a coba menghayati gaung tangis tersebut, ianya laksana lembing api yang menerobos jauh
pertanda buruk," gumam Bary
res
Rima, saat tengah bermenung di depan pintu gub
ka hanya mitos atau apa, tetapi konon burung tersebut tengah memberi kabar, bahwa akan ada seseorang
tara mereka yang akan pergi lebih dulu. Bary berpikir, andai sug
kan umur kami, aamiin,
a sempat diri merenung di bagian belakang gubu
m, Kak! Kenapa
" sambut Rima. "Ad
l menyodorkan kresek berisi
pulang oleh Bary. Padahal, daun bayam tersebut jelas-jelas
h satu lengannya, kemudian meraih tas kresek yang Bary sodo
bayinya, Rima beringsut ke bagian belakang gubuk. Di situ, ia duduk tepat di dep
t pisau dan bayam dari tangan Bary
idak ca
Saya masih bisa kalau hanya
annya. Bary benar-benar letih di sepanjang hari ini. Akan teta
i menguca. "Kakak mau minta tolong lagi
y. Bukan hanya tangan, tetapi bibir Rima pun jugat, ya?" Bary tidak bisa l
ya belum makan sa
ak punya pilihan. Jika bukan pada Bary, pada siapa lagi, Rim
Kak?" sa
, mungkin inilah yang bikin anak ini menangis terus. Mungkin dia
t Bary. "Tapi Kak, saya
tnya dengan satu senyum kecil. Karena apa
uang kakak, padahal tadi kaka
ngnya, Kak?
il mengarahkan wajah ke kantung kain hitam yang
gkus, sama beras satu liter. Susu putih, ya! Pergilah! Pulang na
mlah uang dari kantung kain hitam yang
ke dalam gumbang air di kamar mandi sana. "Tidak usah
Sekalian," balas Ba
gubuk. Berlantaikan bumi, bertiangkan tajakan kayu bulat seukuran lengan orang dewasa. Keempat sudutnya be
ah dari ufuk barat sana, menyapa pucuk-pucuk pepohonan dengan salam damainya. Sedangkan di bumi, tinggallah piasnya
sekitar satu kilometer dari gubuk mereka. Warung milik Haji Ghofur, sang juragan kayu olahan, dan pengus
berapa puluh meter membelakangi gubuk, barulah Bary tersadar ternyata
en kosong, akhirnya tiba juga Bary di halaman warung terbesar yang ada desa ini. Desa yang di
k, Bary memanggil
langsung ke dalam warung karena tempo hari, beberapa minggu setelah mere
a Bary disuruh membayar harga tiga bungkus mi instan ya
?" Zahirah, anak tunggal Pak H
a ribuan dua bungkus," sahut Bary sembari menyodorkan uang sen
is yang tempo hari sering me
ya tunggu di sini
bentar, ya!" balas Zahi
rahlah bersekolah di SMP Negeri yang sama, di kecamatan sana. Waktu itu, Bary hanya sempat duduk di k
alam situ." Zahirah sud
yambut satu tas kresek hitam berisi b
au bapak tirinya si Rima, sud
ini, sontak menjeda langkah. "Belum, baru tau
waktu dia menghadapi sakaratul mautnya, dia berteriak-teriak macam Kambing yang mau disemb*lih. Mulutn
nya juga itu orang tua,
ang menghamili Rima, selanjutnya kesalahannya dilimpahkan pada Bary, ce
a ngobrol di dalam!" Zahirah
-buru mau singgah ambil air dulu. Permisi! Ass
rah. "Jangan-jangan suara burung Koa tadi malam mengabarkan kematian Kaerul? Kaerul mening