekian saat lamanya barulah bayi berjenis kelamin laki-laki ini mengeluarkan suara tangisan pertamanya.
"Cepat, cepat!" Kembali nada bicara Rima menderu.
"Iya, iya, kenapa?" Bary pun kembali pada kepanikan semula.
"Kasi tengkurap!" seru Rima.
"Apa, Kak?" Bary tidak mengerti.
"Kasi tiarap dia supaya ari-arinya tidak kembali dalam perutnya," ucap Rima lagi.
"O ...." Bary membolakan bibirnya.
Lalu, meskipun bimbang, tetapi Bary tidak berani membantah. Hati-hati ia telungkupkan bayi tersebut di atas lipatan kain sarung yang yang lain. Bary menaruhnya di samping Rima.
"Lepas! Biar kakak yang tekan!" seru Rima. "Tolong ambilkan pisau biar kakak yang potong!"
"Ya, Tuhan? Jangan, Kak, jangan! Kasian, salah dia, apa? Biarkan saja dia tetap hidup! Ada saya yang nanti bantuin Kakak!"
Wurake adalah sebutan untuk para penganut ilmu hitam. Dalam sedikit kasus, Wurake mirip dengan Kuyang dan sejenisnya, yang mana sangat idam pada janin, bayi, wanita hamil hingga wanita masa nifas. Namun demikian, secara garis besarnya Wurake bukanlah (sebatas) Kuyang. Jika pada umumnya pengamal Kuyang adalah kaum perempuan, maka penganut Wurake tidak sebatas itu. Wurake terdiri dari laki-laki dan perempuan. Selain itu, Wurake menyasar masyarakat secara luas, tidak terbatas oleh jenis kelamin atau usia. Cerita yang Anda baca ini adalah murni fiksi belaka. Apabila terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, hingga kejadian, itu adalah kebetulan semata.
"Cita-citaku, saya ingin menjadi seorang Bodyguard!" Dia hanya seorang anak desa yang lari ke kota karena suatu keterpaksaan. Di kota, dia tidak pernah bermimpi akan terlibat dalam dunia bawah tanah, apalagi sampai disebut Gangster. Akan tetapi, seperti kata orang, ucapan itu adalah doa, suka tidak suka, sengaja tidak sengaja, ucapan yang ia sebut Cita-Cita, telah menuntunnya pada kenyataan yang berhubungan dengan kalimat yang pernah ia ucapkan.
Pada hari Livia mengetahui bahwa dia hamil, dia memergoki tunangannya berselingkuh. Tunangannya yang tanpa belas kasihan dan simpanannya itu hampir membunuhnya. Livia melarikan diri demi nyawanya. Ketika dia kembali ke kampung halamannya lima tahun kemudian, dia kebetulan menyelamatkan nyawa seorang anak laki-laki. Ayah anak laki-laki itu ternyata adalah orang terkaya di dunia. Semuanya berubah untuk Livia sejak saat itu. Pria itu tidak membiarkannya mengalami ketidaknyamanan. Ketika mantan tunangannya menindasnya, pria tersebut menghancurkan keluarga bajingan itu dan juga menyewa seluruh pulau hanya untuk memberi Livia istirahat dari semua drama. Sang pria juga memberi pelajaran pada ayah Livia yang penuh kebencian. Pria itu menghancurkan semua musuhnya bahkan sebelum dia bertanya. Ketika saudari Livia yang keji melemparkan dirinya ke arahnya, pria itu menunjukkan buku nikah dan berkata, "Aku sudah menikah dengan bahagia dan istriku jauh lebih cantik daripada kamu!" Livia kaget. "Kapan kita pernah menikah? Setahuku, aku masih lajang." Dengan senyum jahat, dia berkata, "Sayang, kita sudah menikah selama lima tahun. Bukankah sudah waktunya kita punya anak lagi bersama?" Livia menganga. Apa sih yang pria ini bicarakan?
Novel ini berisi kumpulan beberapa kisah dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan panas dari beberapa tokoh dan karakter yang memiliki latar belakang keluarga dan lingkungan rumah, tempat kerja, profesi yang berbeda-beda serta berbagai kejadian yang diaalami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dan bergaul dengan cara yang unik dan berbeda satu sama lainnya. Suka dan duka dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini baik yang protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerita dewasa yang ada pada novel kumpulan kisah dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Angeline adalah seorang pekerja keras, ia baru saja dipecat dari tempat kerjanya karena fitnah rekan kerjanya. Angeline yang harus menjadi tulang punggung keluarganya berusaha mencari pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Bryan yang menawarkan sebuah pekerjaan dengan bayaran yang sangat tinggi. Bryan adalah seorang presdir perusahaan ternama. Dirinya yang sebagai keturunan terakhir dituntut untuk segera menikah agar bisa meneruskan keturunan. Dijodohkan dengan kenalan ibu tirinya, membuat Bryan enggan melakukannya karena tau niat dibalik sikap sang ibu tiri. Bryan pun bertemu dengan Angeline dan menawarkan pekerjaan untuk menyewakan rahimnya dan melahirkan keturunannya. Apakah Angeline bersedia untuk menyewakan rahimnya dan melahirkan anak dari Bryan? Akan kah benih-benih cinta tumbuh di antara keduanya dan menjadikan pernikahan mereka sebagai pernikahan yang sah?
Semua orang terkejut ketika tersiar berita bahwa Raivan Bertolius telah bertunangan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pengantin wanita yang beruntung itu dikatakan hanyalah seorang gadis biasa yang dibesarkan di pedesaan dan tidak dikenal. Suatu malam, wanita iru muncul di sebuah pesta dan mengejutkan semua orang yang hadir. "Astaga, dia terlalu cantik!" Semua pria meneteskan air liur dan para wanita cemburu. Apa yang tidak mereka ketahui adalah bahwa wanita yang dikenal sebagai gadis desa itu sebenarnya adalah pewaris kekayaan triliunan. Tak lama kemudian, rahasia wanita itu terungkap satu per satu. Para elit membicarakannya tanpa henti. "Ya tuhan! Jadi ayahnya adalah orang terkaya di dunia? "Dia juga seorang desainer yang hebat dan misterius, dikagumi banyak orang!" Meskipun begitu, tetap banyak orang tidak percaya bahwa Raivan bisa jatuh cinta padanya. Namun, mereka terkejut lagi. Raivan membungkam semua penentangnya dengan pernyataan, "Saya sangat mencintai tunangan saya yang cantik dan kami akan segera menikah." Ada dua pertanyaan di benak semua orang: mengapa gadis itu menyembunyikan identitasnya? Mengapa Raivan tiba-tiba jatuh cinta padanya?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.