yatanya itu hanya ilusi di kepalanya saja. Ia kembali dari klinik, masuk ke dalam rumah yang dingin
dan buah juga tampak segar. Wanita itu menguncir tinggi rambutnya, memperlihatkan leher mulusn
kan mencuci sayuran, lalu beralih membuka bungkusan daging
di telinga Sarah, tak ada sikap dingin seperti biasanya.
Sarah tak diam. Ia melepaskan kedua tangan Diko, berbalik badan lalu menampar w
h bersuara. Diko marah, namun, ia
tak memerdulikan Diko yang me
nya memegang uang. Nasi juga sudah ia masak, laki-laki itu masih setia berdiri di dapur, terus melihat Sarah memasak. Hingga ma
umah. Mengabaikan Diko lagi. Pria itu mengurusi makan dirinya sendiri masih sambil m
tiga
an tak menyapa Sarah saat menantunya membukakan pin
a. Jangan mentang-mentang istri CEO maunya enak-enakkan!" suara itu melengking tinggi. Sarah d
o dan Anita duduk di ruang TV. "Apa Kakak
i sini. Mama kenapa nggak bilang. Diko cinta sama Abel, Ma! Mama kenapa tega boho
jangan keras-keras ngomon
asa sedihnya ke Anita. Sarah mengintip, m
al? ucap Sar
arah, Ma, tidak-akan-pernah-bisa." Begitu pelan kata-kata itu di ucapkan Diko, Sarah tak bisa mendengarnya. Ia
*
AN
rasa panas seketika, Sarah mengigit bibirnya, terasa perih, ia segera merapikan pecahan mang
s membersihkan. Anita beranjak, mengambil panci berisi sop sayuran dan bakso ya
k. Ia tak menangis, hatinya seolah sudah siap dengan semua kebencian. Terdengar suara pagar terbuka, tak lama tert
u. Sarah mengangguk. Ia beranjak, berjalan ke kamar mandi di lantai bawah, men
bahkan panas. Sarah mengeringkan dengan handuk. Ia lalu ber
upa nawarin, makan," ucap Sarah
onya baru mau makan? Tapi sayurnya...
k, udah saya repotin beresin ini." Sara
au butuh apa-apa," ujarny
ngah jam kemudian, meja makan dan area dapur sudah bersih, Sarah bisa menikmati makanannya seorang diri. Ia melihat sekeliling, teringat
bahkan, Diko mengancam akan membahayakan nyawa ibunya jika ia sekali saja berhasil menghubu
Sarah. Dengan perlahan, ia membuka pintu, terlihat Sarah sudah terlelap, tubuhnya terlihat kurus saat posisi tidur merin
tubuh Sarah lainnya. Baju tidur yang di kenakan Sarah seperti daster, namun tak bercorak, hanya daster polos
justru diam membatu tak bereaksi setiap kali Diko menyentuhnya, tak terdengar desahan, apalagi bibir Sarah yang
l-mukul pelan wajah Sarah, hingga wanita itu terbangun dan terke
ia harus apa. Ia mundur perlahan, berusaha menjauh,
Heh?!" Pel
... a-aku,"
emastikan kamu siap untuk layanin
ng tampar aku." Gumamnya. Sarah diam, terasa nyeri. Diko memerintakan ia untuk
cing, satu hal yang Diko sadari untuk pertama kali saat Sarah melakukan hal itu dengan begitu pelan. Diko, menyukai lekukan tubuh Sarah,
sam