ernah bilang 'kan. Cukup sekali, engg
g perempuan. Ini juga tiket bioskop." Dewi menggeleng. Meski dia b
isa je
ngkupkan wajah. Dia bersandar pada dinding ruang tamu. Bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah juga. Aku mencoba merangkulnya namun ia seolah memberi jarak, dengan mendorong
a bicarakan i
n berap
kali, Wi?" Aku seg
cantik, sexi atau kurang liar,
ku mengaku
Sekarang kamu mau mengelak lagi. Bilang kalau semua it
a ka
mbil duduk ya, biar
isa terima kamu sakiti, tapi anak-anak ... bisa-bisanya kamu pergi sen
an pelac
namanya kalau
lkan istigfar, Dewi malah tersenyum, lal
kutkan. Aku tahu di kecewa, tapi keempat
ang akan dia ambil ke depannya. Sekarang, melihatnya tertawa seraya menangis secara bersamaan. Aku merasa tak tenang, takut kalau Dewi bisa saja berbuat nekat. Bukankah orang bilang, orang
angnya. Membuat Dewi seketik
pikir aku ma
mu sekarang. Pisau itu, bukannya akan lebih baik kalau di simpan saja?"
rus mati Mas, kamu
membunuh aku 'kan?" Bukannya me
eriak-teriak segala. Aku kira Mamah kenapa-kenapa,"
nya. Entah kenapa dari tadi Dewi
ma Mamah
a tadi,. Kamu mending balik saja ke kama
respons Dewi masih sama. Hanya menatap Rafa
" Rafa yang penasa
amar ya, biar Mamah,
lakukan ke Mamah?" Rafa justru
kata seperti itu? Sungguh aku terlonjak dibuatnya. Perlahan sulungku menarik Dewi. Mereka berjalan beriringan menaiki tan
ah dekati Mamah
tanya dia seakan tak peduli pada sekitar. Mata kami bertemu dalam sesaat namun tatapannya pa
pah bicara
asnya dengan
epaskan lengan mereka yang saling menggenggam. Seraya terus menco
a gara-ga
ai hati membentak Rafa yang jelas hanya mencoba membela Mamahnya. Namun, reaksi Dewi di luar dugaan. Dia men
pergi at
ikut siapa? Cobalah berpikir jernih anak
ak-anak yang pergi kamu bisa tinggal di sini! Bawa sekalian perempuan itu
mu membicarakan hal it
kuh! Aku enggak punya Mamah dua! Hmm Aaaaa." Rafa tiba-tiba saja mendorong tubuhku hingga h